“Mak bukan ibumu,” ucap Mak Jum ketika Ning sedang hendak berkemas. Sepertinya Ning sudah tahu, bukankah waktu dirinya berusia sembilan tahun Mak Jum pernah mengatakannya? Apa Mak Jum lupa? Batin Ning. Bahkan Ning tidak tampak terkejut akan kalimat yang dilontarkan oleh Mak Jum.
“Syukurlah, pada akhirnya Mak Jum mau mengatakannya juga,” ujar Ning dengan suara penuh kelegaan. Mak Jum menaikkan kedua alisnya, dibekap pertanyaan.
“Apa kau sudah termakan desas-desus orang-orang sebelumnya?” tanya Mak Jum.
“Tentu saja tidak. Pada mulanya iya, tetapi, Mak Jum kerap mengatakannya tanpa Mak Jum sadari,” jawab Ningsih. Mak Jum tampaknya sudah benar-benar lupa pernah mengatakannya.
“Mak tak pandai berbohong ternyata,” sesal Mak Jum. “Baiklah kalau kau sudah mengetahui yang sebenarnya jauh sebelum mak mengatakannya. Apakah kau marah, Ning?”
“Marah? Tentu saja tidak. Kebohongan sama menyakitkannya dengan kebenaran.” Ningsih menatap perempuan di hadapannya itu yang mulai berkaca-kaca. Sebenarnya, kalau harus jujur, ia enggan berpisah dengan perempuan yang sudah membesarkannya itu. Namun, ia ingin jauh lebih mengetahui kehidupan yang sebenarnya, terlebih perihal silsilah ibu yang penah melahirkannya, yang kata orang hanya seorang pelacur yang keji yang memilih membuang bayinya ketimbang mau membesarkannya.
“Maafkan mak, Ning,” ujar Mak Jum penuh kepasrahan.
“Tidak ada yang harus dimaafkan, Mak. Aku yang harusnya minta maaf pada Mak. Aku terlalu bersikeras.” Ningsih memeluk Mak Jum dengan erat. Sekali ini air mata keduanya mulai tumpah. “Bahkan aku sudah tahu siapa sebenarnya ibuku, walau aku tak penah tahu rupa ibuku. Untuk itulah aku sangat ingin mencari tahu.” Tangisan keduanya pecah, mengoyak kesunyian yang tiba-tiba luruh di tempat itu, hingga suara gemuruh truk-truk yang berlalu-lalang seolah tak terdengar keriuhannya bagi mereka berdua.