Tiba-tiba ketakutan merasuk pada diri Sri. Kala para serdadu-serdadu Jepang itu akhirnya pergi, Sri segera masuk ke kamar Mbak Sariyem.
Sri terpana. Mbak Sariyem ditemui terduduk memeluk lututnya di ujung pembaringan. Kedua mata sembab dan pakaiannya nampak tak dipakai dengan benar.
Sri dapat merasakan keperihan di hatinya. “Mbak...” Ia mendekat perlahan.
Tak ada kata-kata, hanya isak tangis yang tertahan. Namun walau tanpa satu kata pun keluar dari mulut Mbak Sariyem, Sri bisa menebak apa yang terjadi padanya tadi. Ia mendengar suara-suara mengerikan itu… Bahkan saat tirai kamar itu tersibak karena angin, ia juga melihat apa yang telah dilakukan laki-laki Jepang itu!
Dan yang lebih menyakitkan, itu terjadi pula pada mbakyu-mbakyu lainnya. Sri ingat, serdadu-serdadu Jepang itu dalam jumlah yang tak sedikit, ada puluhan orang, dan semuanya sepertinya tak habis-habisnya untuk keluar dari ruang tunggu menuju kamar-kamar di belakang!
Saat itulah tanpa sengaja, mata Sri melihat seprai putih di sampingnya yang nampak penuh tetesan berwarna merah, yang jelas adalah tetets-tetes darah. Air mata Sri tiba-tiba lepas. Ia memeluk Mbak Sariyem erat-erat. Walau ia tahu, ia lebih muda dari Mbak Sariyem, ia ingin membagi kekuatan yang ada padanya, walau itu sedikit sekali pun.
Hanya isak yang kemudian merayapi keduanya keduanya.
Di saat seperti itulah muncul sebuah pertanyaan di hati Sri. Ia tak tahu kenapa hanya dirinya yang bisa selamat dari kejadian malam ini? Sempat ia berpikir itu mungkin karena usianya yang termuda, tapi Retno pun seusia dengannya. Jadi tentu bukan itu jawabannya. Apakah... ini karena surat pendek dari dokter Takeshi yang ia serahkan pada Tuan Takeda beberapa hari sehari sebelumnya? Sri masih ingat reaksinya saat menatap surat itu. Ada tatapan tak percaya, dan sedikit… menyiratkan sedikit ketakutan. Ya, rasanya memang karena surat itu! Sri masih terus menebak-nebak dalam hati. Dan bila iya, apa sebenarnya isi surat itu hingga bisa membuatnya lolos dari peristiwa seperti ini? Itu adalah pertanyaan terakhir yang tak bisa dijawab, walau sampai lama ia terus menebak-nebak jawabannya.
***
Ada sebuah pohon besar di belakang rumah yang selalu Sri perhatikan. Ia tak tahu pohon apa ini. Sepertinya pohon beringin, namun agak berbeda dari beringin yang sebelumnya ia kenal di desa. Batang utamanya tak terlalu berpilin, dan akar-akarnya juga tak terlihat. Namun yang sama, daunnya juga sangat rimbun. Banyak burung-burung yang terlihat di sana. Sejak tiba di sini, Sri kerap menatap pohon itu dengan kagum. Ia merasa, pohon itu begitu tegar. Pernah ia berpikir siapa di antara kawan-kawannya di sini yang setegar pohon itu? Dan Mbak Sariyem selalu ada di pikiran saat memandangnya.
Namun hari ini ketegaran itu seperti tak lagi terlihat. Malam berikutnya, Seri melihatnya termenung dengan wajah yang masih terluka. Beberapa menit Sri duduk di sampingnya, dan ia tak berkata apa-apa. Sri pun tak berani bertanya apa-apa.
Namun pada akhirnya, ia juga menoleh pada Sri. “Sudah kau lihat semuanya serkarang bukan?” ujarnya setengah berbisik. “Mengapa aku tak percaya dengan orang-orang Jepang?”
Mbak Sariyem menatap Sri. Matanya yang lagi terlihat basah, namun penuh kemarahan.
“Sebenarnya kisah seperti yang menimpa orang-orang di sini, sudah pernah kudengar samar-samar. Beberapa orang di desa juga terbujuk oleh Jepang, untuk melanjutkan sekolah di Singapura dan Jepang. Tapi sampai aku berangkat ke sini, kami semua tak lagi mendengar kabar mereka. Kabar burung yang kami dengar, mereka semua dijadikan pelacur oleh Jepang setan itu! Sama seperti kabar-kabar yang aku dengar tentang pemuda-pemuda desa yang ternyata dijadikan budak!”
Mbak Sariyem melanjutkan, “Walau kabar itu masih begitu kabur, tapi aku sempat berjanji tak akan pernah mengikuti satu pun ajakan Jepang. Namun aku tak menyangka kalau ajakan Zus Mintje -yang merupakan orang kita sendiri- juga bisa memerosokkan kita ke sini...”
Sri tak bisa menyahut apa pun.
Sejak hari itu, ada yang kemudian terasa kosong di hati Sri. Taman di depan kamarnya tak lagi terasa indah, walau bunga-bunga telah bermekaran dan menguarkan aroma harum yang biasanya disukainya. Semuanya kini tak terasa apa pun.
