SUNDAL

Utep Sutiana
Chapter #15

Sang Primadona Bertubuh Ranum

“Sarah. Sarah Angela,” terang Mama Dahlia suatu ketika. Ningsih yang masih asing dengan dirinya sendiri hanya menatap majikannya itu dengan segudang pertanyaan yang mengendap dalam bola matanya. Suatu saat ia mencoba mengulangi nama itu dalam pikirannya. Ningsih hanya mampu menggeleng. Nama itu terlalu tidak biasa bagi seorang Ning. Pikirnya itu terlalu kebarat-baratan. Sementara nama itu terus mendengung dalam pikirannya, Ning mencoba meraba akan maksud penggantian namanya dari Ning menjadi Sarah. Ning ingin bertanya, tetapi terlambat. Mama Dahlia sudah menjelaskannya dengan tergesa.

“Untuk kecantikan wajah dan tubuhmu, nama Ning terlalu buruk,” tegas Mama Dahlia.

“Mak Jum akan terluka bila anaknya mengubah nama,” lirih Ningsih dengan perasaan takut kalau bantahannya membuat Mama Dahlia marah, seperti yang sudah-sudah.

“Sudahlah Sarah, Mak Jum berada di tempat yang jauh, ia tidak akan mengetahuinya. Jikapun ia sampai mengetahuinya, katakan padanya, Ningsih yang sekarang bukanlah Ning yang dulu. Ibu kota mengharuskannya demikian.”

Ingin rasanya Ning marah. Bertahun-tahun ia berjuang atas nama Ning, kini hanya gara-gara perempuan di hadapannya itu sudah berjasa kepada dirinya bukan berarti perempuan itu bisa dengan mudah menyetir hidupnya. Ning tak mau itu.

“Tapi… Mama, bagiku nama Ningsih terlalu berharga,” desak Ning.

“Sarah,” Mama Dahlia mencekal kedua bahu Ning dan mendaratkan tatapan kedua matanya ke mata Ning. Mama Dahlia sedang berusaha mengendalikan keadaan. Ia tersenyum, palsu, dan menikam penuh kesinisan. “Lihat wajahmu. Bercerminlah. Kau itu cantik, dan kau terlihat luar biasa, apakah pantas seorang Sarah bernama Ning? Sepertinya tidak Sarah.”

“Mama….”

“Mama tidak ingin kau mendebatku lagi,” ujar Mama Dahlia mulai kesal, “ikuti apa yang Mama katakan, atau keluar dari tempat ini!” Harusnya Ningsih memilih keluar dari tempat itu saat itu juga, tetapi Ning tak melakukannya. Itu kebodohan yang kemudian Nning sesali.

Di satu sisi, Ning tidak ingin apa pun—perihal diri dan latar belakang, termasuk namanya diubah—di sisi lain ia menginginkan hidupnya jauh berubah dari sebelum-sebelumnya. Ningsih kala itu tidak pernah tahu bahwa dengan namanya berubah, kehidupannya pun akan berubah semenjak menit itu. Ningsih, pada akhirnya mengangguk setuju.

“Iya, Ma. Namaku Sarah. Sarah Angela,” ulang Ningsih.

Sekali waktu Ning pernah merasa menyesal atas semuanya. Setelah nama dirinya berubah, hari-harinya pun berubah. Mama Dahlia yang dulu Ning anggap seorang pahlawan, lambat laun mulai memperlihatkan topeng aslinya. Ning tersentak. Namun, semua sudah terlambat setelah malam itu. Malam di mana ucapan maknya perihal pernikahan terngiang.

 

Sarah memandangi tubuhnya. Ia memandangi dirinya sendiri dengan perasaan jijik. Betapa tidak, di tubuh itu aroma tubuh banyak lelaki mengendap. Di tubuh itu malam-malam penuh berahi hewani bersarang. Dan Sarah dalam segala apa pun merasa bahwa dirinya sangat kotor, menjijikkkan, dan tak bernilai.

“Pelacur,” desah Sarah dengan suara yang bergetar.

Pintu diketuk. Sarah tahu waktu untuk dirinya malam ini sudah selesai. Waktu berikutnya ia serahkan kepada lelaki-lelaki itu. Mama Dahlia mengatakan bahwa lelaki-lelaki itu adalah tamu. Tamu wajib dilayani dengan sepenuh hati. Sarah paham, tetapi tidak juga mencoba terus memahami.

“Apa kau di dalam masih sibuk bersolek?” suara itu merambat masuk. Suara yang sangat Sarah kenal. Suara yang sebenarnya sudah tidak ingin lagi ia dengar. Sarah geming dan tak berminat untuk menjawab suara itu.

“Sarah! Kau tuli, ya? Bergegas dan jangan bermalas-malasan seperti itu! Tamu-tamu tak suka kalau terlalu lama menunggu.” Suara itu menunggu. Ketukannya di daun pintu mengeras dan mendesak. “Sarah!”

Lihat selengkapnya