Lelaki itu bukan seekor buaya, bukan pula seekor harimau. Lelaki itu seekor kijang yang lincah, kijang yang kuat berlari ketika pemangsa hendak memangsanya. Lelaki itu bukan buaya, bukan pula seekor harimau. Lelaki itu, Kang Rido.
Kang Rido, seperti kebanyakan lelaki yang pernah datang berkunjung ke rumah Sri, selalu punya tujuan yang jelas. Tentu saja ia datang ke rumah Sri karena ketertarikannya kepada perempuan itu dan hendak memikatnya.
Kang Ridho, seorang lelaki bertubuh tinggi, berbadan tegap, berkulit putih, dengan kumis tipis dan mata seperti mata seekor elang. Mana ada perempuan yang tidak tertarik dengan ketampanannya itu, tetapi tidak bagi Sri. Sri terlalu teguh dengan pendiriannya. Ketika lelaki itu datang mengetuk pintu dan berdiri gagah di hadapan Sri, perempuan itu sama sekali tak merasakan getar yang bisa perempuan alami ketika berhadapan dengan lelaki yang memiliki kemolekan tubuh.
Sri hanya mengangguk dan mempersilakan lelaki itu duduk.
Sri sudah bisa menebak maksud kedatangan lelaki itu. Namun, Sri tak hendak mendahuluinya sebelum lelaki itu mengatakannya.
“Sri pasti tahu maksud kedatanganku bukan?”
Sri pura-pura menggeleng. Kang Rido menangkap kegelisahan di mata Sri.
“Seperti yang sudah-sudah…,” Kang Ridho menghentikan kalimatnya. “Seperti yang laki-laki lain katakan,” sekali ini tiba-tiba Kang Rido seolah dibekap kegugupan. “Aku… hendak melamarmu, Sri.”
Sri tidak terkejut. Ia sudah menduganya. Setelah beberapa lama hening, Sri mendongak dan tersenyum. Ia ingin mengatakan bahwa ia menolak tawaran itu, tetapi dengan kalimat seperti apa agar lelaki di hadapannyu itu tidak tersinggung.
Sri sudah tahu siapa Kang Rido. Seorang turunan ningrat yang punya sopan santun tinggi yang ditinggal mati istrinya sementara ia sangat mencintainya. Sri tahu bagaimana para perempuan di kampung berlomba-lomba untuk menarik perhatian duda kaya itu sekadar menginginkan agar mereka diperistri olehnya. Seharusnya Sri gembira, bahkan ia tidak perlu repot-repot menarik perhatian lelaki itu sementara dengan begitu mudahnya lelaki itu datang menemuinya. Jika Sri jadi salah satu dari perempuan itu, mungkin dengan mudahnya akan menerima pinangan lelaki itu dengan penuh sukacita.
Sri tak mau melakukannya. Kang Rido tampan, gagah, berwibawa, dan tampak sebagai seorang lelaki berperangai lembut. Namun, Sri sama sekali tidak tertarik.
Sri menarik napasnya sekadar untuk membebaskan paru-parunya dari rasa gugup. Ia membuang napasnya kemudian setengah tersengal.
“Aku menghormati maksud keinginan Akang,” Sri mengatakannya dengan hati-hati, ia takut salah bicara. “Namun, lagi-lagi aku harus menegaskan. Untuk saat ini aku masih ingin hidup sendiri. Jadi … maafkan, bukannya hendak menolak. Untuk saat ini aku belum mau menerima, Akang.” Sri mengakhiri kalimatnya dengan sebuah kecemasan. Rasa kuatir tiba-tiba meledak di dada Sri. Apa Kang Rido akan marah?
Tidak. Ternyata Kang Rido tidak marah. Ia hanya tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. “Baiklah kalau begitu, Sri. Maaf atas segala kelancangan ucapanku,” ujar Kang Rido, setelahnya lelaki itu pulang dalam langkah yang gontai.
“Maafkan aku, Kang. Bukan hendak membuatmu sakit hati. Seandainya Kang Rido adalah Kang Badra, maka dengan senang hati, aku akan menerimamu, Kang,” bisik Sri ketika punggung lelaki itu lenyap dimakam kelebatan semak-semak.