Arshaka dan teman sekamarnya, Bono adalah dua orang santri yang sangat jauh berbeda latar belakangnya. Arshaka adalah anak orang kaya yang berasal dari ibukota, sedangkan Bono berasal dari Desa Srapit, berangkat dari keluarga petani yang hidupnya serba pas-pasan. Meski begitu, Bono juga adalah cucu dari seorang dukun terkenal di Desa Srapit, yaitu Mbah Gayeng yang dulunya cukup frontal menentang berdirinya pondok pesantren At Taubah. Mbah Gayeng bahkan mengintimidasi Kyai Maksum agar tidak meneruskan niat membangun pesantren, tapi Kyai Maksum mengacuhkannya dan tetap meneruskan proyek pembangunan pesantren sampai selesai dan menerima santri untuk mondok.
Arshaka dan Bono sama-sama santri baru, mereka berangkat dari tujuan yang berbeda. Arshaka dimasukkan ke pesantren karena papa dan mamanya sangat sibuk sehingga merasa tidak sanggup untuk mendidik dan mengawasi Arshaka. Lain halnya dengan Bono. Bapak dan ibunya memasukkan Bono ke pesantren hanya untuk membersihkan nama keluarga mereka yang dikenal jahat dan buruk oleh Kyai Maksum. Karena Mbah Gayeng adalah penentang Kyai Maksum yang paling keras sehingga sampai mengorbankan nyawa, meskipun itu adalah nyawa Mbah Gayeng sendiri. Orang-orang di desa Srapit menganggap ilmu kesaktian Mbah Gayeng kalah oleh ilmunya Kyai Maksum. Sejak kematian Mbah Gayeng, hampir semua penduduk Desa Srapit yang mengamalkan ilmu-ilmu hitam dan pelaku klenik menjadi lebih berdiam diri dan tidak mau menunjukkan permusuhan dengan Kyai Maksum. Meskipun secara diam-diam mereka tetap melakukan praktik pesugihan serta praktik klenik yang lain untuk melayani orang-orang yang datang dari luar Desa Srapit.
Hal itu bukannya tidak diketahui oleh Kyai Maksum, tapi dia mencoba bersabar karena untuk memerangi kemungkaran yang sudah turun-temurun tidaklah mudah. Semua itu memerlukan waktu dan strategi yang benar-benar matang. Sampai sejauh ini Kyai Maksum merasa bersyukur karena dia telah berhasil membangun pondok pesantren yang cukup berhasil, itu terlihat dari banyaknya anak-anak dari luar Desa Srapit yang mondok di pesantren At Taubah yang didirikannya. Meski di luar pondok, praktik pesugihan dan berbagai macam klenik masih saja berlangsung, tapi sudah tidak semarak dulu sebelum berdirinya pondok pesantren.
Kyai Maksum yakin dan percaya bahwa kelak Desa Srapit akan menjadi sebuah perkampungan yang bersih dari praktik sesat dengan ritual-ritual yang dilarang dalam Islam. Apalagi banyak anak-anak dari Desa Srapit yang ikut mondok dan menuntut ilmu agama di pesantren At Taubah. Meski dengan alasan yang berbeda-beda. Ada yang menjadi santri mukim yaitu santri yang tinggal menetap di asrama pondok dan ada yang menjadi santri kalong yaitu santri yang memilih untuk pulang ke rumah di waktu istirahat.
***
Alunan tarhim--shalawat atau bacaan yang biasanya diperdengarkan menjelang azan subuh--sudah terdengar dari masjid pondok. Para santri mulai menggeliat di pembaringan masing-masing. Arshaka juga tersentak bangun, meski matanya terasa berat untuk dibuka. Sekarang baru pukul 3.15 dinihari. Subuh masih satu jam lagi. Arshaka masih ingin memejamkan mata barang sejenak sebab tadi malam ia dan Bono serta kawan-kawan sekamarnya, semua menerobos pondok putri untuk mengintip kejadian kesurupan beberapa orang santri putri. Ustadz Agus tampak kewalahan menyadarkan lima orang santri putri yang kesurupan. Berteriak-teriak marah, menangis dan tertawa serta meronta-ronta. Meski ia hanya membantu dua orang ustadzah untuk meruqyah kelima santri putri itu. Sejak selesai maghrib hingga pukul satu dinihari barulah semua santri bisa kembali sadar. Saat prosesi penyembuhan itu banyak santri laki-laki yang bergelantungan di pohon, di samping asrama putri. Mereka mengintip ke arah aula putri dari jendela kaca yang agak buram. Sampai ada yang terjatuh atau merosot dari dahan pohon waru di samping pondok putri. Suara umpatan kekesalan dari santri yang terjatuh dari pohon serta suara tertawa yang ditahan, ikut meramaikan suasana saat itu.
"Ati-ati kowe, Panjul. Disuruh belajar malah ngintip santri putri kesurupan," ejek Bono kepada Panjul teman sedesanya.
"Matamu kuwi, jiangkrik!" balas Panjul yang nama sebenarnya adalah Zulpan.