Sri dan Patra Berjanji Bertemu

Yudhi Herwibowo
Chapter #22

#21 - Tirai-tirai Lepas

Satu persatu dari para perempuan di ian-jo pernah menderita penyakit pada bagian kemaluan mereka. Penyakit ini awalnya terlihat tanpa gejala. Sekitar 6-12 minggu setelah hubungan, akan ada bercak kemerahan pada tubuh. Dan setelah 13 minggu, barulah timbul benjolan di sekitar kemaluan. Kadang-kadang penderita mengalami pula pusing-pusing dan nyeri tulang seperti flu, yang akan hilang sendiri tanpa diobati. Seringkali penderita tidak memperhatikan hal ini. Selama 2-3 tahun pertama penyakit ini bisa tidak menunjukkan gejala apa-apa. Namun setelah 5-10 tahun, barulah ia akan menyerang susunan syaraf otak, pembuluh darah dan jantung.

Memang terlihat sangat mengerikan, tapi Sri pernah secara sengaja membuat dirinya terkena penyakit itu. Ia sengaja tak memakai cairan yang disediakan di kamar mandi selama beberapa hari. Sri tahu itu berbahaya. Tapi ia pikir itu lebih baik. Saat kemaluan berpenyakit, Tuan Takeda akan menginstirahatkan perempuan tersebut. Ia bahkan akan memanggil dokter untuk mengobati. Sampai beberapa minggu, Sri bisa terbebas dari tugas laknat itu.

Biasanya kepada penderita penyakit itu, Tuan Takeda memindahkan mereka ke sebuah rumah di desa terdekat sambil terus diobati. Dokter militer yang biasanya hanya datang setiap hari Sabtu, akan datang setiap hari, bersamaan dengan dokter ian-jo yang datang secara rutin setiap hari.

Karena hampir semua penghuni ian-jo menderita, di waktu-waktu tertentu yang agak senggang, Tuan Takeda kerap menyuruh para perempuan keluar kamar di siang hari saat matahari berada di ubun-ubun kepala. Ia akan menyuruh mereka semua membuka pakaian bagian bawah, dan menjemur mereka dalam kondisi seperti itu sampai beberapa lama.

Awalnya Sri tak mengerti untuk apa ia diperintahk seperti itu. Memalukan saja. Karena adegan adegan ini menjadi tontonan Pak Doyo dan beberapa serdadu Jepang yang penjaga ian-jo. Mereka tersenyum-senyum dengan mesum melihatnya.

Kelak dari dokter yang memeriknya, Sri tahu kenapa Tuan Takeda melakukan itu. Ternyata itu adalah salah satu cara untuk membunuh kuman-kuman di kemaluan mereka.

Suatu kali, selepas penjemuran itu, pernah Sri melihat Retno melangkah paling lambat di antara mereka. Sri dan lainnya segera mendekatinya.

“Kamu tak apa-apa?” tanya Mbak Sariyem.

Retno mengangguk. “Hanya berpikir saja,” jawab Retno. “Apakah kelak kita… masih bisa... mempunyai anak?” tanyanya dengan ragu

Dan semua perempuan yang sedang mengelilinginya hanya bisa terdiam mendengar pertanyaan itu. Tak ada dari mereka yang bisa menjawabnya.

 

***

 

Diam-diam Mbak Sariyem menyebut Tuan Takeda: Wong Gemblung! Itu artinya: orang gila. Dan setiap ia berujar demikian, Sri dan yang lainnya akan tersenyum diam-diam. Ini merupakan sedikit hiburan buat mereka di sini yang sekian lama sudah kehilangan tawa. Jadi semua perempuan itu pun akhirnya diam-diam memanggil Tuan Takeda: Wong Gemblung.

Sri sendiri lebih suka menganggapnya orang yang kejam! Perilakunya tak sekedar menunjukkan ia gila, tapi juga kejam. Sangat kejam. Bahkan untuk hal-hal yang seharusnya sangat sepele, Tuan Takeda benar-benar menjadi iblis. Pernah sekali Mbak Ribut -salah satu penghuni ian-jo dari Ambarawa- tertangkap basah sedang memakan sirih. Karena dianggap menjijikkan, tanpa babibu, Tuan Takeda langsung menampar wajah Mbak Ribut hingga sirih-sirih yang ada di mulutnya keluar semuanya. Tak cukup hanya sekali, tapi beberapa kali. Sri tak habis pikir, bagaimana bisa ia berlaku seperti itu. Selama ini Mbak Ribut adalah orang yang menurut, hanya perlu satu kata saja, ia akan membuang semua sirih-sirihnya.

Mbok Yah pembantu di ian-jo ini sudah pernah mengalami hal serupa. Maka itulah ia selalu nampak ketakutan. Apalagi setiap ia mendengar penghuni ian-jo menyebut-nyebut wong gemblung, ia akan selalu meminta mereka mengecilkan suara.

Tapi tentu saja mereka tak mau. Tuan Takeda tinggal jauh di depan sana, bila mereka tengah merasa jengkel, mereka bahkan akan ngedumel berkali-kali di belakangnya;

“Wong gembluuug, wong gembluuung...”

“Gemblung yo gemblung, tapi yo ojo gemblung-gembluuung...”

Tuan Takeda bukannya tak tahu panggilan itu. Mbak Sariyem pernah sekali keceplosan memanggilnya dengan sebutan itu. Namun Mbak Sariyem buru-buru menjelaskan arti kata itu. “Itu bahasa Jawa, Tuan. Artinya: orang yang gagah,” jelas Mbak Sariyem dengan takut-takut.

Tuan Takeda tak bertanya-tanya lagi. Tapi sepertinya ia senang dipanggil Wong Gemblung.

 

***

 

Di lain waktu para penghuni ian-jo pernah berbincang di kamar Mbak Imah. Mereka baru saja mengambil jatah makan dari dapur. Kali ini tidak seperti di bulan pertama mereka datang, mutu makanan semakin hari semakin buruk. Tak ada lagi telur atau ikan segar, yang ada hanya ikan asin, serta sayur oblo-oblo kuah santan yang berisi sayur-sayuran seperti terong ungu, waluh dan nangka. Nasinya pun kualitasnya semakin buruk, banyak bercampur dengan batu.

Kelak mutu makanan ini terus berkurang dengan semakin bertambahnya penghuni ian-jo. Jatah makan yang dulu 3 kali sehari menjadi 2 kali sehari, bahkan di hari-hari tertentu mereka akan makan sekali saja seharinya. Itu pun hanya bisa makan di sela-sela waktu melayani para serdadu Jepang yang datang semakin tak tentu waktunya.

Di saat para perempuan itu tengah berbincang, tiba-tiba Mbak Sariyem mendekat kepada kami. Kurasa ia baru saja menghadap Tuan Takeda.

Wajahnya nampak marah.

“Ada apa, Mbak?” tanya Sri.

Lihat selengkapnya