“Camkanlah.” Ning masih mengingat betapa kata-kata seolah bekal yang begitu penting yang disisipkan Mak Jum ke tas ranselnya sebelum pergi. “Tubuh perempuan adalah candu bagi kebanyakan laki-laki.” Ningsih yang merasa bahwa kalimat itu terus diulang-ulang mulai merasa bosan. Ning sebenarnya masih meraba-raba arti dari kalimat itu. Yang Ning tahu, candu itu adalah segelas kopi hitam pekat yang tidak bisa ia lewatkan ketika bangun dari tidur. Apakah candu itu seperti yang ia pikirkan?
“Sekali tubuhmu laki-laki jamah dan nikmati, berkali-kali kemudian kau akan merasa ketagihan.” Kalimat itu masih terus menerus terngiang. Kini, setelah beratus-ratus kilometer jauhnya dari tempat tinggal Mak Jum, kalimat-kalimat itu mulai Ning pahami. Ia mulai paham, inilah yang dimaksud candu. Lelaki-lelaki itu datang, mencumbunya, lantas beberapa waktu kemudian kembali, mereka datang melakukan hal yang sama terhadapnya.
Ningsih mengerang. Ia mulai bosan dengan semuanya.
Lelaki itu menggeliat, di samping Ningsih, penuh kepuasan. Sementara Ning menekuk lututnya dengan lelehan air mata yang meluncur dari kedua sudut matanya. Ini kali kesekian. Kelima puluh dua kali, ke tujuh puluh delapan kali, keseratus, atau kesekian kalinya. Bahkan Ning tak pernah menghitungnya. Yang Ning ingat, ada lebih dari empat puluh delapan minggu, semenjak ia berada di tempat itu, dan hampir tiap malam ia digilir. Bayangkan satu malam bisa lebih dari tiga lelaki, ia mengalami kejadian yang sama persis, berulang-ulang. Tentu saja Ning sudah merasa bosan, dan… tersiksa.
Ning mulai ingin mengakhirinya. Namun, dengan cara apa? Bahkan Ning tak berani lagi memohon kepada Mama Dahlia agar ia dibiarkan bebas.
Ningsih hendak bangkit. Tetapi, ia nyaris tak bisa melakukannya. Selangkangannya begitu sakit. Ini yang kelima, malam ini. Ning selalu berpikir bahwa dirinya bukan lagi manusia. Ia hanya seekor robot yang sudah diatur tuannya untuk melakukan hal yang sama berulang-ulang. Oleh karena itu ia tak punya lagi kuasa atas dirinya sendiri. Itu sudah cukup membuat dirinya mulai jengah.
Ningsih keluar dari kamar dengan tergesa, meski dengan sedikit tertatih-tatih. Ia merasa seluruh tubuhnya lemas. Bau keringatnya yang bercampur dengan parfum dan aroma para lelaki sepanjang malam itu tercium begitu memuakkan, terkhusus Ning.
Ningsih mulai jijik dengan dirinya sendiri. Kalau saja ia tak ingat apa yang dikatakan Mak Jum perihal menyakiti diri sendiri itu dosa—padahal Ning sudah tak peduli lagi dengan dosa—mungkin sudah dari semenjak dulu ia ditemukan mati bunuh diri di kamarnya, atau tergantung di atas pohon beringin yang tumbuh di belakang rumah hiburan, atau mungkin pula tubuhnya diseret arus deras sungai yang mengalir tidak jauh dari tempat tinggalnya itu. Itu tak Ningsih lakukan. Meski dosanya sangat bergelimang, Ning tak mau riwayat hidupnya begitu terhina dengan memutuskan untuk mati bunuh diri.
Meski telah membungkus tubuhnya dengan selimut tebal yang ia bawa dari dalam kamar, Ning masih merasa kedinginan. Ia mulai menggigil, sementara rasa sakit menjalari sekujur tubuhnya. Ning tahu, rasa sakit itu menyebar dengan cepat dan berpusat di selangkangannya. Ning sudah berkali-kali meminta rehat kepada Mama Dahlia, tetapi, perempuan itu sekalipun tak menggubris. Bisa apalah Ning, kecuali patuh.
Ningsih hampir terjatuh ketika bilik pintu kamarnya terbuka perlahan. Ia menggenggam pegangan pintu itu begitu kuat, sekadar menopang tubuhnya yang lemah agar tidak ambruk. Namun, gagal. Pada akhirnya Ning pun terjerembab, menciptakan gedebuk hebat di suasana malam yang begitu hening. Bulan mengintip, jengkerik berhenti berbunyi, koak burung-burung malam menjeda sementara. Dalam keheningan, tubuh Ningsih serupa jasad mati yang siap dikubur. Tak ada siapa pun di sana kecuali udara yang menggigilkan tulang.
Di mana Supri? Sama halnya Ning, tubuh Supri pun sedang menjelma candu bagi tamu laki-lakinya, tak jauh dari tempat Ning terkapar. Dua perempuan yang sama-sama sudah diperbudak napsu sedang merindu kebebasan. Namun, semua tak akan cukup mudah bagi keduanya.
*****