Dari balik gerimis, perempuan itu muncul begitu saja. Ia seolah ditelan oleh gerimis dalam waktu yang sangat lama. Rambutnya yang dibiarkan tergerai, basah. Dahinya, pipinya, hidungnya, lembah kelopak matanya, pakaian yang dikenakannya sama basahnya. Perempuan itu sedikit gemetar ketika keluar dari tirai jarum-jarum air itu. Wajahnya yang bersih tampak pucat dengan bibir bersemu ungu. Ia melangkah gontai menuju tempat terdekat di mana air hujan tidak akan bisa menyentuh tubuhnya.
Rumah itu masih belum layak bila dikatakan sebuah rumah. Dinding yang keseluruhannya terbuat dari bambu, tampak berlubang di sana-sininya seukuran bilah bambu yang dibelah dua dalam ukuran tinggi tidak lebih dari dua meter. Atapnya yang terbuat dari rumbia sudah berlubang di beberapa bagian. Namun sepertinya air hujan enggan memasukinya, jadi ruang dalam rumah itu masih terlihat kering. Rumah itu mungkin juga dangau yang sudah ditinggalkan oleh penghuninya. Bentuknya berupa rumah panggung berukuran 3x3 meter saja.
Beberapa pohon tinggi dengan daun-daunnya yang rimbun hampir menghilangkan jejak keberadaan rumah itu bila saja seseorang tidak cukup awas untuk memindainya. Daun-daun hijau bersemu kuning, terkadang cokelat menyamarkan warna cokelat dinding rumah. Harusnya, daun-daun kering dan busuk itu teronggok di sisi-sisi rumah andai saja aliran air hujan tidak menyeretnya beberapa meter ke arah belakang rumah itu.
Guruh di atas langit sesekali terdengar, perempuan itu menutupi kedua telingannya untuk meredam suara gemuruh itu. Ketakutan hampir tumbang dari kedua matanya andai saja ia tidak menyadari bahwa ia sudah terlampau dekat dengan rumah itu untuk perlindungan sementara.
Di sanalah perempuan itu mengeringkan tubuhnya. Ia menunggu hujan benar-benar reda tanpa tahu beberapa pasang mata sedang memerhatikannya dari balik semak. Perempuan itu tidak mengetahui bahaya apa yang kini sedang mengancamnya.
Perempuan itu mengelus perutnya yang sedikit membukit. Ia berbisik dengan suara yang berkelindan antara getar oleh rasa dingin dengan getar lirih karena emosi yang mendesak. “Sabar, Nak,” lirihnya, “di tempat yang baru, kita akan menata hidup jauh lebih baik tanpa harus dibayang-bayangi oleh dosa dan rasa bersalah.”
Perempuan itu memejamkan mata dan mencoba mengingat akan malam-malam sebelumnya sebelum hari ini. Setelah malam itu ia ingat bagaimana hidupnya seperti ditarik-tarik oleh tangan tak kentara agar dirinya lepas dari segala ritual yang pernah menjebaknya. Perempuan itu pernah begitu yakin bahwa dirinya tidak pernah akan tergoda untuk bisa menghentikan semuanya. Ternyata ia salah. Hati kecilnya tiba-tiba melakukan perlawanan ketika lelaki itu dengan begitu dinginnya mengatakan bahwa ia tidak berkuasa atas tubuhnya sementara ia sudah membayarnya dengan harga tinggi kepada Mama Dahlia.
Harga diri perempuan itu merasa begitu terkoyak atas penolakan lelaki yang telah membayarnya itu. Kalau saja lelaki itu tidak seramah dan sebaik seperti yang tidak ia perkirakan sebelumnya, mungkin ia akan memarahi lelaki itu habis-habisan. Perempuan itu sangat tidak suka dengan lelaki atau siapa pun yang seolah-olah begitu alim, sedang pada kenyataannya lelaki itu sama busuknya dengan dirinya.
“Kalau mau berdakwah, di sini tempat yang salah. Enyah kau dari hadapanku!” teriak perempuan itu sebelum membanting pas bunga plastik ke lantai, yang setelahnya menimbulkan riuh kegaduhan dan ketukan berturut-turut dari balik pintu kamar, dan berhenti ketika perempuan itu melongokkan kepala dari balik pintu dan mengatakan kepada orang-orang di luar kamar bahwa tidak ada kejadian apa-apa yang harus mereka kuatirkan.
“Orang suci tidak datang ke tempat pelacuran,” tambah perempuan itu.
Perempuan itu berang bukan kepalang. Namun setelahnya ada desir nyeri yang mengendap di dadanya. Setiap perkataan lelaki itu sangat ada benarnya; bahwa apa yang dilakukannya adalah salah.
“Aku datang ke tempat ini bukan untuk melacur,” ujar lelaki itu dalam posisi berdiri kokoh di samping ranjang sementara perempuan itu membiarkan tubuh telanjangnya dibelai angin, sementara mata lelaki itu tak sekalipun mau mendarat di atas tubuh telanjangnya itu. Sang lelaki berkata sementara tatapannya mendarat di atas tirai jendela yang meliuk dipermainkan angin malam yang mencuri masuk lewat lubang ventilasi.
“Lantas untuk apa?” Sang perempuan berang. Ia menarik selimut untuk menutupi ketelanjangan tubuhnya. Ia merasa sedang dipermalukan oleh lelaki itu.
“Mengajakmu kembali. Dan pergi,” jawab lelaki itu.