SPY in LOVE

Bentang Pustaka
Chapter #2

SATU

PUTRA

Aku menatap wajah ibuku dalam bingkai foto berukuran sebesar tubuh anak berusia lima tahun. Foto itu terpasang di ruang tamu. Aku menghela napas, andai Ibu masih ada, dan melihat aku sekarang ini, tentu beliau merasa menjadi ibu paling bahagia di dunia. Hidup dan membesarkan seorang Putra, yang berkeliling dunia untuk menyelamatkan banyak orang. Aku bukan Superman, Spiderman, atau Ken Arok yang merebut Kerajaan Singasari, kemudian memperistri Ken Dedes. Sungguh, aku tidak sekuat mereka, tetapi aku berusaha memberi bantuan bagi siapa pun yang membutuhkan.

Di samping potret ibuku, ada ayahku yang tersenyum bahagia. Pria yang aku cintai bahkan tanpa pernah aku tahu rasanya bermain tinju bersama seorang ayah, atau menonton pertandingan sepak bola sambil meneriakkan klub kesukaan, atau berteriak “sekakmat” ketika adu strategi bermain catur. Aku mencintai ayahku, tanpa aku tahu rasanya dibesarkan oleh seorang ayah. Seperti aku mencintai ibuku, tanpa aku pernah tahu rasanya berangkat sekolah dengan sarapan nasi goreng lezat buatan ibu, atau pulang sekolah dengan sambutan seorang ibu yang bersedia mendengarkan cerita-ceritaku. Juga, tanpa tahu rasanya tertidur dalam hangatnya pelukan ibu. Aku mencintai ayah dan ibuku tanpa tahu rasanya dibesarkan oleh hangatnya kasih orangtua.

Di potret itu tampak aku yang berusia 3 tahun, digendong dengan penuh kasih oleh ayahku. Mereka berdua mengenakan baju toga, wajah bahagia itu terpancar karena studi S-2 mereka di Australia sudah selesai, dan kata kakekku—foto yang sekarang aku tatap ini diabadikan saat hari ulang tahunku. Keesokannya, mereka pulang ke Jakarta, dan pesawat nahas yang mereka tumpangi turut andil besar dalam peristiwa kepergian orangtuaku untuk selamanya. Dari 23 penumpang yang selamat, akulah salah seorang balita yang merasakan keajaiban. Aku hidup. Aku hidup untuk mereka berdua. Aku tidak peduli jika ayah dan ibuku tidak bisa melihat aku hari ini, tapi aku sangat percaya, dari atas sana, bersama malaikat-malaikat baik, ayah-ibuku tentu tersenyum penuh arti.

“Happy birthday to you,” lirih aku mendengar suara seseorang yang menyanyikan lagu itu, “Happy birthday, happy birthday, happy birthday, Putra.”

Aku berbalik badan dan melihat kakekku yang menatapku dengan tatapan tidak sabar ingin segera memelukku. Di tangannya ada kue blackforest kesukaanku. Aku berusaha tersenyum dan meniup lilin dengan cepat. Seperti biasanya, di rumah besar ini, kami hanya tinggal berdua, sisanya hanyalah asisten rumah tangga dan sopir.

Lilin telah padam dan kue sudah diletakkan di meja. Segera aku rangkul pria yang hingga kini masih menjadi alasanku untuk tersenyum. Sosok yang telah berusia senja, tapi dari sorot matanya bisa aku rasakan semangat yang tetap muda. Kulihat wajahnya yang mulai dimakan garis-garis keriput. Kuraih rahang tegasnya beberapa detik, lalu kubawa pria itu masuk ke pelukku; rekat di dadaku. Namanya Satria Wiranegara, andalan Indonesia, dulu dia adalah ujung tombak agen rahasia, sosok di balik suksesnya pembatalan pembajakan pesawat dan tindak teroris.

“Makasih, Kek,” ucapku dengan nada terharu, “aku masih bisa ulang tahun dan lihat Kakek.”

“Selamat ulang tahun, Anak Bule!” gumam kakekku sambil melepas pelukan kami. “Kakek tahu, kamu pasti pulang.”

Kami berjalan ke sofa di depan televisi, dengan mataku yang masih mengawasi potret ayah dan ibuku, lalu bergantian menatap kakekku. Dia masih mengenakan kemeja lengan pendek biru tua, dengan celana bahan hitam, tidak lupa dengan sepatu pantofel yang selalu menyebabkan ketukan teratur setiap melangkah. Rambutnya disisir klimis, tanpa belahan, hanya ditata teratur ke belakang. Kacamata yang dia kenakan menggunakan frame berwarna hitam, yang bagiku terlalu gaul untuk dikenakan seorang kakek-kakek. Sekarang mata di balik kacamata itu menatapku dengan tatapan menyelidik, seakan dia tidak sabar mendengar ceritaku.

“Gimana Thailand?” Kakekku membuka percakapan. “Dapat calon menantu untuk Kakek?”

Aku tertawa geli karena aku tahu ini hanya bercanda. Aku menggeleng dan menggoyangkan telunjukku di depan wajahku. Isyarat bahwa aku tidak mencari cinta di Thailand. “Kakek tahu aku ke sana buat kerja. Jadi, hotelku mau bangun cabang di Thailand.” Ya, demi keamanan bersama, kakekku tidak perlu tahu pekerjaanku yang sebenarnya.

“Jangan ketawa, kali ini Kakek nggak bercanda.”

Mulutku tertutup rapat. Kini aku menatap Kakek dengan tatapan menyelidik, “Maksudnya minta calon menantu apa, nih? Nggak biasanya Kakek gini.”

“Karena umur kamu udah cukup tua,” kakekku berkata sambil mencondongkan badannya ke depan, “Kakek juga mau menimang cucu.”

“Loh, aku ini, kan, cucu Kakek. Kakek bisa menimangku sekarang?” Aku terkekeh. “Pernikahan itu soal hati yang memilih, Kek, nggak bisa dipaksakan.”

Kakek seperti tidak memedulikan ucapanku, dia menghela napas, kemudian kembali mengutarakan isi hatinya. “Jadi, gimana? Udah dapat, belum?

“Udah,” jawabku singkat agar terhindar dari interogasi memuakkan ini, “udah, Kek.”

Kakek berbinar menatapku, tersenyum bahagia seakan menang lotre. “Siapa namanya? Orang Indonesia yang lagi liburan di Thailand pasti?”

“Aku kenal dia di Alcazar.”

Ucapan Kakek terdiam sesaat. Dia seperti mengingat sesuatu dan menatapku dengan tatapan tidak yakin. “Itu, kan, tempat waria yang operasi plastik supaya kayak perempuan. Kamu kenal sama dia? Dia laki-laki, dong?”

“Iya, memang laki-laki.” Kutahan tawaku karena melihat wajah Kakek yang bingung. “Masalahku dan masalah dia sama. Sama-sama disuruh cepet-cepet nikah sama keluarganya. Akhirnya, kami memutuskan bersama.”

“Jangan bercanda, Putra! Nggak lucu!”

Aku tertawa melihat Kakek yang berhasil tertipu beberapa detik. “Katanya agen mata-mata andalan Indonesia, sama cucu sendiri masa ketipu?”

Lihat selengkapnya