Sudah bertahun-tahun orang-orang mengenalnya sebagai perempuan sampah. Bukan. Bukan perempuan sampah dalam arti yang buruk. Perempuan sampah yang dimaksud adalah perempuan yang kesehariannya bergulat dengan sampah yang menggunung dan aromanya yang bau. Sejak kali pertama Mak Jum—nama panjangnya Jumirah—dilahirkan, sampah adalah dunianya. Tangis pertama Mak Jum pecah seiring suara gemuruh truk-truk sampah yang menurunkan muatannya. Bukan wangi kayu putih atau minyak telon—seperti kebanyakan aroma bayi yang baru dilahirkan—di dalam kamarnya yang sempit, kecuali aroma busuk yang memualkan. Mak Jum, bahkan, ketika hirupan pertama napasnya, bau busuklah yang kemudian menjadi aroma yang tak asing hingga bertahun-tahun berikutnya.
Bapak Mak Jum sudah lama meninggal. Di tempat itu. Terkubur hidup-hidup ketika sedang memulung. Saat itu, bapaknya sedang mencari-cari koran bekas, atau botol-botol plastik bekas air mineral, dan besi. Sayangnya, itu adalah hari tersial dalam hidupnya. Tumpukan sampah yang menggunung itu tiba-tiba bergetar hebat untuk lantas longsor menimpa tubuhnya tanpa ayal. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh ibunya—yang saat itu sama-sama sedang memulung—kecuali berteriak histeris. Ia terlambat untuk menyelamatkan suaminaya itu.
Ibunya kemudian kerap sakit-sakitan setelahnya. Rasa kehilangan yang menyakitkan membuat ibunya kehilangan semangat hidupnya. Ketika Mak Jum berusia delapan tahun, ibunya itupun pergi menyusul bapaknya. Mak Jum kemudian hidup dengan segala kesepian di rumah bilik peninggalan ibu-bapaknya sepanjang hari. Mak Jum yang malang.
Tentang Mak Jum yang kesepian, kemudian menjadi cerita paling sedih yang bergulir di tempat pembuangan sampah itu menjadi semacam kisah yang kerap orang-orang ceritakan sepanjang hari seolah kalau tidak menceritakannya menjadikan hari-hari mereka seakan ada yang kurang.
Mak Jum hidup sebatang kara setelahnya. Tanpa saudara ataupun kerabat. Yang ia punya adalah para tetangga yang nasibnya tidak jauh berbeda dengan dirinya; pemulung dan menjadikan tempat itu adalah tempat di mana mereka bisa hidup dan mencari uang.
Mak Jum tumbuh dalam segala kesulitan. Seorang diri. Hingga usianya tua, bahkan tak seorang pun lelaki yang mendekatinya sekadar menyatakan rasa sukanya. Mak Jum paham dengan keadaannya. Meskipun wajahnya tidak jelek-jelek amat, kesehariannya yang terus bergulat dengan hal-hal yang kotor, bau, dan busuk, menjadi penyebab para lelaki enggan mendekat kepadanya.