Sri ingat, ketika masih di desa, di bulan-bulan tertentu ia selalu mengajak Patra untuk pergi ke sebuah tempat di mana sebuah hamparan tanah penuh bunga berwarna-warni. Mereka tak tahu siapa pemilik tanah itu, namun yang pasti di situlah bunga-bunga paling indah dan harum tumbuh. Bersamaan dengan itu, kupu-kupu yang juga beraneka warna – yang entah datang dari mana- akan berterbangan ikut memenuhi langit.
“Aku seperti ingin terus datang ke sini, Mas,” ujar Sri kala itu, sambil terus menghirup udara panjang.
Patra akan menyambutnya dengan tersenyum. “Berarti... sama seperti mereka!” ia menunjuk di kejauhan.
Dengan tak mengerti, Sri mengikuti ke arah telunjuk Patra. Dan di situlah dilihatnya belasan ekor kambing berdatangan dan begitu saja memakani tanaman-tanaman bunga yang ada.
Tawa Patra kemudian pecah. Sri hanya bisa cemberut sambil mencari-cari batu untuk melempar ke arah kawanan binatang-binatang tak tahu diri itu.
Tapi kini, kejadian lucu seperti itu pun tak lagi bisa dikenang dengan indah. Bunga di depan kamarnya tak lagi berarti apa-apa, juga dua kupu-kupu yang datang. Gema suara isak tangis dan rintihan kesakitan yang diam-diam terdengar malam itu, seperti terus terngiang-ngiang di telinga Sri. Juga mata sembab Mbak Sariyem dan wajah penuih kesedihan mbakyu-mbakyu lainnya.
Sungguh, walau Sri merasa beruntung tak ikut menjadi korban malam itu, namun Sri merasa sangat takut.
***
Mulai hari itu, Sri mulai menyadari awan-awan kelabu mulai menggantung di langit Telawang. Walau tak selalu membawa hujan, namun keadaan suram begitu terasa. Sri mulai jarang mendengar tawa-tawa para penghuni di sini. Biasanya saat mereka mencuci baju, beberapa akan bercerita tentang hal-hal lucu, dan yang lainnya akan menimpali atau menyambut dengan tawa. Tapi sekarang tidak lagi. Semua orang dirasakan lebih banyak memilih diam. Kalau pun ada yang berusaha nampak biasa, namun tak cukup bisa sampai membuat gurauan-gurauan seperti dulu.
Baru Sri tahu dari Mbak Sariyem, saat kami dipanggil satu persatu untuk diberi nama Jepang, Tuan Takeda meminta semua penghuni ian-jo ini untuk bersikap baik apabila ada serdadu-serdadu Jepang yang datang. Kata Tuan Takeda pula, setiap tamu yang dilayani dengan sikap baik, akan menyerahkan sebuah karcis yang kelak dapat ditukarkan dengan uang bila mereka berniat kembali pulang. Tentu awalnya tawaran ini diterima baik oleh para penghuni ian-jo. Mereka belum menyadari arti kata bersikap baik kala itu.
Suasana ian-jo pun kini menjadi lebih sunyi. Itulah yang kemudian membuat Tuan Takeda memberi kami waktu untuk berjalan-jalan di sekitar Telawang. Sebenarnya itu tak terlalu membuat Sri dan lainnya tertarik. Kalau pun kemudian mereka menjalaninya, itu sekadar untuk melupakan keadaan yang terjadi di rumah, walau hanya sesaat saja.
Mereka berjalan-jalan di Pasar Telawang dengan kawalan beberapa serdadu Jepang yang siap dengan senapan panjang. Tak banyak yang mereka lakukan di situ. Tak ada juga yang berniat membeli sesuatu.
Sri bahkan merasakan pandangan mata penduduk setempat yang berpapasan dengan mereka terasa begitu... merendahkan mereka. Walau mereka menunduk kepala ketika kami lewat, namun Sri yakin itu pastilah karena adanya serdadu Jepang di dekat mereka.
Kelak di jalan-jalan yang ke berapa kali, Sri mendengar kata-kata yang menyakitkan dari beberapa penduduk desa. Mereka disebut sebagai: jugun ianfu. Itu artinya adalah perempuan penghibur yang mengikuti serdadu Jepang -atau dengan Bahasa kasar disebut ransum serdadu Jepang. Saat itu pula Sri baru menyadari arti kata ian-jo yang tepat. Bukan hanya sekedar berarti sebuah asrama, tapi asrama bagi para jugun ianfu.
Mendengar kata-kata itu, ada perasaan yang bercampur aduk di hati Sri. Ada perasaan malu, marah, sedih dan sakit hati. Sri yakin mbakyu-mbakyunya yang lain merasakan hal yang sama. Seperti Mbak Ayu yang lebih memilih diam, dan menggerai rambut panjangnya. Hanya Mbak Sariyem yang terlihat paling kuat di antara semuanya. Ia tetap berusaha bersikap biasa. Tersenyum pada warga desa, bahkan kadang mencoba menyapa mereka.
Mbak Sariyem pula yang selalu mencoba menghibur yang lainnya. Terutama Sri, bila ia merasakan Sri terlalu lama diam.
“Memikirkan masmu?” Mbak Sariyem selalu bertanya seperti itu.