Sarah telah terbiasa dengan berbagai kekecewaan dalam hidup. Ia pernah kecewa ketika menyadari bahwa hidupnya, di masa kecil, bukan dilahirkan dari keluarga berada, yang berkucupan, yang tidak harus capek berpeluh-peluh hanya untuk mendapatkan uang sebesar dua puluh ribu rupiah, meski pada satu saat setelahnya Sarah merasa bangga bahwa ia telah berhasil mengatasi kesukaran hidup tanpa harus mengeluh dan meminta bantuan dari tangan orang lain.
Sarah pernah begitu kecewa ketika keinginannya untuk bersekolah gagal. Semua, tentu saja hanya karena masalah biaya. Mak Jum selalu bersikeras agar Sarah masuk sekolah. Ia akan mempertaruhkan hidupnya untuk menjaga asa anaknya bisa teraih. Sarah yang tidak mau membebani siapa pun, lebih memilih belajar dengan caranya sendiri; sekolah yang Sarah idam-idamkan hanya berupa tumpukan-tumpukan koran bekas atau buku-buku pelajaran yang dibuang oleh pemiliknya, dari situlah Sarah banyak belajar. Sarah bisa membaca dan menulis hanya karena seorang teman yang mengajarkannya dengan sembunyi-sembunyi. Arsyad namanya, yang pada kesempatan berikutnya ia tidak pernah muncul di perkampungan sampah setelah kedua orangtuanya resmi pindah rumah ke tempat yang jauh. Yang Sarah ingat dari kata-kata Arsyad sebelum sahabatnya itu pergi adalah, “Jangan pernah berhenti untuk belajar. Sekolah bukan satu-satunya tempat untuk mencari ilmu.”
Seharian penuh Sarah mengalami perasaan kehilangan sehubungan kepergian Arsyad. Itu kala usia Sarah masih sepuluh tahun. Sarah tahu rumah Arsyad, rumah yang berbeda jauh dengan gubuk yang didiaminya. Rumah Arsyad terletak beberapa kilometer dari perkampungan sampah. Perumahan elit serupa paradoks di antara gubuk-gubuk reot di sekitar keberadaannya. Arsyad, terbiasa mendatangi Sarah dengan sepeda yang kerap dikayuhnya.
Kekecewaan berikutnya, yang paling Sarah sesalkan. Bahwa Mak Jum yang ia kira adalah ibunya ternyata bukan sama sekali. Mak Jum hanya seorang yang telah berbaik hati merawatnya dengan penuh kasih sayang. Kekecewaannya justru karena ibu kandung sebenarnya hanyalah seorang perempuan penghibur yang hampir membunuhnya, yang orang sebut sebagai pelacur. Sarah kecewa bahwa ibunya bukan seorang ibu yang ia harapkan—seperti Mak Jum.
Sarah kecewa atas semuanya. Namun, yang paling membuat dirinya terlalu larut dalam rasa kecewa yang mendalam adalah menyadari fakta bahwa dirinya pun menjadi seorang wanita penghibur, meski semuanya berawal dari ketidaktahuannya.
“Aku seorang wanita penghibur. Apakah aku masih pantas dihargai oleh orang lain?”
Sarah terbangun dengan rasa perih yang menjalari selangkangannya. Sakitnya seperti beribu ular yang mematuki daging kelaminnya terus-menerus. Sarah merasakan serangan itu hampir dalam seminggu terakhir. Ia sebenarnya, untuk sementara waktu, tidak ingin menjamu tamu-tamunya. Sayangnya ketika ia mengatakannya kepada Mama Dahlia, perempuan itu terlihat marah besar seolah bila Sarah tak mau melakukannya rumah hiburan malamnya akan bangkrut malam itu juga. Sarah tidak menyebutkan alasannya kenapa, kecuali ia mengatakannya bahwa dirinya sedang kurang bergairah. Mama Dahlia tidak ingin mendengar alasan apa pun kecuali Sarah harus terus bekerja seperti biasanya.
“Hanya mengangkang saja, apa susahnya?” Mama Dahlia mengatakannya dengan bibir atasnya terangkat sedikit. Ia sedang memakan sekerat buah naga hingga bibirnya yang sudah merah karena lipstick-nya, semakin tambah merah.
Ini bukan sekadar mengangkang, bisik Sarah di dalam hati. Ini perihal rasa bosan dan rasa berdosa yang kerap mendera Sarah belakangan ini. Sarah sudah merasa bahwa ia telah menumpuk dosanya dengan begitu banyak. Kalau ia tidak segera menyudahinya, bagaimana ia tiba-tiba mati dan dosanya belum terampuni? Bukan hanya itu saja, rasa perih di selangkangan itu terus mendera setelah pergumulan demi pergumulan dengan banyak lelaki.
Sarah terus memberikan alasan perihal rasa lelahnya. Mama Dahlia hanya menggeleng, tidak menginginkan Sarah berhenti.
“Jika yang kau inginkan adalah cuti untuk sementara waktu, itu bisa dilakukan. Tetapi tidak untuk minggu-minggu ini. Peminatmu dari hari ke hari kian bertambah. Sangat disayangkan bila kau memilih untuk berhenti. Sinona saja merayu-rayuku untuk memberikan tamumu kepadanya. Apa itu yang kau inginkan?”
Sejujurnya Sarah lebih memilih—jika bisa—tamu-tamunya dilempar ke Sinona, teman sekaligus saingannya itu, akan tetapi ia tidak ingin mengatakannya ketika kekesalan Mama Dahlia sedang berada di puncaknya. Sarah hanya menggeleng untuk lantas memilih undur diri dari hadapan Mama Dahlia.
Sarah kembali dengan rasa sakitnya. Ia merasa bahwa kelaminnya sedang bermasalah. Ia menduga-duga bahwa kelaminnya itu sudah diserang beribu-ribu penyakit yang ditularkan entah oleh lelaki yang mana. Setahu dirinya, kebanyakan lelaki yang pernah menidurinya adalah lelaki yang pernah meniduri wanita penghibur lainnya di kesempatan yang berbeda. Mengingat itu Sarah bergidik ngeri. Bagaimanapun Sarah tidak menginginkan bahwa penyakit itu—mungkin saja Raja Singa—menyerang dirinya. Tidak untuk saat ini.
Sarah pernah menceritakan rasa sakitnya itu kepada Supri, perempuan berkulit gelap yang menjadi teman sekamarnya yang tidak pernah sekalipun menyesali dirinya menjadi wanita penghibur. Ia mengatakan, dengan setengah bercanda—mungkin juga tidak, bahwa apa yang ditakutkan oleh Sarah adalah benar. Sarah hanya menatap Supri dengan tangan terkepal.
“Bisa jadi iya,” tegas Supri. “Pergilah memeriksakan diri, sebelum semuanya begitu terlambat,” tambah supri.