Bidadari itu bermata sendu. Setelah beberapa kali bersitatap dengan bola mata itu Ning baru menyadari bahwa bola mata itu bisa menenggelamkannya kapan saja. Dulu. Dulu sekali, Ning berpikir bahwa di dalam mata itu ia bisa berenang sesuka hatinya karena ia merasa bahwa mata itu tidak mungkin ingin menenggelamkannya. Tetapi apa yang dipikirkan oleh Ning semuanya adalah salah. Mata sendu itu ternyata seumpama telaga dengan permukaan air tenang sementara di dasarnya beberapa ekor buaya hidup dan berenang-renang mencari mangsa. Pada satu kesempatan, Ning berenang di dalam mata itu untuk lantas terjebak di antara berpuluh-puluh ekor buaya yang hendak menerkamnya. Ning panik dan hampir merelakan dirinya dimakan buaya itu. Namun, pemilik mata itu segera menyelamatkannya. Pemilik mata itu adalah Mama Dahlia, majikannya.
Ningsih sudah hapal setiap gerak-gerik mata itu. Ketika ia marah, maka di dalam mata itu tiba-tiba menyala segerombolan api. Panasnya keluar dari dalam ceruknya hingga akan melumatnya menjadi abu. Bahkan Ning kerap merasakan api itu berkali-kali. Itu terjadi apabila Ning menolak setiap perintah yang dibebankan kepadanya. Seperti saat ini. Ning enggan melayani tamunya yang sudah tua dan tubuhnya berbau apak, maka menyalalah api itu dengan panas yang menjilat-jilat. Ning tidak bisa mematikannya, bahkan dengan banyak air sekalipun. Api itu butuh membakar, bukan padam.
“Matilah kau di neraka, Sarah. Bahkan aku sangat menyesal telah menyelamatkanmu. Harusnya kubiarkan saja kau diperkosa beramai-ramai kala itu. Aku harusnya membiarkanmu mati dicingcang-cincang setelah mereka berhasil menodaimu,” maki Mama Dahlia. Mama Dahlia sudah mengubah nama Ningsih sebagai Sarah. Tetap saja Ning menganggap bahwa nama itu kurang cocok baginya. Hanya ketika bersama Mama Dahlialah Ning akan menyahut bila dipanggil Sarah.
Kalau sudah begini, Ning tak bisa mengelak. Benar bahwa perempuan itu telah menyelamatkannya. Benar pula bahwa akhirnya ia bisa hidup jauh lebih laik dari sebelum-sebelumnya. Yang salah, kini Ning muak dengan apa yang dikerjakannya. Ia ternyata hanya seorang wanita penghibur. Namun, meski ia menyesal, itu sudah sangat terlambat.
“Berlakulah yang baik, Sarah. Maka aku tak akan pernah semarah ini.”
Ning tak mampu menolak. Kemudian ia mengangguk. Perintah harus segera dilaksanakannya meski ia sama sekali tak berminat.