Pada usia sembilan tahun, Ningsih merasa yakin bahwa Mak Jum adalah ibu kandungnya. Menilik dari curahan kasih sayang dan cinta kepada dirinya, Seperti yang Ning perhatikan dari apa yang dilakukan orang-orang—keluarga yang tidak tinggal di kampung sampah tempat tinggalnya, sekali-kali Ning pergi berkeliling mencari botol plastik ke perumahan-perumahan, di sanalah Ning kecil memerhatikan keluarga-keluarga itu berbagi kasih sayang: ibu kepada anaknya, bapak kepada anaknya, istri kepada suaminya—bahwa Mak Jum adalah ibunya. Ning bisa begitu yakin. Ia kerap bertanya banyak hal kepada Mak Jum yang dijawab perempuan itu dengan suara lembut tanpa amarah dan senyum rekah.
“Kenapa aku harus memanggilmu dengan Mak, bukan mama seperti orang-orang?” tanya Ning suatu saat. Mak Jum hanya terbahak sementara Ning menatapnya dengan perasaan heran karena dirinya bukan sedang melucu.
“Apa salahnya? Toh, ibumu ini sudah nyaman dengan sebutan itu. Lagi pula, orang setua aku itu tidak cocok disebut Mama. Dan makmu bukan orang kaya.”
“Itu bukan jawaban yang sempurna, Mak. Pasti ada alasan lain,” desak Ning.
“Orang-orang di sini menyebutnya demikian. Jadi tidak ada yang salah.”
“Harusnya aku menyebutmu Mama semenjak dulu bukan Mak.”
“Mak sudah nyaman dengan sebutan itu, Anakku. Jangan diubah.”
“Tapi aku ingin menyebutmu Mama, seperti orang-orang.”
“Katakan saja bila itu maumu, Nak. Mak Jum tidak akan keberatan.”
Semenjak itu Mak Jum dipanggil oleh Ning dengan sebutan Mama. Ning ingin merasakan bahwa kata Mama dalam dirinya akan menjadi sebuah rasa nyaman dan tenang, nyatanya itu tidak terjadi. Kata Mama yang kerap ia sebutkan terasa janggal di pendengarannya. Ia merasa ada sesuatu yang hilang dalam kehidupannya belakangan ini. Apa ada hubungannya dengan kata mama yang disematkan kepada Mak Jum? Pikir Ning. Ningsih terus memikirkannya dan pada akhirnya mendapat jawaban yang pasti: panggilan mama untuk Mak Jum sangat tidak cocok. Itu terlalu asing.
Ningsih kembali memanggil Mak Jum dengan sebutann Mak Jum. Dan Mak Jum terrkekeh, tetapi sesudahnya ia termenung. Ningsih merasa bahwa Mak Jum ingin mengatakan sesuatu kepadanya, tetapi Mak Jum terlalu berat untuk melakukannya. Mak Jum mendesah, bibirnya bergetar tanpa suara.
“Kau sudah mulai besar, Nak…,” ucap Mak Jum. Ningsih mengerutkan dahi. Ning menebak bahwa kalimat Mak Jum ada kelanjutaannya. Ning menunggu dengan cemas.
Mak Jum mengembuskan napas berat, ia berkata kemudian, “Sudah saatnya kau tahu.”
“Tahu apa? Perihal apa?”
“Jika aku mengatakannya, apakah Ning akan membenciku?”
“Membenci? Tentu saja tidak.”
“Apa pun, Ning?”
Ningsih kembali mengerutkan dahi. “Ya. Apa pun.”
“Kau berjanji, Ning?”
“Ya… aku berjanji.”
“Jika kau bukan anak Mak Jum, apakah kau akan pergi meninggalkanku, Ning?”
Tidak ada jawaban. Petir itu merupa hantaman keras di dada Ningsih. Ia baru paham kenapa Mak Jum tidak pernah mau disebut Mama. Ia baru paham kenapa orang-orang kerap mengatakan bahwa ia bukan anaknya—dulu Ning tidak pernah mau ambil pusing dan menganggap semua kata-kata itu adalah bohong. Ning kini paham semuanya. Ia tidak ingin menangis karena tak tahu apa yang harus ia tangisi. Bukankah itu fakta yang sesungguhnya? Bukankah Mak Jum sudah begitu baik kepadanya seperti layaknya seorang ibu? Jika ia tiba-tiba berontak atas kebohongan dan memutuskan untuk pergi gegas setelah Mak Jum menguak semuanya? Bagaimanapun Mak Jum tetap ibu yang telah merawatnya menjadi seperti yang sekarang. Ning tidak ingin pergi atau berusaha mencari siapa ibunya sebenarnya. Ia tidak ingin melakukannya.
Ningsih bersimpuh di hadapan Mak Jum. Ia merasa takut bahwa perempuan di hadapannyalah yang suatu saat akan meninggalkannya pergi karena ia bukan ibunya.