Sri dan Patra Berjanji Bertemu

Yudhi Herwibowo
Chapter #2

#1 Awan-awan Kelabu

“Ayo! Cepat, Mas!”

“Jangan terlalu cepat!”

Sri seperti tak peduli. Ia terus berlari ke depan, meninggalkan Patra yang terus berusaha berlari mengikutinya.

Langit yang dipenuhi awan bergulung berwarna gelap, selalu nampak di tahun itu. Kadang gumpalannya yang berarak menjadi rinai dan hujan, namun terkadang gumpalan itu hanya menggantung saja di langit, seakan lupa akan menjadi apa.

Sri yang waktu itu baru saja melewati usia 14 tahun, selalu memperhatikan gumpalan-gumpalan awan hitam itu di atas kepalanya. Kadang ia hanya perlu menatapnya dari jendela kamar. Namun lebih kerap ia melihatnya langsung dari pematang sawah bersama Patra. Biasanya Sri akan berlari-lari kecil di sepanjang pematang, memaksa Patra mengikutinya dari belakang. Dari situ semuanya nampak begitu jelas, tanpa terhalang apa pun. Ditambah aroma padi dan desir lembut angin dapat membuat suasana makin menyenangkan.

Patra memang akan selalu mengikuti ke mana pun Sri pergi. Ia sudah seperti saudara kandung Sri sendiri. Sejak dulu mereka memang tumbuh bersama, karena kebetulan rumah mereka bersebelahan, ayah dan ibu Sri selalu menitipkan Sri pada Patra. Maka itulah, walau Patra berumur sekitar 3 tahun di atas Sri, sejak dulu Sri sudah terbiasa bersamanya. Ke mana-mana selalu bersama. Dulu, Sri bahkan yang selalu mengikuti ke mana pun Patra bermain dengan teman-teman lelakinya, walau itu jauh dari rumah.

Sejak dulu Sri memang sudah menganggap Patra sebagai masnya sendiri. Sebagai bontot tanpa saudara laki-laki, tentu saja kehadiran Patra sangat istimewa buat Sri. Apalagi Patra selalu memposisikan Sri bagai satu-satunya adik baginya, karena ia sendiri  terlahir sebagai anak tunggal.

Namun dari semuanya, yang membuat Sri semakin menempel dengan Patra adalah karena sifat Patra yang memang mudah sekali menolong. Tak hanya pada Sri, tapi juga pada semua orang di desa ini. Itu yang kemudian membuat Sri selalu berpikir, semua permasalahannya seperti akan selesai bila Patra ada.

Dulu, saat pertama kali Sri mengajak melihat awan kelabu, Patra hanya diam sambil ikut mengamati. Dulu Patra akan bertanya, “Apa sih yang kamu suka dari awan gelap seperti itu?” Tapi Sri hanya mengangkat bahu, “Aku hanya suka bentuknya saja, sepertinya empuk sekali,” ujarnya.

Sri tahu Patra selalu kuatir bila hujan deras datang saat mereka di tengah sawah. Cerita tentang petir yang menyambar orang yang tengah berada di hamparan tanah lapang seperti persawahan ini, sudah beberapa kali mereka dengar. Tapi tetap saja, Patra selalu tak kuasa menolak menemani Sri. Sri hanya perlu menarik tangannya keluar pekarangan, lalu setelah itu, Sri cukup berlari kecil di depannya. Patra pasti akan mengikutinya dari belakang, walau kadang gumpalan awan itu sudang cukup gelap.

Namun hari ini agak berbeda dari hari biasanya. Sri mengajak Patra bukan ke pematang sawah, namun ke kota. Sejak pagi, Sri memang sudah mewanti-wanti Patra untuk mengantarnya ke kota. Zus Mintje -yang kerap menawarinya pekerjaan menyanyi di restoran-restoran selama ini- akan menawarinya sebuah pekerjaan besar. Katanya kali ini, “Jauh lebih besar dari yang sudah-sudah.”

Maka itulah dengan perasaan yang terus bertanya-tanya, Sri datang ke rumah Zus Mintje bersama Patra. Zus Mintje langsung menyambutnya dengan gembira. Ia bahkan disediakannya secangkir the manis dan beberapa biskuit yang baru pertama kali Sri makan. Satu hal yang jarang dilakukannya selama ini.

Awalnya, hampir satu jam lebih Zus Mintje bicara tentang keadaan-keadaan di sini, mulai dari hawanya yang panas, dan orang-orangnya yang udik. Sri terus mendengarkan, sampai akhirnya ia mulai bercerita tentang kenalan-kenalannya yang sukses sebagai penyanyi sandiwara. Mulai di sini, jantung Sri terasa berdetak lebih cepat.

“Apa engkau pun ingin menjadi penyanyi sandiwara?” tanya Zus Mintje tiba-tiba, tanpa henti mengipasi dirinya dengan kipas cendananya yang beraroma wangi.

Sri mengangguk cepat-cepat. Tentu saja Sri ingin. Siapa yang tak ingin? Itu adalah impiannya sejak kanak-kanak ketika pertama kali melihat pertunjukan sandiwara di balai desa.

“Kalau engkau tertarik, aku ingin menawarkanmu pekerjaan itu padamu,” ujar Zus Mintje kemudian. “Tentu saja, engkau tak perlu lagi kerja di sawah. Sudah capai, kau tak akan bisa kaya. Tetapi sebagai penyanyi sandiwara, kau akan terkenal, dan tentu juga akan cepat kaya. Wong selama ini baru menjadi penyanyi di restoran saja, kau sudah mendapat cukup lumayan kan? Apalagi nanti, bila kelompok sandiwara itu benar-benar menawarimu? Asal kau tahu, pekerjaan mereka itu tak pernah berhenti. Terus ada dari kota yang satu ke kota yang lain...”

Sri hanya bisa terdiam mendengarkannya. Tapi tak bisa dipungkiri, bila ia tentu tergoda. Selama ini ia memang bekerja di sawah membantu ayahnya. Pekerjaan yang melelahkan dan sangat menyita waktu.

Untunglah beberapa bulan yang lalu, tanpa sengaja Zus Mintje melihatnya bernyanyi di sebuah hajatan seorang kenalan. Saat itu juga, ia langsung menawari Sri menyanyi di sebuah restoran kecil yang ada di tengah kota yang biasa didatangi orang-orang kaya, dengan bayaran yang cukup lumayan. Sejak itulah, setiap seminggu sekali di akhir pekan, Sri selalu menyanyi di restoran itu.

Kini, setelah beberapa bulan lewat, Zus Mintje kembali lagi menawari Sri sebuah pekerjaan yang sudah diidam-idamkan Sri selama ini: menjadi penyanyi sandiwara.

Dari situ, Sri tahu, kalau lagu-lagu yang dinyanyikan para penyanyi sandiwara diputar di radio-radio dan berkumandang di setiap pelosok.

Sungguh, ini membuat Sri semakin bersemangat.

 

***

 

Waktu akhirnya Sri keluar dari rumah Zus Mintje, Patra bertanya dengan tatapan ingin tahu. Tapi Sri tak langsung mengucapkan apa-apa. Tawaran Zus Mintje memang sangat menarik, tapi ada satu hal yang membuat kegembiraannya masih tertahan.

Di atas sepeda ontel Patra, sambil memperhatikan punggung Patra dari sadel belakangnya, Sri akhirnya berujar, “Aku ditawari pekerjaan sebagai penyanyi sandiwara, Mas.”

Patra menengok ke belakang sekilas. “Wah itu kabar yang pasti menggembirakanmu,” ujarnya.

Lihat selengkapnya