Bagi Sarah, tubuhnya adalah hutan belantara yang masih belum terjamah oleh manusia mana pun. Sarah berpendapat bahwa tubuhnya adalah hutan yang hijau tempat tumbuh-tumbuhan tumbuh, bertunas, berdaun rindang, berbunga, untuk lantas berbuah. Di hutan itu Sarah mendapatkan kedamaian yang tidak terperi, suara kicau burung-burung, gemericik air terjun yang jatuh ke atas telaga bening di bawahnya tempat ikan-ikan berenang bebas tanpa gangguan. Di telaga itu Sarah bisa berenang bebas penuh keriaan tak berbatas, menyelam ke dasarnya di mana cahaya matahari yang menembus merupa siluet-siluet cahaya memanjang dan berkelindan dalam gerakan sirip-sirip ikan yang bergerak menciptakan riak. Sarah kerap berlama-lama di dalamnya hingga kerap lupa bahwa matahari di atas telaga pamit pulang tergesa menuju peraduan. Sarah tak menyadari semua itu sebab kesenangan membuatnya lena terhadap waktu.
Di hutan itu Sarah biasa berlari menyusuri padang-padang rumput hijau tempat bunga-bunga beraneka ragam mekar merebakkan harum nektar. Sarah akan berlari, tertawa, menari, bernyanyi hingga lelah, sementara laju kupu-kupu dan kepak sayap burung-burung melintas di atas kepalanya. Sarah tersenyum puas, di sinilah dunianya berada. Sarah akan merupa peri yang terbang merendah, dengan sayap seringan kapas dan warna sebening embun pagi. Tubuh Sarah adalah aneka ragam tumbuh-tumbuhan dan hewan bersahaja di dalamnya.
Sarah pernah membayangkan bahwa dalam hutan belantara tubuhnya ia memiliki rumah pondokan kayu yang asri, tempatnya berpulang ketika lelah datang mendera. Di halaman rumah pondokan itu ada kolam tempat Sarah menambatkan sebuah sauh. Ia kerap mendayung ke tengah ketika malam bertabur bintang dan bulan penuh datang. Sarah akan tidur telentang menghadap ke langit dan menatap bulan itu dalam kekaguman luar biasa. Sarah akan tertawa riang sementara angin dingin mengelus tengkuknya hingga bulu kuduknya meremang. Sarah akan tertidur setelahnya dalam lelap yang sesungguhnya. Ketika terbangun, matahari akan menyambutnya dengan sinar hangatnya yang memabukkan.
Namun, hutan belantara tempat kedamaian tubuhnya tinggal tiba-tiba terusik. Seseorang telah memasuki hutannya dari arah yang tidak Sarah ketahui. Seseorang itu datang terlalu cepat, tanpa aba-aba, hingga Sarah tak mampu mencegahnya. Sarah mendapatkan hutannya rusak, bunga-bunga yang sedang mekar tiba-tiba layu tanpa upaya, padang rumputnya mengering dengan sendirinya tanpa sebab, sementara air terjun dan telaga di atasnya mengering begitu saja. Pondokan dan kolam tempat sauhnya ditambatkan, rusak. Seseorang telah menghancurkannya dengan teramat keji. Tak ada kicau burung, tak ada kepak sayap kupu-kupu. Tak ada kedamainya. Selebihnya, belantara yang rusak. Tubuh Sarah menjadi gersang, menjadi tambang seseorang hingga tanahnya tandus tanpa kuasa untuk menumbuhkan pepohonan. Betapa hancurnya hati Sarah. Hutannya kini tak lebih dari pekuburan yang sunyi, tempat hantu-hantu berkembang biak. Hantu-hantu itulah adalah nafsu manusiawi para lelaki yang menggelegak.
Sarah terbangun dengan air mata mengurai sepanjang pipinya yang berkulit bayi. Ia tidak menyadari bahwa kehancurannya dimulai ketika lelaki itu berhasil mendobrak pertahanan dirinya sementara ia tidak menyadarinya. Ia ingin mengelak dan berhenti. Tapi ia tidak bisa melakukannya sebab kuasa atas tubuhnya bukan lagi atas kontrol dirinya, melainkan atas perintah Mama Dahlia.
Sarah ingin berontak. Ia ingin mengelak. Namun, ia hanya seorang budak yang tidak punya kuasa kecuali atas perintah tuan majikannya. Makanya ia tidak bisa melakukannya.
Sarah, sebagaimana perempuan-perempuan lain yang ada di Rumah Hiburan Malam Mama Dahlia, hanyalah sebuah robot yang telah diprogram untuk menjalankan setiap perintah yang telah di-setting untuk melakukan tugasnya secara berulang-ulang tanpa bisa mengatakan tidak atau menolak. Sarah adalah robot nafsu tempat para lelaki menyalurkan syahwat binatangnya dengan sesuka hati mereka.
Sarah masih duduk di atas tempat tidurnya ketika ketukan mendesak terdengar dari balik pintu kamarnya. Ketukan yang bagi Sarah adalah sebuah perintah atasan yang tidak bisa dibantah. Sarah tahu itu. Ia sudah terbiasa dengan ketukan-ketukan mendesak seperti itu.
Sarah lupa mengunci pintu, seperti kebiasaannya selama ini, maka ketika seseorang mendorong daun pintu itu, dengan tanpa perlawanan pintu itu menguak. Mama Dahlia berdiri di bingkai pintu dengan mata setengah mengantuk dengan riasan wajah yang telah luntur. Ia mirip seekor badut yang riasannya mulai luntur terkena keringatnya sendiri, tampak menyedihkan dengan kedua sisi pipinya yang mulai menggelambir. Mamah Dahlia yang berdandan mencolok tidak terlihat sekarang ini. Ia memakai daster yang dua kancing atasnya tak terkancing, belahan payudaranya yang sudah tidak lagi menggairahkan mata lelaki mana pun, sama menggelambirnya seperti sisi kedua pipinya.
Mama Dahlia tersenyum kecut, lalu bicara, “Sudah mama katakan bahwa terlambat mendatangi kamar tamu adalah sebuah pelanggaran. Apa kau tak pernah memahaminya, Sarah?”
Sarah tak berminat untuk mendebat kalimat majikannya itu. Ia hanya mendesah tanpa jawaban, lantas bangkit dari tempat tidurnya dengan keengganan yang sangat kentara. Mama Dahlia terlihat geram tapi tak berminat untuk melontarkan serapah seperti yang kerap ia lakukan. Mama Dahlia hanya mengentakkan bokongnya yang lebar di atas tempat tidur Sarah sebagai bentuk pelarian dari amarahnya.
“Aku kurang enak badan, Mama. Obat pereda sakit kepala itu membuatku terlelap. Maafkan aku bila membuatmu marah.” Sarah membasuh mukanya dengan air dingin dari kran, bercermin, lantas membuka pakaiannya satu persatu, menyisakan celana dalam dan behanya, di hadapan sang Mama.