Setapak batu di sepanjang Telawang telah menjadi sahabat bagi Sri.
Tuan Takeda tak lagi membatasi waktu para penghuni ian-jo untuk berjalan-jalan di luar. Penjagaannya pun tak lagi seketat dulu. Kadang hanya dua serdadu Jepang yang mengawal mereka. Tuan Takeda hanya berpesan, kalau mereka tak perlu membina hubungan dengan penduduk sekitar. Tapi tentu saja ia tak bisa mengawasi hal itu. Yang terjadi mereka cukup mudah berbincang dengan penduduk, terutama bila mereka di pasar. Para serdadu pengawas tak akan bisa mengerti pembicaraan para perempuan dan penduduk lokal.
Sri juga punya kesempatan menonton pertunjukan sandirara Pantja Soerya. Ini sedikit menghiburnya, namun membuatnya teringat keluarga di Yogyakarta. Ia jadi ingat ayah, Mbak Tati, Mbak Wati, Mbak Yuyun, dan tentu saja Patra. Selama ini luka di hatinya membuatnya seperti menepikan mereka semua, walau sesungguhnya ia masih selalu meridukan mereka semua. Bahkan Sri sudah berencana menulis surat. Ia sudah membeli kertas dan amplop, namun sampai hari ini kedua barang itu belum juga disentuhnya.
Hingga suatu kali, saat Sri mampir ke sebuah warung minum tebu segar yang biasa ia datangi, ia melihat seorang perempuan jelita duduk menyendiri di salah satu sudut. Hampir seminggu sekali Sri kemari, dan ia tak pernah melihat perempuan itu sebelumnya. Ia memakai pakaian modern dengan rok panjang berwarna merah marun, namun ia menyilangkan sebuah selendang yang juga berwarna marun di punggungnya.
Jadi Sri mendekati perempuan pemilik warung. “Kalau boleh kutahu, siapa dia, Bu?” tanyanya.
Pemilik warung melirik sekilas, “Oooh, itu Nur, dia juga dari Jawa. Katanya... dulu ia penyanyi… penyanyi sandiwara.”
Sri tertegun. Mendengar kata penyanyi sandiwara ia sempat menduga kalau Mbak Nur ini adalah salah satu pemain sandiwara Pantja Soerya yang memang sedang ada di kota ini. Maka itulah sewaktu Sri melihat Mbak Nur hendak meninggalkan warung, ia memberanikan diri mendekatinya.
“Maaf, permisi, Mbak,” Sri mencoba menyusul langkahnya.
Perempuan itu menoleh, dan menatap dengan tak mengerti. Kedua matanya mengamati Sri, melihat pakaiannya yang berbeda dari perempuan-perempuan penduduk asli, termasuk juga cara Sri memanggilnya. Tapi ia kemudian tersenyum, senyum yang begitu samar. Sri menduga, ia pastilah dapat menebak siapa dirinya.
“Maaf, Mbak, kalau menganggu,” ujar Sri. “Tapi entah mengapa aku tiba-tiba ingin sekali bicara dengan Mbak?”
“Ada apa ya?” tanya perempuan itu.
Sri mengambil napas. Sekilas Sri melihat kain yang tersampir di kedua tangannya nampak koyak di beberapa bagian.
“Hmmm, kudengar mbak bekas penyanyi sandiwara?” Sambil mencoba berbincang, Sri mengajak Mbak Nur berjalan di setapak, agar serdadu pengawas tak melihat sesuatu yang mencurigakan. “Apa mbak salah satu pemain di kelompok Pantja Soerya?”
Mbak Nur menggeleng. “Oh bukan. Tapi dulu aku memang penyanyi, walau sekarang tidak lagi.”
“Kenapa, Mbak?” tanya Sri terlihat sekali ingin tahu. “Sewaktu aku datang kemari, seseorang menjanjikan akan memberikanku pekerjaan sebagai penyanyi sandiwara. Tapi... ia ternyata menipuku.”