Hujan sudah berhenti. Sepanjang minggu ini, Tempat Hiburan Malam Mama Dahlia kerap kebasahan ditimpa hujan yang seolah tidak pernah lelah berhenti. Hujan, bagi Mama Dahlia adalah sebuah anugerah yang patut dirayakan. Bagaimana tidak, dengan datangnya hujan, lelaki-lelaki yang kedinginan dan butuh kehangatan akan datang berbondong-bondong ke tempat hiburan itu. Tentu saja itu adalah gelontoran banyak rupiah yang akan diterima oleh Mama Dahlia. Perempuan itu hanya butuh duduk, menunggu, sementara bawahannya bekerja, dan uang akan datang terus-menerus.
Bagi Ning, hujan adalah sebaliknya: petaka. Bagaimana ia harus menghabiskan tenaganya sepanjang malam. Bagaimana ia harus terus berahi sementara kemampuan tubuhnya terus melemah. Dan Ningsih mulai merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah kesia-siaan. Ia ingin berhenti.
Ningsih terbiasa hidup dalam segala keterbatasan. Tetapi ia bahagia. Di sini, Ning merasakan bahwa segala kebutuhannya terpenuhi: uang, makanan lezat, pakaian mahal, perhiasan, bahkan apa yang dulu ia inginkan tapi tak pernah berhasil didapatkannya bisa terpenuhi di sini. Namun, ia tidak bahagia. Ia seolah burung yang terkurung dalam sangkar emas. Semua sepertinya percuma. Sangat.
Kebahagian Ningsih adalah kemiskinan, keterbatasan, kerja keras, dan Mak Jum. Kini, ia tidak bisa mendapatkannya.
Kalau harus jujur, Ningsih ingin kembali ke jaman dirinya masih seorang gadis pemulung yang untuk mendapatkan uang harus rela berjibaku dengan gunungan sampah yang menggunung dan bau. Bersama teman-teman seperjuangan, juga Mak Jum.
Mak Jum? Apa kabarnya perempuan itu. Bahkan, semenjak Ning terjebak di tempat ini, ia sama sekali tak tahu kabarnya. Terakhir ia mengirimkan sejumlah uang untuk perempuan yang menyayanginya itu, meski ia tidak diperkenankan mengantarkannya secara langsung; harus lewat kurir, dan itu membuat Ning sangat kesal. Setelahnya satu kali ia pernah berkunjung—dengan diam-diam—ke rumah Mak Jum, meski ia hanya melihatnya dari kejauhan.
“Bahkan aku tidak bahagia hidup di sini,” bisiknya kepada bayangannya di depan cermin suatu saat. “Bahagiaku bersamamu, Mak. Seandainya aku tidak bersikeras, sepertinya semua ini tidak akan terjadi. Maafkan aku, Mak. Aku ingin menjengukmu, tapi aku tak bisa melakukannya. Setan itu bisa jadi akan membunuhku jika aku memaksa pergi dari sini.” Hujan sudah berhenti semenjak tadi.
Hujan sudah berhenti semenjak tadi. Ningsih ingat ketika hujan turun di masa yang lalu. Rumahnya yang dulu hanya beratap seng seadanya akan terdengar berisik, bahkan terkadang airnya akan masuk dan membuat barang-barang di dalam rumah—hanya seadanya—akan kuyup, sementara Mak Jum akan mencari baskom—yang jumlahnya juga tak banyak—untuk menampung bocoran itu. Waktu itu Ningsih tak mengeluh hanya berandai-andai bahwa suatu saat ia akan tinggal di rumah yang tidak bocor saat hujan datang. Keinginan Ning terkabul. Ia, kini berada di kamar yang tidak bocor saat hujan turun. Namun, ia tidak menikmatinya sama sekali.
Ningsih ingat rumahnya yang dulu.
Ingat Mak Jum. Ning sedang merindukan itu semuanya. Ning sama sekali tidak merindukan hidupnya yang kini berlimpah. Ini ironi sesungguhnya bagi kehidupan Ningsih.
Hujan sudah berhenti. Semenjak tadi. Namun, Ning masih mengembangkan payungnya. Pagi ini ia berniat untuk pergi ke satu tempat, di sekitar rumah hiburan untuk sekadar menghirup udara basah sisa hujan. Ning berangkat dengan tergesa-gesa, dan berharap ketika Mama Dahlia membutuhkan keberadaan dirinya, ia sudah kembali. Semenjak ada di tempat itu, ini kali pertama ia keluar rumah. Sepanjang hari ia terkurung dalam rutinitas yang itu-itu saja: bangun tidur, bersolek, makan, tidur lagi, dan bekerja penuh malam harinya hingga dini hari.
Sebenarnya Mama Dahlia tidak mengizinkannya. Ning mencoba memaksa dengan memberikan alasan bosan. Mama Dahlia cemas kalau Sri berbuat macam-macam. Ia takut primadonanya hendak melarikan diri. Mama Dahlia bersikeras melarangnya.
Ningsih tahu apa yang ditakutkan oleh majikannya itu, ia berjanji bahwa ia tak akan melakukannya. Mulanya Mama Dahlia bersikeras, Ning menggenggam tangan kisut perempuan itu.
“Mama, aku tidak akan mengkhianati kepercayaanmu. Bila saja aku hendak melarikan diri, tak mungkin aku melakukannya di siang bolong,” bujuk Ning. Bagi Mama Dahlia, alasan yang diutarakan Ning ada benarnya.
“Lihat saja bila itu terjadi. Mama tak akan membiarkanmu hidup bebas. Mungkin mama akan mencincang tubuhmu dan membuangnya ke laut.” Mama Dahlia tidak sedang bercanda. Ning tahu itu.
“Baiklah Mama. Percaya saja sama, aku,” ujar Ning meyakinkan.
“Mama akan menyuruh orang untuk menemanimu.”
“Itu tidak perlu, Mama. Aku hanya ingin menikmati suasana ini sendirian. Jangan cemaskan aku.”
Dengan kesal Mama Dahlia pergi. Perempuan itu selalu takut kalau primadonanya melarikan diri.
Ningsih berjalan perlahan. Payung yang sudah dibukanya ia tutup kembali. Ia menentengnya. Hujan tidak lagi berniat untuk kembali datang. Sepanjang jalan orang-orang—terutama para lelaki, memandangnya dengan penuh kekaguman. Para lelaki itu menatap Ning tak berkedip, terkadang sebagian dari mereka bersuit-suit dan mengedipkan mata dengan genit. Ning begitu rupawan dengan tubuh yang aduhai, pantas saja mereka menggodanya dengan penuh gairah.