Sri dan Patra Berjanji Bertemu

Yudhi Herwibowo
Chapter #26

#25 - Sebuah Rumah Berdinding Daun

Keinginan Sri ke Desa Klayan begitu kuat. Tapi tentu saja sulit baginya untuk meminta izin keluar. Desa itu merupakan tempat yang tak biasa mereka datangi, karena letaknya ada di ujung barat Telawang.

Walau Sri tahu apa masih ada gunanya pertemuannya dengan Zus Mintje? Apa ia akan marah dan berteriak-teriak padanya? Menumpahkan semua kemarahannya? Semua toh sudah terlanjur terjadi.

Ya pasti sekarang Sri hanya ingin bertemu dengannya. Keinginan itu seperti tak bisa dibendung. Maka ia pun datang pada Tuan Takeda malam ini. Ia katakan salah seorang saudaranya sedang datang dari Jawa untuk berdagang. Namun Tuan Takeda hanya menggeleng kepala menanggapinya. Matanya sama sekali tetap lepas dari pandangannya pada Borneo Shimbun yang dibacanya.

“Tolong Tuan, aku harus bertemu dengannya. Ia mengajak ke rumahnya. Letaknya tak begitu jauh. Siang hari aku pasti sudah ada di sini kembali?”

Tuan Takeda tetap menggeleng.

“Aku berjanji tak akan mengatakan apa-apa yang terjadi di sini. Aku hanya ingin bertemu dengan saudaraku.” Sri tak menyerah. Kengototan ini sama sekali tak biasa dilakukannya. Sri tahu, Tuan Takeda bukanlah tipe orang yang bisa berkompromi. Permohonan seperti itu, bisa saja membuatnya memukul Sri, atau bahkan mencambuknya.

“Apalagi bila aku tak datang, ia pasti akan curiga, dan mungkin malah menyusul kemari...” tambah Sri kali.

Ucapan Sri kali ini membuat Tuan Takeda mulai berpaling dari korannya. Sri tahu, ian-jo ini memang disembunyikan dari khalayak. Tuan Takeda pastilah tak ingin ada orang-orang lain yang datang kemari.

Tuan Takeda kemudian tersenyum. Senyum yang selalu menakutkan bagi Sri.

“Aku suka semangatmu!” ia berdiri perlahan dan mulai berjalan di belakang Sri. Ia menyentuh Pundak Sri perlahan. “Hanya beberapa bulan di sini saja, sudah membuatmu semakin berani!” Tiba-tiba tangannya sudah terulur ke balik baju Sri.

Sri terkejut. Tangan Tuan Takeda sudah meremas payudaranya dengan keras.

“Tuan!” Secara naluri Sri menahannya.

Tuan Takeda hanya tersenyum. Ia menarik tangannya, “Aaah, sepertinya memang tak ada lagi yang perlu dibicarakan.” Ia bergerak ke arah pintu, seperti hendak menyuruh Sri keluar  begitu saja

Sri tertegun. Pikirannya buntu. Tapi ia memang tak bisa apa-apa lagi. Jadi ia pun melangkah keluar.

“Kau sangka bisa seenakmu masuk dan keluar ruangan ini, heh?” Tuan Takeda menarik tangan Sri dengan senyum iblisnya.

Sri terjengkang kembali ke dalam ruangan. Ketakutannya muncul saat Tuan Takeda mulai mendekatinya. Dengan kasar tangannya kembali masuk ke balik baju Sri, meremas dengan keras. Tubuh Sri menggigil. Ia berusaha menepis tangan itu, tapi Tuan Takeda melah menarik tubuhnya hingga semakin merapat. Sungguh, laki-laki itu sudah menjelma menjadi  serdadu-serdadu durjana yang selalu masuk ke kamarnya.

Ia bukan hanya sekadar meremas, ia memang ingin menyakitiku! batin Sri.

Dan rasa sesak menggumpal di dada Sri, Tuan Takeda sudah menariknya ke ruang belakang. Dilemparkan tubuh Sri di atas pembaringannya dalam posisi telungkup.

Kejadian beberapa bulan lalu di ruangan gelap itu seakan terulang lagi malam ini!

 

***

 

Tapi esok harinya, Tuan Takeda memberi izin pada Sri untuk ke Desa Klayan. Ia hanya menyuruh salah satu serdadu pegawas untuk menemani Sri.

Entah mengapa, sebelum pergi tangan Sri dengan gemetar menyelipkan sebuah pisau kecil di balik bajunya. Sri tak tahu kenapa ia melakukan hal itu. Padahal ia tahu sekali, kalau ia tak akan mampu menggunakannya.

Sri berjalan menuju Desa Klayan. Dari penjelasan singkat Mbak Nur, ia sedikit kesulitan menemukan rumah yang dimaksud. Ia sempat bertanya pada beberapa orang. Tapi jawaban mereka selalu tak tahu.

“Tidak tahu, tidak tahu!”

“Di sini tak ada orang Jawa yang datang.”

“Kau harus ke Telawang Selatan untuk mencarinya.”

Sri sedikit bingung. Namun seorang lelaki Dayak kemudian berujar pada Sri, “Mungkin kau harus mengecek di rumah penampungan Kiai Ahmad. Rumahnya di ujung sana.”

Sri pun menuju rumah yang ditunjuk. Ketika ia mulai melangkah memasukinya, ia melihat sebuah papan nama besar ‘Pesantren Al Iklas’. Sri memandang tak mengerti. Kakinya terasa ragu. Namun seseorang laki-laki separuh baya yang melihatnya berdiri di halaman, segera keluar dan menyambutnya.

Lihat selengkapnya