Seorang perempuan bangun tergesa dan merasakan pikirannya tiba-tiba disesaki oleh berbagai kecemasan dan rasa kuatir. Ia bergegas dari bilik tidurnya dan mendapatkan Ning sedang menatap bayangan tubuhnya sendiri di depan cermin. Cermin yang sedianya hanya berupa potongan kecil melintang tidak utuh, berbentuk segitiga sama sisi—bahkan sisinya sama sekali tidak sama panjang—yang mereka dapatkan begitu saja di antara tumpukan sampah. Ning tengah berdiri dalam segala keraguan yang tiba-tiba memeluknya. Ning tahu sekuatir apakah perempuan itu bila dirinya meninggalkannya.
Perempuan itu berdiri mematung, tak hendak mengagetkan Ning yang rupanya sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Bahkan, suara engsel pintu bilik kamar yang berdecit, sama sekali tidak membuat Ning terlonjak dan membalikkan tubuh. Perempuan itu, Mak Jum hanya menunggu Ning segera menyadari keberadaannya.
Itu baru pukul lima pagi. Meski suara gemuruh mesin truk pembawa sampah sudah terdengar, sepagian itu bagi para penghuni TPS, masih mereka gunakan untuk menggelungkan tubuhnya di bilik kamar masing-masing. Mak Jum dan Ning tidak seperti itu. Jam lima adalah saat mereka bangun, sarapan seadanya, lantas berkemas menuju gunungan sampah. Pagi ini, itu tidak akan terjadi.
Mak Jum tiba-tiba merasakan rasa nyeri. Bagaimanapun pada akhirnya kepergian Ning pasti menyisakan ruang kosong dalam dirinya. Jika saja ia bisa mencegahnya, mungkin saja rasa nyeri itu tak mungkin akan terjadi. Inginnya ia berkata bahwa kota Jakarta terlalu berbahaya bagi perempuan seperti Ning. Namun, Ning orangnya penuh perhitungan, bisa jadi segala perhitungan perihal ibu kota itu sudah Ning mamah matang-matang. Ningsih yang terkadang keras kepala dan tak bisa dibantah, sudah menjelma perempuan dewasa yang memiliki nalurinya sendiri. Mungkin inilah saatnya bagi Ning untuk mengetahui dunia lebih luas dibanding dunia yang selama ini ia isi: Tempat Pembuangan Sampah Sementara Bojong Kendang.
Dalam tepekurnya di depan cermin, Ning tidak sedang memandangi bayangan tubuhnya sendiri. Pada kenyataannya pikirannya sedang terlunta-lunta di tempat yang sangat jauh. Tempat di mana hanya dirinya yang tahu. Ning sedang melamunkan tempat seperti apa yang hendak dijamahnya. Kata orang, Jakarta adalah kota harapan, sekaligus kota yang kejam. Jakarta bisa memberimu penghidupan yang jauh lebih layak, tetapi pada hal lain, bisa juga membuatmu terlempar menjadi seorang gembel bila tidak bisa memanfaatkan peluang. Walau Ning sudah memikirkan bahwa ia akan berusaha keras agar hidupnya menjadi jauh lebih layak, rasa kuatir tetap saja mengendap dalam dirinya. Ningsih tidak berpendidikan. Bahkan, sekolah dasarnya pun hanya dilakukan di rumah sementara seorang teman mengajarinya membaca dan menulis. Dengan fakta tersebut, sebenarnya Ning merasa ngeri kalau ia bisa menaklukkannya. Mau jadi apa dirinya di Jakarta? Pengemis? Gembel? Atau jangan-jangan hanya jadi kuli pasar di pasar induk, seperti yang ia bayangkan.
Sementara Ning masih mematung, Mak Jum mendeham. Bukan karena tenggorokannya tiba-tiba gatal, melainkan ia ingin membuat Ning sadar bahwa di belakangnya, ia sedang menunggu.
“Ehmmm!”
