Kerap Mahoni menanyakan soal keberadaan bapaknya, padahal kerap pula Sri mengatakan bahwa bapaknya sedang pergi jauh dan mungkin juga sudah meninggal. Sepertinya Mahoni tahu bahwa ibunya sedang membohongi dirinya. Sri yang merasa bahwa saatnya belum tiba untuk anaknya ketahui hanya tersenyum. Tidak ada jawaban pasti untuk pertanyaan itu. Sri hanya tersenyum dan mengelus pucuk kepala Mahoni sekadar menenangkan.
“Kenapa harus menanyakan keberadaan bapak?” tanya Sri. Mahoni mendongak. Saat itu Sri sedang mencari kutu di kepala Mahoni. Entah kutu itu berasal dari mana. Setahu Sri kutu itu datang begitu saja ke kepala anaknya, sementara dirinya merasa bahwa rambutnya tak berkutu. Mana mungkin kutu itu berasal dari rambut di kepala Sri.
“Soalnya, teman main Honi, di sana,” ucap Mahoni seraya menunjuk tempat di balik bukit sana, di mana perkampungan terdekat, tempat Mahoni kadang bermain sepanjang hari bersama teman-teman sebayanya, ada di sana. “Punya ibu, juga bapak.”
Sri melenguh. Dalam hatinya teriris rasa pedih. Bagaimanapun Mahoni berhak tahu silsilah dirinya yang sebenarnya. Masalahnya Sri belum mau mengatakannya karena kejelasan siapa lelaki yang berhasil menghamilinya pun Sri masih ragu. Ada banyak lelaki yang bisa jadi adalah bapak biologis Mahoni. Sayangnya, Sri tak mungkin mengatakannya.
“Bapakmu Kimpul, tidak… tidak, Rudia, tapi tak yakin, Lindu atau Barkawi?” Mana mungkin Sri mengatakan semuanya seperti itu. Sri masih bungkam. Ia belum berani menjelaskan semuanya hari ini. Mungkin suatu saat kelak, setelah Mahoni dewasa, ia, mau tidak mau harus mengatakannya juga.
“Nak, bapakmu sedang pergi. Jauh. Jauh sekali. Bahkan jika kau hendak menyusulnya, kau tidak akan bisa, saking jauhnya,” terang Sri, berbohong. Sebenarnya Sri tak tega mengatakannya. Bisa saja Sri mengatakan bahwa bapaknya itu sudah meninggal—seperti yang kerap dikatakannya, tetapi Mahoni tetap tak memercayainya.
Namun, ia tak tahu hidupnya ke depan seperti apa. Bisa saja tiba-tiba ia datang ke salah satu lelaki—yang entah di mana keberadaannya—lantas mengatakan bahwa ia punya seorang anak dan dengan senang hati mau mengakuinya.
“Kenapa kita tidak ikut?” pertanyaan Mahoni berikutnya membuat Sri tertohok. Iya, kenapa ia tidak ikut?
“Bapakmu tidak mau kita celaka. Bagaimanapun perjalan bapakmu itu terlalu berbahaya. Banyak jurang yang harus dilalui, banyak hutan yang harus dimasuki, juga binatang buas yang harus dihindari. Mahoni tahu, hutan itu banyak macannya? Kalau ibumu ikut, bapakmu takut kalau ibumu ini dimakan macan.”
“Benarkah demikian, Bu?” tanya Mahoni penasaran.
“Tentu saja, Nak.”
“Apa Bapak suatu saat akan pulang?” tanya Mahoni, sekali ini dengan getar pengharapan.
“Iya,” jawab Sri tidak yakin. Sri kira saat itu tidak akan pernah terjadi. Ia tidak ingin mengecewakan harapan anaknya. “Suatu saat nanti,” lanjutnya. “Yang entah,” dalam hati, Sri melanjutkan kalimat tersebut.
‘Kalau pulang, Bapak akan membawa oleh-oleh yang banyak, kan, Bu?”
“Tentu saja, Nak. Tentu saja.”
Ada dedak nyeri yang mengambang di sanubari Sri. Pengharapan anaknya sebenarnya hanya sebuah kesia-siaan. Bagaimanapun lelaki itu tidak akan pernah datang, malahan lelaki itupun tak tahu kalau benihnya telah tumbuh menjadi pohon dewasa. Lelaki itu, sekalipun tahu, belum tentu juga mau mengakuinya. Sri mengembuskan napasnya berat. Apakah ia akan siap mengatakan yang sebenarnya, suatu saat nanti, bahwa bapak yang ditunggu kepulangannya oleh Mahoni sebenarnya tidak ada?
Sri mereka ulang kejadian di masa lalu. Ia masih membayangkan bagaimana setiap malam diisinya dengan erangan dan lenguhan. Lelaki datang dan pergi. Lelaki berbaring dan menindihnya dengan setelahnya akan menyebar benih sementara para lelaki itu tidak pernah berharap bahwa benih yang disebarnya akan tumbuh dan berkembang. Sri tergeragap, kenangan itu kini terlalu menakutkan untuk diingat.
“Bapakmu adalah ibu, Nak,” gumam Sri suatu saat.
Sri tidak pernah berpikir untuk memiliki seorang lelaki untuk mendampingi hidupnya. Bukan karena tak seorang lelaki pun mau meliriknya. Meski wajah Sri tidak secantik ketika ia baru tiba dari suatu tempat, gurat wajah dan lekuk tubuhnya masih sanggup membuat para lelaki dari kampung seberang datang mendekat. Tentu saja dengan niat yang jelas: ingin meminang Sri untuk dijadikannya istri.
Sri kerap menolak dan mengatakan bahwa dirinya sedang tidak berminat dengan lelaki di kehidupannya. Sri lebih berbahagia hidup bersama anaknya tanpa harus dicampuri oleh urusan-urusan mengurus suami.
Ada banyak lelaki yang pernah datang ke rumahnya. Ada yang datang dengan terang-terangan, ada pula yang datang dengan mengendap-endap—untuk yang satu ini kebanyakan lelaki beristri yang takut bahwa maksud dan tujuannya diketahui istrinya.
Mahoni merindukan sosok seorang bapak. Harusnya, bagi Sri kedatangan para lelaki itu bisa jadi, setidaknya bisa menjadi bapak bagi Mahoni, meski pastinya Mahoni akan bertanya: kenapa ibu tinggal bersama bapak yang bukan bapakku? Jika Sri mau menerima salah satunya.
Banyak lelaki yang kerap mencuri pandang ke arah Sri ketika Sri tengah bertandang ke perkampungan warga. Selain sebagai buruh tani, Sri terkadang menjual sayuran eceng, kangkung atau genjer yang ia ambil dari sawah lalu menjajakannya. Pada saat itulah kesempatan terbaik bagi para lelaki untuk mengagumi dirinya, meski banyak dari mereka yang sudah beristri. Sri bukan tak tahu akan hal ini, tetapi apa ia bisa dengan begitu saja melarang mereka untuk memperhatikannya? Tidak, ‘kan?
*****
Sri, perempuan berusia 35 tahun dengan kecantikan masih tersisa di wajahnya yang sebenarnya kini mulai tidak terurus dan menghitam; matahari kerap memapar wajahnya ketika ia bekerja di sawah sebagai buruh tandur.[1].Tubuhnya yang masih terlihat sintal membuat mata lelaki manapun terbelalak ketika menatapnya dan tidak berkedip dengan pandangan mesum. Sri tidak menyukai itu, tetapi hidup tidak memberinya banyak pilihan. Sri hanya bisa tersenyum padahal jauh di dalam hati kecilnya ia menjerit.