Mahoni baru saja kembali dari ladang tepat ketika matahari tenggelam di kerimbunan pohon cemara. Sri yang sedari tadi dibekap rasa cemas pada akhirnya tersenyum kembali. Memiliki Mahoni adalah sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Sri. Ia tidak bisa membayangkan kesepian seperti apa yang akan menjeratnya bertahun-tahun tanpa kehadirannya. Ya. Sri tahu, pada kesempatan yang lalu mungkin kehadiran Mahoni tidak ia sadari. Pernah ia—ketika masih di tempat itu—berusaha dengan segala cara untuk tidak membiarkan benih-benih para lelaki tumbuh di rahimnya. Meski ia kerap berpikir bahwa suatu saat salah satu benih akan tumbuh juga, tekanan demi tekanan yang dilancarkan majikan tempat ia bernaung membuat Sri harus rajin minum jamu anti kehamilan. Sri mengiyakan dengan setengah hati; Sri tahu bahwa janin dalam dirinya keberadaannya sungguh tidak ia kira.
“Apa gunanya hamil. Toh, itu akan membuat kau kesusahan,” ucap majikannya.
“Jika aku hamil, Mama akan membuangku. Iya, kan,” bantah Sri kala itu.
“Tutup mulutmu! Aku tak ingin siapa pun membantah perintahku!” kalau sudah seperti itu, Sri tak bisa membantah.
Sri melakukannya. Bahkan berulang-ulang. Ia minum jamu peluruh, minum jamu anti kehamilan, meminum obat-obatan Cina yang khasiatnya katanya bisa mengeringkan kandungan tanpa disertai rasa sakit. Semua Sri lakukan.
Ketika Sri memutuskan untuk melarikan diri, Sri tidak menyadari ada janin dalam tubuhnya. Ia bergerak-gerak kegirangan, tanpa Sri ketahui. Sepanjang pelariaannya, janin itu tidak pernah berontak. Tidak ada rasa sakit, mungkin juga kejang, atau mual, atau muntah-muntah pada diri Sri, seperti pada kebanyakan perempuan yang tengah hamil muda. Itu tidak terjadi. Janin itu tidak menunjukkan gejala-gejala penentangan.
Rasa sakit itu timbul untuk kali pertama baru ketika Sri sedang benar-benar mau melahirkan. Pada waktu Sobari muncul itulah kali pertama Sri merasakan rasa sakit di perutnya.