Ningsih hampir melonjak. Lamunannya terlalu jauh mengembara. Ia membalikkan tubuhnya dan mendapati Mak Jum sedang menatapnya dengan lekat. Kantung kedua matanya yang menggelambir dan pekat semakin menandakan seberapa lama usia mendampinginya selama ini. Mak Jum menyunggingkan senyum sementara beberapa buah giginya yang sudah tanggal menyisakan lubang hitam yang menganga.
“Jadi pergi, Ning?” seperti bukan pertanyaan, hanya pernyataan yang membuat Ning semakin diganduli oleh kebimbangan. Ning tidak segera menjawab. Ia menatap perempuan itu dengan kaca-kaca di matanya yang mengembun tiba-tiba. Dalam sekali kesempatan Ningsih merasakan dadanya menjadi sesak. Apa aku harus menjawabnya sekarang? Batin Ning, ragu.
Kalau saja ada pilihan hidup yang jauh lebih baik, Ningsih tidak akan melakukannya. Sebenarnya bukan hanya ingin mengubah hidup, jauh di sudut hatinya yang tidak teraba oleh Mak Jum adalah: Ning ingin mencari ibunya atau setidaknya mendapatkan informasi perempuan yang membuang bayinya di tempat pembuangan sampah pada beberapa tahun ke belakang. Atau setidaknya Ning bisa yakin bahwa perempuan itu bukan seorang perempuan penghibur, seperti yang dikatakan oleh orang-orang.
Mak Jum menunggu jawaban. Sementara Ning, berubah menjadi seorang bisu yang menelan kata-katanya sendiri. Ning hanya diam, menatap Mak Jum, mendatanginya, lantas mendekapnya erat penuh rasa sayang. Ning sudah berjanji bahwa ia tidak akan menangis, meski kepergian itu akan sangat menyesakkan bagi keduanya.
“Katakan, Mak. Bahwa kepergian ini tidak bisa ditangguhkan,” ucap Ning dalam gelombang dada yang mengombak. Ningsih ingin mendengarkan sepenggal jawaban yang membuat dirinya tidak terlalu terbebani.
“Bila memang harus dan tidak bisa ditangguhkan, kenapa tidak?” jawaban yang diharapkan Ning pada akhirnya meluncur dari bibir Mak Jum. Meski kata-kata itu tidak berasal dari ketulusan melainkan dari perasaan putus asa, tetapi bagi Ning itu saja sudah cukup.
“Aku harus pergi, Mak. Aku harus tahu banyak hal tentang semuanya.”
“Sudah mak kira. Kau pergi tidak saja karena keinginanmu menaklukkan Jakarta, lebih dari itu, kau… ingin mengetahui lebih banyak perihal ibumu…. Bukan?”
Ningsih tidak bisa menjawab. Rahasia kecilnya sudah terbongkar. Jadi, untuk apa ia melakukan penyangkalan. Ningsih mengangguk. Mak Jum tersenyum, tipis. Setipis udara yang kini menggantung di atas kepala kedua orang yang akan saling menjauh dan saling merindukan.
“Maafkan aku, Mak. Waktunya sudah tiba. Apa aku sudah boleh bergegas?”
Mak Jum mengembuskan napas. Berat memang, tetapi apalagi yang harus ditunggu? Bukankah lebih cepat itu jauh lebih baik? Sebelum segala kebimbangan kembali mengeras dalam dada keduanya.
“Dengarkan mak,” ujar Mak Jum dalam intonasi memerintah, “jangan pernah memercayai kata-kata orang asing yang baru kaukenal, apalagi kata-kata itu beraal dari mulut para lelaki. Mulut lelaki jauh lebih berbisa bagi perempuan secantik kau, Ning. Jangan tertipu atau terbujuk rayuannya. Bagaimanapun, tak banyak lelaki baik di ibu kota. Bahkan, ibu kota sendiri jauh lebih kejam dari orang-orangnya.” Ning mengangguk. Ia paham apa yang dimaksudkan oleh Mak Jum.
“Aku akan selalu menjaga diri,” tegas Ning.