Sebelum pergi Mak Jum pernah berpesan kepada Ning bahwa hati-hati dengan orang asing. Orang asing yang dimaksud oleh Mak Jum tentu saja yang tampangnya terlihat licik dan penuh muslihat. Orang seperti ini tentu saja banyak berseliweran di kota sebesar ini. Jadi, orang-orang mana yang harus Ning hindari sementara orang-orang yang Ning pikir berlawanan dengan ciri yang dimaksudkan sama Mak Jum terlihat sama saja: tak peduli, cenderung menjauh ketika Ning dekati.
Ningsih bingung. Kenapa orang-orang yang justru tampangnya mirip yang Mak Jum ceritakanlah yang kebanyakan mendekat dan bertanya. Ning tentu saja menghindarinya. Bukankah itu terlampau berbahaya bagi dirinya?
“Kau seperti tersesat, Kawan. Maukah saya bantu?” Pemuda brewokan bertampang suram dengan uar aroma mulutnya berbau alkohol datang mendekat. Seringainya seperti seekor harimau yang hendak memakan mangsa. Ning menjauh. Pemuda itu tertawa lantas berteriak, entah kepada siapa, “Lihatlah! Apa karena tampangku terlihat kriminal, orang-orang tidak lagi mau percaya terhadap diriku? Baiklah kalau begitu, selamanya orang akan menilai buruk orang lain karena tampangnya. Setuju! Menjauh kau dari hadapanku Gadis Dusun. Aku tak hendak mengganggumu.”
Pemuda itu berlalu dengan makian-makian tidak jelas. Ningsih merasa sedikit lega.
“Kau butuh tumpangan, Teman? Boleh saya antar ke tempat mana pun yang kau mau?” Pemuda lain muncul. Sekali ini tampangnya jauh terlihat lembut dibanding pemuda yang tadi. Rambutnya yang berkilau sebab minyak rambut, tampak klimis, hingga mempertegas kerapiannya. “Tentu saja itu tidak gratis,” lanjutnya.
Ning tidak tahu maksudnya. Apakah pemuda itu meminta upah untuk tumpangan? Kalau itu, Ning mau saja membayarnya. Ada cukup rupiah di dalam saku celanannya. Ning bereaksi dengan mengangguk.
“Baiklah, Teman. Sebutkan alamat yang hendak kau tuju.”
Ningsih menggeleng. Ia sama sekali tak punya alamat yang hendak ia tuju. Pemuda itu mengernyitkan dahi. “Gadis linglung! Enyah kau ke neraka!”
Di luar dugaan, pemuda itu marah dan menatap Ningsih dengan kebengisan seekor srigala. “Tapi tak apalah, kalau kau mau ikut denganku. Bermalamlah di bedengku, lalu kita bercinta semalaman. Hehehe,” ujar pemuda itu, membuat Ning terperanjat.
Ningsih salah menduga, ternyata di kota ini, orang-orang yang tampangnya terlihat baik ternyata sebaliknya, pun dengan orang-orang yang terlihat sangat urakan dan menakutkan malahan sebaliknya. Ningsih tak habis pikir, jika saja dengan tampang seseorang, dirinya tidak bisa menebak mana orang baik dan mana orang jahat, lantas dengan apa ia harus menduga-duga?
Pemuda-pemuda datang dan pergi dari hadapan Ning. Ada yang peduli dengan menawarkan diri—yang ditolak Ning karena sebenarnya ia tak tahu bantuan seperti apa yang akan mereka berikan—ada juga yang sama sekali tak mengindahkan keberadaannya.
“Kau bukan wanita penghibur, kan?” Seorang bapak mendekat dan tersenyum genit ke arah Ning. “Atau memang benar, tetapi kau sedang tidak berminat tidur dengan lelaki mana pun. Betul?”
“Jangan kurang ajar, Pak. Aku perempuan baik-baik,” rutuk Ning seraya bergegas menuju belakang stasiun, yang dipikir Ning akan jauh lebih aman.
Senja mulai turun. Lampu-lampu mulai berbenah dan menyala satu demi satu. Ningsih terjebak dalam kebingungan tak berkesudahan. Dalam hati kecilnya ia menyesal kenapa ia memaksakan kehendaknya. Tak ada tujuan yang hendak dituju. Dan apa yang Ningsih bayangkan tentang Kota Jakarta semuanya adalah sebuah kekeliruan. Kecemasannya mengeras. Ketakutannya tiba-tiba mengudara.
*****
Setelah melewati lorong-lorong yang sunyi, Ningsih mendapatkan dirinya terjebak di sebuah gang buntu. Ning baru saja mengalami hal buruk ketika beberapa orang pemuda mendatanginya dengan beramai-ramai. Mereka mengira bahwa Ning adalah wanita penghibur yang sedang menjajakan diri. Mereka berebut menawarkan kemampuan untuk membayar tubuh Ning. Ning yang tidak tahu menahu perihal transaksi itu hanya berusaha berkelit dan mengatakan bahwa ia bukan wanita penghibur. Mereka tertawa karena tidak percaya. Mereka hanya sedang menduga bahwa Ning sedang menahan harganya agar tetap tinggi. Salah satu dari mereka mengeluarkan segepok uang, lantas mengulurkannya ke tangan Ning agar mau menerimanya. Ning menolak, dan berang. Uang itu dilemparkannya ke wajah pemuda itu. Di situlah semua bermula.
Mereka marah. Mereka merasa direndahkan. Mereka bersiap menyeret tubuh Ning ke suatu tempat kalau saja Ning tak pandai berkelit. Ning, dengan kekuatan yang dimilikinya segera berlari ke arah, bahkan ia tak tahu sebelah mana utara, selatan, barat, maupun timur. Ningsih berlari ke tempat yang ia tidak tahu.
Mereka terus mengejar. Sambil menceracau. Terkadang disertai dengan tawa-tawa merendahkan. Ning mendengar ceracauan itu hingga dirinya merasa terlalu takut.
Hampir Ning menyerah kalah karena tersudut andai saja seorang perempuan tidak datang menghampirinya. Perempuan itu setengah baya, tersenyum ramah, lantas mengusir pemuda-pemuda itu selayaknya seekor rajawali yang membuat anak ayam berlari kocar-kacir. Ning harus banyak berterima kasih kepada perempuan itu. Bagaimanapun, bila perempuan itu tidak muncul, kemungkinan dirinya selamat sangatlah kecil.