Namanya bukan Sri, sebenarnya. Lebih tepatnya bukan nama itu yang biasa dipakainya. Namanya Sri Ningsih. Nama Sri tak pernah dipakainya di masa yang lalu. Namun orang-orang telanjur menyebut namanya demikian. Ketika kali pertama orang-orang memanggilnya Sri, bahkan ia tak melakukan sebuah penolakan kecuali menganggukan kepalanya. Sepertinya ia tidak terlalu mempersalahkan sebutan itu meski dirinya bukan perempuan bernama yang lebih senang dipanggil Ningsih, ketimbang dipanggil Sri. Perempuan itu hanyalah seorang pendatang di tempat itu. Tak tahu datangnya dari mana, tiba-tiba perempuan itu muncul seperti diterbangkan angin. Tak seorang pun mengenalnya, bahkan keberadaan tempat tinggalnya yang terpencil dari rumah orang-orang, hanya segelintir yang mengetahuinya, terutama para lelaki. Entahlah, lelaki selalu pandai mencium aroma perempuan cantik di mana pun ia bersembunyi.
Sri tak tahu tempat yang didatanginya memiliki nama. Setahu dia, ia datang ke tempat itu—lebih tepatnya tanah kosong di mana sebuah dangau hampir rubuh yang ditinggalkan pemiliknya, hanya kebetulan saja. Ia tidak berniat untuk tinggal di sana kalau saja sesuatu yang salah dengan tubuhnya, membuatnya tertahan berhari-hari berikutnya. Ia berniat membangun dangau itu setelahnya. Kepada siapa ia akan menyuruhnya, perempuan itu tak memikirkannya. Ia akan mampu melakukannya sendiri meski ia seorang perempuan, gumamnya dalam batin. Sri merupa seorang lelaki ketika dengan lihainya ia mulai membangun dangau itu, padahal ia tak pernah melakukan itu sebelumnya. Entahlah, keahlian itu seperti muncul tiba-tiba dalam dirinya.
Sri membangun dangau itu tidak terlalu lama. Hanya sehari. Ia hanya butuh menambal sulam dinding dangau itu, mencari bambu penyangga—dan baru mengetahui bahwa uang di tempat sepi itulah tidaklah ada gunanya—untuk tiang agar tidak rubuh, dan daun kelapa kering yang disusun untuk atap luarnya, agar bila hujan turun, bagian dalam rumah itu tidak basah.
Perempuan itu datang ke tempat itu seolah tersesat. Sebenarnya ia tidak datang sendirian, dalam perutnya, manusia lain bergerak-gerak seolah ikut menyemangati perempuan itu yang sedang bekerja. Perempuan itu seperti seorang perempuan putus asa yang menyandangkan hidupnya pada langkah kakinya sendiri. Tak peduli langkah kakinya itu akan membawanya ke mana. Perempuan itu sama sekali tidak punya titik tuju yang harus ia datangi.
Tak terasa perempuan itu tinggal di dangau itu sudah dalam hitungan bulan.
Sri—anggap saja namanya demikian, tengah menjerang ingatannya ketika raga dalam tubuhnya meronta. Ia tak tahu kenapa ini bisa terjadi, sementara ingatannya yang coba berhitung, raga itu tak mungkin memaksakan diri hendak keluar bila masanya belumlah tiba. Sri meringis, rasa itu merayap di pinggangnya hingga ulu hatinya. Apa yang hendak terjadi? Itu pertanyaan Sri yang terlintas. Apakah aku hendak melahirkan? Tanyanya lagi. Tapi mana mungkin, ini baru hitungan bulan keenam atau tujuh. Bahkan Sri lupa menghitungnya.
Sri tak pernah ingat kapan benih itu tumbuh dalam dirinya. Yang ia ingat, ketika ia melarikan diri dari suatu tempat, ia merasakan di dalam tubuhnya ada yang bergerak-gerak. Sri tidak menduga kalau benda yang bergerak itu adalah janin. Selama pelariannya berbulan-bulan hingga tiba di tempat ini, benda yang bergerak-gerak itu kian menunjukkan keberadaannya. Meski perut Sri tidak terlihat membukit, namun Sri tahu bahwa benda itu sedang tumbuh dan membesar.
Sri hampir menjerit sementara rasa sakitnya terus menjalar. Ia tidak mungkin meminta pertolongan kepada orang lain sementara ia tinggal saja terasing dari kelompok orang-orang. Sri berdiri rikuh, pingganya semakin mengencang seolah ditarik-tarik oleh tali dadung oleh orang-orang dari kedua belah arah.
Sri hampir jatuh ketika sebuah tangan merengkuh tubuhnya. Sri hampir berteriak karena mengira tangan itu adalah tangan setan.
“Tidak usah takut,” ucap seseorang yang ternyata sosok laki-laki dengan pakaian lusuh dan ikat kepala yang sama lusuhnya. Kemungkinan lelaki itu adalah penduduk kampung sekitar yang sedang mencari kayu bakar. Dari tampangnya lelaki itu tampak kelelahan: keringat muncul berupa butiran-butiran kacang di dahinya. Lelaki itu melanjutkan ucapannya, “kau tinggal di sini sejak kapan? Apa kau tinggal sendirian?”
Sri masih merintih kesakitan, tetapi ia memaksakan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. “Ya. Aku tinggal di sini. Dan aku sendirian, sebenarnya… tidak benar-benar sendirian.”
“Dengan suamimu?” kejar lelaki itu. Sri hanya menggeleng.
“Lantas?”
“Lantas apa?” Sri balik bertanya. “Kalau aku tinggal sendirian, apa itu salah?” Sri menatap lelaki itu, kali ini cukup kesal. Ia masih merasakan rasa sakit. Kalau lelaki itu mau menolongnya, kenapa harus banyak tanya dulu? Bukankah itu bisa dilakukannya nanti-nanti?
Lelaki itu menggeleng. Ia hampir ingin berkata lagi, tetapi ia seolah baru ingat bahwa perempuan di hadapannya sedang kesakitan, jadi ia harus menolongnya dengan segera.
“Kau hendak melahirkan,” ujar lelaki itu. “Masuklah ke bilikmu, aku akan mencari Dukun Beranak yang tinggal di kampung sebelah, cukup jauh dari tempat ini, tetapi tak ada pilihan lain. Kau harus kuat menunggu, membawamu dalam kondisi seperti ini, tidaklah mungkin.”
“Tapi ini belum saatnya,” sanggah Sri.
“Kalau bukan melahirkan, lantas apa?” Lelaki itu mulai kesal. “Mau melahirkan atau bukan itu tidak masalah, yang penting Dukun Beranak itu harus segera aku bawa. Maka, berbaringlah dalam bilikmu. Aku akan sesegera mungkin kembali.”
Lelaki itu berlari seperti kesetanan. Sri tak tahu siapa lelaki itu kecuali berterima kasih atas pertolongan yang baru ia lakukan. Sri berbaring di atas tempat tidur lepeknya sementara rasa sakit—sekali ini menjalar di sekitar kemaluannya—semakin menjadi.
*****