Patra masih mengingat sekali wajah Sri.
Setelah mendapatkan berita gembira itu, harusnya wajahnya sumringah sepanjang perjalanan. Tapi nyatanya ini tidak. Patra menduga-duga, pastilah ada sesuatu di tawaran itu. Satu hal yang bisa ditebaknya adalah tawaran itu ada di tempat yang sangat jauh, yang tidak memungkinkan dirinya mengantar lagi. Ya, ia yakin begitu, Sepanjang perjalanan, Sri memegang pingganya dengan erat, nyaris memeluknya. Ia pikir itu tanda kalau mereka akan berpisah jauh.
Patra menghela napas panjang. Entah mengapa hatinya merasa tak enak. Patra tahu, bila sekarang ini keadaan tidak sednag baik-baik saja. Ia merasakan suasana lebih kacau dari biasanya. Dari berita-berita di radio warung Mas No yang selalu disetel keras-keras, juga dari pengeras suara di sudut-sudut desa, ia dan semua penduduk tahu bila sejak pasukan sekutu menyerah pada Jepang, gelombang pasukan Jepang seperti tanpa henti terus berdatangan di semua penjuru negeri. Awalnya tentu semua orang menyambut saudara tua mereka itu dengan gembira, menganggap mereka bagai pahlawan.
Tapi Patra tahu sejak itu semua mulai berubah pelan-pelan.
Sejak itu semua yang ada tiba-tiba digantikan dengan Jepang. Kantor-kantor Belanda dulu, perusahaan-perusahaan, juga organisasi-organisasi.
Patra tahu dari kebiasaannya membantu Mas No berdagang di warungnya, ia sering mendengar perbincangan orang-orang dewasa. Ia sudah tahu kalau kedatangan Jepang sebenarnya telah berlangsung lebih lama dari yang semua orang tahu. Sejak melakukan serangan udara pertama kali di atas Ambon pada 6 Januari 1942, Jepang mulai datang ke Tarakan di Borneo, juga di Manado di Sulawesi. Beberapa ornag bahkan mendengar kalua Jepang merebut Balikpapan dan Kendari. Waktu itu serdadu Belanda yang dibantu Amerika Serikat, masih bisa memberi perlawanan pada pasukan Jepang.
Tapi selepas itu, Patra tak terlalu tahu lagi apa yang kemudian terjadi. Desanya terlalu jauh dari pusat informasi. Apalagi radio Mas No kerap rusak karena baterainya habis, dan ia belum punya cukup uang untuk membelinya kembali.
Yang pasti di rumah kecil ayah, suasana masih terasa biasa dan sangat damai. Tak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Patra yakin semua ornag pun merasa begitu di rumah masing-masing. Sehingga tak akan berpikir hal buruk akan terjadi. Namun sebenarnya, sedikit keluar saja menuju kota, akan terlihat suasana yang berbeda. Tahun-tahun ini, mudah ditemukan bekas-bekas bangunan yang terbakar, bahkan beberapanya masih menyisakan asap. Coretan-coretan bernapas kemerdekaan juga begitu mudah terbaca di tembok-tembok yang kosong. Tak jarang juga, Patra juga melihat langsung beberapa pemuda dengan ikat kepala berwarna merah dan putih berteriak-teriak di sepanjang jalan, meneriakkan yel-yel kutukan terhadap Belanda.
Tapi Patra tahu -seperti yang didengarnya juga di warung Mas No- di tahun-tahun ini, Angkatan Darat ke-16 Jepang sebenarnya sudah mulai ada di banyak kota di pulau Jawa, Angkatan Darat ke-25 yang ada di Sumatra dengan markas besar di Bukittinggi, dan Angkatan Laut Jepang juga berada di Indonesia Timur dengan markas besar di Makassar. Sejak itulah sebenarnya Jepang mulai melarang semua kegiatan politik dan semua organisasi yang ada. Volksraad yang dulu dibentuk oleh Belanda dihapus. Bendera merah-putih-biru dan bendera lainnya pun dilarang. Yang kemudian diketahui masyarakat -termasuk Patra hanyalah kampanye-kampanyenya yang membuat masyarakat bersemangat. Bagaimana pun lepas dari cengkraman penjajah Belanda, adalah harapan sejak lama.
Patra kemudian mulai mendengar kisah-kisah yang terjadi pada pasukan Belanda dan Sekutu yang masih saja membantunya. Seperti kisah ditangkapnya sekitar 200 serdadu Sekutu yang melarikan diri ke bukit-bukit di Jawa Timur. Mereka dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam kandang-kandang ternak dari bambu, dibawa dengan kereta-kereta api terbuka ke Surabaya, lalu dibawa ke laut dan dilemparkan ke ikan-ikan hiu. Itu hanya satu kisah yang membuat Patra bergidik.
Tapi gara-gara itulah Patra merasa keadaan jadi tak menentu. Jalanan-jalanan di kota jadi sedikit menakutkan. Padahal sebelumnya ia kerap pergi ke kota sendiri dengan meminjam sepeda ontel ayahnya, semua Nampak baik-baik saja. Namun kini, Patra menjadi lebih was-was.
Tapi ia tak pernah mengungkapkan kewas-wasannya pada Sri, karena tak mau merusak kegembiraan Sri. Ia merasa bisa jadi hanya ia saja yang merasa was-was. Namun berita tentang tawaran Sri menjadi penyanyi sandiwara itu di luar pulau, membuatnya benar-benar tak tenang. Bila di sini saja seperti ini, bagaimana di luar sana?