Sri dan Patra Berjanji Bertemu

Yudhi Herwibowo
Chapter #15

#14 - Yang Menghilang atau Dihilangkan!

Goro sebagai pekerja paling tua memang sudah berumur 34 tahun. Wajahnya memang menggambarkan usianya. Tanpa bertanya pun, semua yang ada dalam rombongan bisa mengetahui kalau ia memang yang tertua dalam rombongan ini. Di desanya di Karanganyar, ia bekerja sebagai tukang batu. Kadang ia juga menerima permintaan mencari batu-batu untuk bahan pembangunan rumah. Karena itulah tubuhnya kuat dan berotot.

Selama ini ia kerap menggarap pembangunan rumah-rumah milik orang Belanda, sejak Jepang datang dan orang-orang Belanda itu pergi, tak ada lagi tawaran membangun rumah, itulah mengapa ia kemudian mendaftar sebagai romusha. Ia pikir dengan pengalamannya hampir 15 tahun sebagai tukang batu, ia bisa menghasilkan banyak uang di proyek-proyek Jepang, seperti dulu saat ia menggarap proyek-proyek Belanda.

Namun sejak hari pertama tiba di kamp romusha, ia dapat merasakan ada yang tak beres di sini. Apalagi saat melihat bagaimana orang-orang Jepang itu memperlakukan pekerja.

Goro sebenarnya ornag yang tak suka mencari masalah. Ia lebih suka diam dan tak hirau dengan semua yang bukan masalahnya. Tapi di rombongan ini, ia sadar ia adalah yang tertua di antara semua pekerja. Beberapa pekerja bahkan masih bisa dianggap anaknya, yang masih nampak hijau dan tak berpengalaman. Itulah kenapa ia kemudian memutuskan untuk menjadi lebih aktif dalam mewakili pekerja lainnya.

Setiap hari, Goro tak ragu masih menanyakan kabar tentang Aeb pada serdadu Jepang yang berjaga. Patra bahkan sempat mendengarnya kalau ia sampai Berteriak-teriak pada dua serdadu Jepang itu, nampak sekali kalau ia marah.

Patra ingin mengingatkannya. Bagaimana pun posisi mereka di sini sangat lemah. Semua serdadu Jepang memegang senapan. Mereka bisa menembakkannya kapan saja bila mereka marah.

Keesokan harinya, Goro ternyata hilang, ia tak lagi ditemukan di gubuk dan di sekitar tempatnya biasa bekerja. Beberapa orang mencoba menanyakan keberadaannya, termasuk Patra. Tapi dua serdadu Jepang hanya mengangkat bahu. Yono Bejo bahkan berkata, “Tunggulah saja, mungkin ia hanya kencing di semak-semak!”

Tapi tidak! Goro benar-benar lenyap.

“Ke mana ia?” bisik Sumojo saat mereka tengah mengantri makan siang.

Patra hanya mengangkat bahu.

“Jujur saja, aku… berpikir buruk tentang ini…” tambah Sumojo.

“Sttt…” Patra memberi tanda pada Sumojo untuk diam.

Sebenarnya Patra sendiri berpikir buruk. Ia sudah berpikir buruk saat Aeb hilang. Ia sama sekali tak percaya ucapan Yono Bejo atau serdadu Jepang yang mengatakan Aeb dibawa ke rumah sakit. Ia merasa… Aeb telah dibuang begitu saja. Mungkin ia telah meninggal, atau dianggap merepotkan berada di sini. Terlebih karena ia sakit, tentu serdadu-serdadu Jepang itu takut kalau penyakitnya bisa menular. Dan Goro terlalu cerewet menanyakan keadaan Aeb tanpa henti, jadi itulah kenapa diam-diam ia dianggap menganggu. Maka nasibnya pun kemudian sama sepererti Aeb.

Patra membuang pandangan ke sekelilingnya. Entah mengapa, ia merasa Aeb dan Goro masih ada di sekitar sini. Namun entah di mana.

Lihat selengkapnya