Desa Srapit berada di kaki bukit yang juga bernama Srapit. Desa itu terletak di perbatasan dua provinsi, antara Jawa Timur dan Jawa Tengah. Desa Srapit letaknya memang terpencil dan jauh dari pusat kota. Semua kebutuhan masyarakat desa Srapit didapatkan dari kota kecamatan yang bisa ditempuh melalui jalan rusak dan tidak terawat karena tidak masuk dalam prioritas pembangunan.
Desa yang sepuluh tahun lalu merupakan tempat yang lebih dikenal menjadi tujuan para pencari kekayaan alias pesugihan. Desa Srapit hanya dihuni oleh 40 kepala keluarga. Tidak ada desa lain di sekitarnya, selain hanya hutan jati milik Perhutani serta semak belukar lalu areal perladangan dan sawah milik penduduk Desa Srapit.
Sepuluh tahun lalu datanglah Kyai Maksum ke Desa Srapit dan membeli beberapa bidang tanah, kemudian membangun pondok pesantren yang diberi nama At Taubah. Awalnya Kyai Maksum hanya ingin mengubah citra Desa Srapit yang dikenal sebagai tempat pesugihan dan berbagai macam praktik klenik menjadi desa santri. Namun di luar dugaan, pesantren At Taubah yang didirikan oleh Kyai Maksum malah menjadi terkenal dan didatangi oleh para orangtua dari luar Desa Srapit untuk mendaftarkan anak-anak mereka menjadi santri di tempat Kyai Maksum.
***
Sebuah mobil Pajero Sport berwarna black dop berhenti di depan pintu gerbang pesantren tepat di bawah gapura yang merupakan gerbang masuk menuju areal pondok pesantren di mana di bagian atas gapura terdapat plang berwarna hijau bertuliskan: PONDOK PESANTREN AT TAUBAH .
Pintu gerbang terbuka perlahan, tampak seorang anak lelaki tanggung mengenakan gamis dan celana cingkrang berwarna senada. Putih-putih serta memakai kopiah berwarna hitam sedang mendorong pintu pagar yang terbuat dari kayu menyilang yang membentuk teralis dan berwarna cokelat mengkilap karena dipelitur dan dipernis.
Seorang perempuan berusia lima puluhan yang masih terlihat muda dan cantik duduk di samping sopir, membuka jendela mobil lalu bertanya kepada anak lelaki tanggung yang tadi membukakan pintu gerbang.
"Dik, yang mana tempat tinggal Kyai Maksum?"
Dengan takzim anak lelaki tanggung yang mengenakan gamis putih-putih itu memberi tahukan bahwa rumah Kyai Maksum berada di bagian belakang pondok.
"Itu, Bu. Setelah melewati masjid nanti terus ke utara sampai mentok, terus ada rumah panggung, di halamannya ada pohon trembesi," ujar si anak lelaki tanggung menjelaskan.
"Terimakasih, ya?" Perempuan berusia lima puluhan yang berdandan rapi itu tersenyum dari dalam mobil.
"Inggih, Bu," angguk si anak lelaki itu hormat.
***
Sementara itu dari sebuah rumah berbentuk joglo seperti lazimnya rumah-rumah penduduk pedesaan di pulau Jawa, seorang lelaki berusia lima puluhan itu tampak merenung di tempat duduknya yang berada di ruang tamu dengan lantai yang berupa semen kasar.
"Mobil yang lewat tadi pasti menuju ke pesantrennya Si Maksum," ujarnya dengan suara parau.
"Darimana Pakne tau, kalau mobil itu ke tempatnya Yai?"