Dua hari kemudian Sri dan rombongan tiba di Borneo. Setelah, beberapa hari tinggal di sebuah penginapan, mereka akhirnya berangkat ke Telawang.
Tanah Telawang adalah tanah subur yang bersebelahan dengan Sungai Martapura, dan diapit oleh Banjarmasin, Telaga Biru dan Basirih. Sebagian besar masih dipenuhi oleh hutan lebat. Itulah kenapa udaranya terasa lebih segar. Walau jalanan nampak kering dan berdebu, dan sinar matahari seperti lebih menyengat, namun melihat keadaan sekeliling yang rindang membuat suasana gerah jadi tak terasa.
Bocah-bocah bertelanjang dada terlihat mengejar-ngejar mobil kami, bukan karena ingin meminta-minta, namun sekedar ingin menyapa kedatangan kami, orang asing. Mereka nampak begitu riang, membuat Sri dan rombongannya yang lelah merasa nyaman berada di sini.
Sepanjang perjalanan Sri sering melihat asap membumbung tinggi di langit. Walau tak terlihat, Sri menduga beberapa orang nampaknya sedang membakar sesuatu, entah apa. Awalnya ia menyangka orang-orang itu sedang membuka lahan, namun nampaknya bukan. Karena asapnya hanya sedikit saja. Namun ia melihat itu beberapa kali di sepanjang perjalanannya.
Mobil itu kemudian membawa rombongan kecil itu ke sebuah rumah yang ada di pinggiran Telawang. Rumah itu besar dan sepertinya menjadi satu-satunya di sekitar sini. Hanya ada satu rumah lainnya yang tepat ada di depan rumah besar itu. Selain itu, rumah-rumah sederhana nampak terlihat agak jauh, di antara pohon-pohon binjai dan pohon-pohon kelapa besar yang banyak tumbuh di sekitar sini.
Sri merasa rumah yang mereka masuki bentuknya sangat mencolok, dengan pagar yang tinggi hampir setinggi 2 meter. Ia merasa tak mengerti mengapa orang bisa tinggal di balik rumah seperti ini, begitu tertutup seakan membatasi dengan lingkungan sekitar? Lebih-lebih setelah masuk, bentuknya ternyata sangat berbeda dari rumah-rumah yang biasa Sri ketahui.
Pak Subowo yang sepanjang perjalanan nyaris tak terlihat, kini nampak berbincang dengan seorang lelaki berjenggot lebat, yang tadi membukakan gerbang. Keduanya nampak menuju ke rumah yang ada di depan rumah ini. Setelah itu Sri dan lainnya tak lagi melihatnya.
Namun tak lama kemudian, lelaki berjenggot itu kembali menghampiri Sri dan rombongannya. Tanpa bicara -hanya dengan gerakan tangannya- ia menyuruh kami masuk ke dalam.
Saat melihat bangunan seluruhnya, Sri semakin merasa heran. Tak hanya bagian depannya saja yang berbeda dari rumah-rumah lainnya, bagian dalamnya pun tak nampak seperti rumah. Jelas rumah ini memang dibangun dengan 2 bagian, yang pertama rumah utama, dan di belakangnya ada rumah tambahan yang berbentuk kamar-kamar yang berderet hingga membentuk huruf U. Di antara keduanya ada taman yang cukup luas, namun tak terlalu terurus.
“Ayo!“ Mbak Sariyem menyentuh punggung Sri.
Sri masih saja berjalan pelan. Di sepanjang selasar rumah yang terbuat dari kayu, langkah mereka terdengar berisik. Suara tak-tuk, tak-tuk, tak-tuk, terus terdengar tanpa henti. Namun seiring langkah-langkah itu, Sri mencium aroma samar obat-obatan. Tapi ia tak yakin, apa yang lainnya juga mencium aroma seperti itu.
Lelaki berjenggot lebat itu kemudian membagi kamar-kamar itu kepada kami. “Kamar nomor satu, Nona Sariyem,” serunya. “Kamar nomor dua, Nona Surti…” terus ia mengurutkan nomor kamar satu persatu untuk kami. Sedikit Sri merasa janggal juga dipanggil nona. Tapi ia pikir mungkin itu panggilan bagi perempuan-perempuan di sini.
Sri sendiri mendapat kamar no. 9. Ia cukup senang karena kamar itu tepat bersebelahan dengan kamar Retno. Sebelas dari mereka semuanya mendapat satu kamar, sehingga kamar setelah nomor 11 dibiarkan kosong. Namun lelaki berjenggot itu mengatakan bila beberapa hari lagi akan datang rombongan kedua.
Sewaktu beberapa orang mulai memasuki kamar masing-masing, Sri sempat membuang pandangan ke rumah utama di seberangnya. Jelas sekali kalau bangunan itu adalah pusat dari rumah di sini. Dari kaca jendela yang sedikit terbuka, Sri melihat sebuah ruangan besar yang terbagi menjadi tiga atau empat bagian.
Di situ Sri melihat ada semacam ruangan yang cukup luas, yang berisi kursi-kursi yang diatur semacam kursi penonton sebuah pertunjukan. Di sebelahnya, Sri melihat pula sebuah ruangan semacam klinik. Walau kacanya tetutup tirai kusam, Sri merasa bisa menebaknya dengan tepat.
“Kau tak beristirahat?” tanya Mbak Sariyem yang nampak mulai memasukkan barang-barang ke kamarnya.
Sri mengangguk. Segera Sri memasuki kamarnya. Luasnya seperti kamarnya di desa, hanya 2,5 x 2,5 m. Di tengah ruangan ada sebuah pembaringan kayu dengan kelambu dan selimut. Ada sebuah meja dengan 2 kursi, namun tak ada lemari. Sehingga baju-baju yang Sri bawa hanya bisa diletakkan di kompe, sebuah keranjang yang terbuat dari anyaman rumput.
Di sisi belakang kamar, baru Sri sadari ada sebuah kamar mandi kecil, lengkap dengan kaca dan peralatan-peralatan mandinya. Sungguh, semuanya seperti kamar di hotel yang mereka tinggalkan beberapa hari lalu.
Saat Sri melongokkan kepala ke sana, ada aroma asing tajam yang yang tak dikenali. Sri segera masuk dan mendekati botol-botol yang berderet di dekat kaca kamar mandi dan mulai mendekatkan salah satunya ke hidungku. Ah, ternyata aroma tajam yang sejak tadi tercium ternyata berasal dari sini!