Ningsih harusnya mengeluh atas kehidupannya yang kini terenggut paksa. Ning seharusnya meminta keadilan atas apa yang kini dialaminya. Namun, Ning tak mau melakukannya. Ning menganggap bahwa ini hanya sebuah guratan nasib yang harus dijalaninya. Meski itu buruk. Mengingat apa yang dilakukannya bukan atas kemauannya sendiri, Ning menganggap apa yang dilakukannya tidak seratus persen salah. Toh, ia sudah berusaha keras untuk menghentikannya, tetapi semuanya adalak kesia-siaan.
Ningsih mulai menikmatinya. Mulai menikmati bagaimana ia merasakan tubuhnya menghangat, bergetar, bergejelokak, melemas, hingga meletupkan gairah puncak. Ning mulai menikmatinya dan menganggap hal itu anugerah. Pikirannya salah. Tentu saja Ning tahu fakta itu. Namun entahlah. Mungkin karena Ning bosan memberontak, pada akhirnya Ning takluk oleh keadaan.
“Kau bahkan sangat menikmatinya. Apakah kau berniat untuk berhenti?” Supri yang kala itu muncul sebagai pendatang baru di Rumah Hiburan Malam Mama Dahlia itu kerap bertanya.
“Sudah pernah kulakukan dan itu hanyalah sia-sia,” jawab Ning dengan mata menerawang.
“Kau tahu bahwa apa yang kau lakukan itu adalah dosa?”
Ningsih terkekeh. “Sama berdosanya dengan lelaki-lelaki itu.”
Benar. Itu benar. Bagaimanapun perihal dosa, Ning menyadarinya. Namun, perihal dosa yang harus ditanggungnya kelak, apa hanya miliknya sendiri? Bukankah lelaki-lelaki itu berhak menanggungnya juga? Ning pikir tak adil kalau dirinya dibilang perempuan pendosa sementara para lelaki tidak.
“Aku tak mau melakukannya,” lanjut Supri.