Jasmine
“Setelah ketemu ayah dan ibu kamu, terus aku mau ke Krisna, makan seafood di Seminyak, dan balik lagi ke Uluwatu!” Dalam khayalanku tergambar luas keindahan Bali. “Sayang, sebelum pulang ke Malaysia, kamu mau ke mana lagi?”
Kupandangi kekasihku yang mengenakan celana jins dan kemeja kotak-kotak kesukaanku. Kemeja berlengan panjang, yang dia gulung sampai siku tangannya. Sekilas kulirik otot hasil kerja kerasnya menghabiskan waktu tiap hari di tempat gym saat berada di Malaysia. Tiga tahun yang lalu, dia kurus, dan tidak berisi. Rasanya tubuhku seperti memeluk tulang ketika aku merangkulnya. Namun, usahanya itu pun tidak sia-sia, hingga hari ini tampak jelas garis-garis ketampanan khas pria Bali dalam dirinya, meskipun di mataku—dengan atau tanpa otot itu—dia tetap terlihat tampan. Dia tampak menarik karena aku mencintainya, bukankah cinta tidak memandangi bentuk fisik dan bentuk wajah? Dia sudah tampan, dan akan selalu tampan, karena dia kekasihku.
Aku sudah membayangkan. Hari ini akan sangat menyenangkan. Sudah kutebak, dengan pakaiannya yang agak formal itu, tentu dia akan mengajakku ke rumahnya, bertemu dengan orangtuanya. Untungnya, aku juga sudah berdandan rapi dan santun. Di Malaysia, setiap gadis harus memperhatikan kesantunan dalam bersikap dan berpakaian. Aku cukup yakin, hari ini, aku sudah mengamalkan nilai kesantunan itu.
Aku menggumam mengikuti lagu yang terdengar dari MP3 Player di mobil kekasihku. Kuambil cermin di tas, merapikan poni rambutku, memulas kembali bedak di pipiku serta lipstik di bibirku. Kuperhatikan alis yang telah aku gambar secara rapi dengan susah payah dan bulu mata yang aku beri maskara. Aku berharap tidak berdandan terlalu tebal, yang penting bisa menunjukkan kecantikan khas perempuan Malaysia di wajahku. Aku rasa itu sudah cukup.
Jemariku mengambil ponsel yang juga ada di tas. Aku mengaktifkan kamera depan dan mencoba berpose sambil tersenyum. Aku perhatikan hal yang mungkin saja kurang dari dandananku siang ini. “Kok, pertanyaanku tidak dijawab, Sayang?”
Kekasihku masih terdiam.
“Ayah dan ibu kamu suka apa? Atau, mau kita belikan dulu makanan? Buah? Kue? Roti? Something like that?”
Pria satu-satunya yang berada di mobil itu masih terdiam. Selama tiga tahun menjadi kekasihnya, aku tahu dia hanya diam ketika sedang memikirkan sesuatu. Jadi, kubiarkan kebungkaman itu terlewat beberapa menit. Namun, sepuluh menit terlalu lama untuk bungkam. Dua sahabatku yang berada di jok belakang juga hanya bermain dengan ponsel mereka masing-masing.
Pacarku menyetir mobil dengan tatapan kosong. Aku menyelidiki sosoknya dengan wajah bingung, mencoba mencari kesalahan dalam kalimat yang beberapa menit lalu aku ucapkan. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah aku salah dalam pengucapan bahasa Indonesia, atau kalimatku berantakan dalam tata kalimat bahasa Indonesia, atau ada kata-kataku yang menyinggung perasaannya. Aku tidak tahu.
Setelah tiga hari di Bali, entah mengapa dia selalu banyak bungkam setiap aku bersemangat menceritakan banyak hal kepadanya. Dia juga tidak memberi tanggapan serius ketika aku bercerita bahwa aku telah melamar di sebuah hotel di daerah Penang, Malaysia, menjadi wedding organizer.
Pada hari keempat, kami sudah membuat jadwal bahwa dia akan mengenalkanku kepada orangtuanya. Dalam bayanganku, mungkin dia agak lelah karena mengajak aku jalan-jalan. Ini kali pertama aku ke Bali, menginjakkan kaki di tanah kelahiran calon suamiku, Ida Bagus Putu Darma.
Aku berani melabeli Darma sebagai calon suami karena dia menjanjikan sebuah pertemuan membahagiakan bersama keluarganya. Selama di pesawat, tiga hari yang lalu, aku membayangkan betapa menyenangkannya tinggal di Bali beberapa hari, berkenalan dengan calon mertuaku, dan bermain di pantai hingga tidak kenal waktu. Semua rencana sudah kami lakukan, tetapi tidak untuk yang satu itu—dia belum mengenalkan aku kepada keluarganya. Jadi, selama di Bali, aku tinggal di hotel sendiri. Darma pulang ke rumahnya, begitu juga dengan teman-teman kami, Ida Ayu Rasita dan Anak Agung Kartika Sari. Mereka semua pulang ke rumah mereka masing-masing yang berada di Bali dan aku hanya sendirian di hotel.
