Sri dan Patra Berjanji Bertemu

Yudhi Herwibowo
Chapter #13

#12 - Neraka!

Tank! Tank! Tank! Taaank!

……

Bekerja bekerja bekerja

Tenaga semua sudah Bersatu….

……

Kini suara lempengan besi yang dipukul-pukul yang disusul Mars Romusha menjadi tanda dimulainya hari yang mengerikan! Awalnya Patra dan yang lainnya berpikir hari-hari yang mereka lalui hanyalah hari-hari yang melelahkan. Namun rupanya tak hanya itu. Hanya sehari berselang saja, para serdadu-serdadu Jepang yuang menjaga mereka berubah. Mereka tak hanya berteriak-teriak untuk mengingatkan para pekerja, namun juga mulai melakukan Tindakan fisik.

Darto pernah ditendang kakinya dengan lars sepatu, hanya karena ia bekerja lebih lambat dari yang lainnya. Seorang pekerja lainnya bahkan digampar wajahnya. Yang paling mengerikan peserta yang paling tua -yang selama ini nampak paling berani- dihajar dengan popor senjata.

Patra merasa ini semua berlebihan. Mereka bekerja, tak seharusnya diperlakukan seperti ini. Namun ia tak bisa apa-apa demi melihat para penjaga itu beraksi. Bahkan tak sengaja menatap mereka saja, mereka akan langsung mendatangi dan membentak!

Patra jadi ingat kembali cerita salah seorang tetangganya yang kapan hari berkunjung ke desanya, juga kekuatiran Misro. Ia seharusnya bisa membaca tanda-tanda itu, karena dibanding ketiga teman lainnya, mereka sama sekali tak tahu apa-apa. Mereka hanya berpikir bekerja di luar desa, mendapat upah dan pulang Kembali ke desa. Hanya sesederhana itu.

Kali ini Patra menguruk tanah yang ada di depannya. Sebuah truk tadi pagi mengirim batu-batu kerikil entah dari mana. Ia harus mencampurnya dengan pasir agar dapat menjadi jalan yang kuat dilalui mobil-mobil.

Patra menamai serdadu Jepang yang selalu ada di dekatnya si Tonggos, karena giginya umemang agak maju ke depan. Ia adalah satu yang paling galak dan tak mengenal belas kasihan. Ada juga yang kadang menemaninya Patra menbyebutnya si Kerempeng, karena kurus dan tinggi seperti pohon kelapa. Serdadu kedua ini tak terlalu galak, ia bahkan lebih banyak mengamati di bawah pohon besar, mencuri-curi waktu untuk menghindari panas dan berisitashat.

Hari ini keduanya sedang nampak bermain serangga. Entah apa yang baru mereka dapat, namun mereka nampak senang saling memamerkan sesuatu di tangan mereka.

“Mereka mendapatkan jangkrik genggong,” bisik Kardi yang baru mengantar kereta dorong berisi kerikil-kerikil ke arahnya.

“Oooh, seperti anak kecil saja,” ujar Patra. Tapi kemudian ia sadar serdadu-serdadu itu paling juga seumur dengannya. Hanya karena berpakaian serdadu saja, ia jadi nampak terlihat dewasa.

Dari obrolan dengan beberapa orang Patra tahu kalau temoat di mana ia pekerja adalah titik baru yang dibuat Jepang sebulan yang lalu. Baru ada 3 kelompok saja yang ada, dan kelompok di mana Patra berada adalah kelompok ketiga. Nanti seperti yang sudah-sudah, akan terus berdatangan orang-orang ke sini, bisa digabungkan dengan kelompok yang sudah ada, atau bila cukup banyak akan dibuatkan kelompok baru.

Patra tak ingin peduli dengan itu. Beberapa hari di sini ia sudah merasa ingin pulang. Bila memang nanti ia benar-benar digaji sesuai janji, ia akan pamit untuk pulang. Tapi apa mungkin itu bisa terjadi? Patra mulai meragukan keadaannya sendiri.

 

***

 

Hanya 20 hari berselang, seorang pekerja sakit. Namanya Aeb, usianya 19 tahun. Ia nampak kelelahan. Namun penjaga tetap memaksanya bekerja.

Lihat selengkapnya