Belum kuceritakan perkenalan antara kami bertiga. Tiga anak berkebangsaan Indonesia dan satu anak berkebangsaan Malaysia. Kami berempat adalah sahabat sejak semester satu di masa kuliah. Kami berkuliah di jurusan Perhotelan dan Pariwisata di salah satu universitas di Malaysia. Teman-temanku, yang sesama orang Malaysia, juga menaruh ketertarikan yang sama kepada Darma, tapi akulah yang menjadi pemenang hatinya. Jadi, kemampuan berbahasa Indonesia yang aku miliki saat ini didasari dari pengalamanku bergaul dengan mereka. Kami sepenuhnya saling memiliki dan melindungi. Dalam perasaanku, bisa jadi, akulah gadis paling bahagia karena memiliki mereka bertiga. Aku punya Darma dan punya dua sahabat perempuan yang memahamiku dengan utuh. Tapi, hari ini, mereka diam seribu bahasa, tidak mengajakku bicara, dan hanya akulah yang selalu membuka pembicaraan.
“Sori, tapi kayaknya, kita nggak bisa ke sana.” Kekasihku berbicara tanpa menatapku, dia menatap dingin ke jalanan.
“Kenapa?” Kuremas bahu Darma sambil menatap dua sahabatku yang ada di belakang. “Kalian pasti bosan dengan Bali, tapi aku tidak akan bosan kembali ke sini. Aku suka di sini. Suka suasana pantainya. Suka semuanya. Kalian ikut ke Krisna, Seminyak, dan Uluwatu, kan? Iya, kan?”
Rasita menggeleng. Gelengan yang sama juga ditunjukkan Kartika. Mereka berdua menolak untuk membuka suara. Setelah penolakan itu, mereka kembali tenggelam dengan ponsel masing-masing. Aku terdiam. Kecanggungan ini tidak pernah terjadi sebelumnya di antara kami. Aku merasa ada sesuatu yang aneh di sini.
“Kita perjalanan beli oleh-oleh, cari pai susu, terus ke Krisna, habis itu kamu harus packing,” jelas Darma, sekali lagi, tanpa menatapku, angkuh dan dingin, “besok kamu pulang ke Malaysia.”
Aku terdiam sesaat, mencoba mencerna perkataannya, berharap aku salah pendengaran. “Tapi, jadwal kita beli oleh-oleh di hari kelima. Hari keenam, kita baru pulang. Kenapa hanya aku yang pulang ke Malaysia. Kita semua pulang ke Malaysia, kan?”
“Hanya kamu yang pulang.” Dengan nada datar pria itu kembali menjelaskan kalimat yang masih di luar logikaku.
“Kok, gitu?” celotehku dengan cepat. “Kamu belum mengenalkan aku ke orangtuamu, kenapa?”
“Karena perkenalan itu nggak akan terjadi.”
“Darma, coba kamu ulang sekali lagi. Aku berharap tidak salah dengar.”
“Kamu nggak akan aku kenalkan ke orangtuaku.”
Aku menghela napas dan terkesiap mendengar perkataan Darma. “Kamu janji mengajak saya ke Bali karena kamu ingin mengenalkan saya pada orangtuamu. Makanya, ibu saya mengizinkan saya datang ke Bali, dengan alasan keseriusan hubungan kita, juga dengan harapan aku bisa turut merasakan keindahan Bali.”
Dan, ya, nada bicaraku mulai meninggi. Panggilan aku-kamu otomatis berubah menjadi saya-kamu saat kami telah merayap menuju perdebatan sengit. Aku menatap Darma dengan tatapan tajam. Berharap cowok itu memang salah bicara dan mau menarik kembali kalimat-kalimatnya.
“Aku mengajak kamu ke sini untuk memenuhi janji aku ingin membawamu melihat keindahan Bali.”
“Lantas?” Aku melipat tangan di depan dada. “Dan, mengenalkan aku ke orangtuamu?”
“Yang kedua itu, bukan tujuanku,” jawab Darma dengan cepat. “Hanya untuk mengajak kamu berlibur di Bali karena aku pernah janji ngajak kamu ke sini.”
Aku berbalik menatap kedua sahabatku yang ada di jok belakang. Mereka hanya terdiam mendengar perdebatan kami. Aku menatap dua gadis itu dengan tatapan seperti bertanya apa maksudnya semua ini? Tapi, mereka hanya menggeleng ketakutan dan aku tidak tahu mengapa mereka menatapku dengan tatapan takut.
“Kamu berbohong?” Aku mencoba menginterogasi. “Jadi, kenyataannya apa? Aku harus tahu penjelasan kamu.”
“Kamu yakin mau dengar penjelasan aku?”
Aku mengangguk.
“Aku dan Rasita akan menikah bulan ini. Secepatnya.”