Ini adalah rahasia besar. Rahasia dari dunia yang telah tiada. Rahasia yang akan menggoncangkan semesta ketika dikisahkan. Segala hal tersembunyi yang selamanya disimpan para dewa dari pengetahuan manusia. Itulah rahasia yang kemudian diartikan manusia sebagai kehidupan abadi dan kenikmatan tak terbatas akan kebahagiaan. Maka sejak saat itu dan untuk selamanya para dewa mempunyai alasan lucu untuk mentertawakan kebodohan manusia.
Untuk mengabadikan kerahasiaannya, dengan diam-diam Sang dewa tertinggi telah menyimpan rahasia paling rahasia itu dalam catatan panjang yang dinamakan Dongeng Langit. Untuk memastikan kerahasiaannya, Dongeng Langit itu pun mereka kunci dalam buku sakti yang dililit Naga Basuki dan dilumuri racun calakutha. Namun keberadaan Dongeng Langit di dunia kahyangan telah membalikkan tatanan dan mengguncangkan singgasana para dewa. Maka untuk melindungi kahyangan dari kehancuran, para dewa kemudian menurunkannya ke dunia dan menyembunyikannya dalam perut bumi. Namun, bumi pun tergoncang ketika menyimpannya, hingga para dewa perlu memakunya dengan 9 gunung api, menindihnya dengan 99 bukit ular naga dan memagarinya dengan 999 belantara paling kelam. Untuk dapat menemukannya kembali pada akhir dunia, para dewa kemudian menancapkan pertanda gaib di antara dua gunung paling tinggi berupa pintu rahasia yang mereka beri nama Gerbang Selimbi. Dan begitulah rahasia itu seakan tersimpan selamanya. Namun secara samar-samar tanpa kesengajaan, sang raksasa penguasa waktu telah mendengar rahasia para dewa itu dan menyimpannya. Dengan diam-diam, berbekal ingatannya yang buruk ia pun membocorkan dongeng rahasia itu pada manusia. Begitulah, dari generasi ke generasi, antara kekaburan ingatan dan kebohongan tak disengaja, dongeng tiruan itu diwariskan. Mungkin saja di antara mereka yang mempercayainya akan mendapatkan secuil pengetahuan menjadi dewa. Namun sebaliknya bagi siapa saja yang tak mempercayainya, Sang Penguasa Waktu telah membuatkan kutukan buruk paling celaka: Mereka semua lekas menjadi tua dan takkan mengenal rasa bahagia.
Generasi demi generasi berlalu, seakan rahasia itu selamanya menjadi rahasia, apabila tak ada Dewi Durga, sang ibu bumi yang berhasil memanggil kembali kisahnya dari ketiadaan. Entah itu sebuah keberuntungan atau awal dari kesialan ketika sang pembinasa Asura, sang penguasa tanaman dan kesuburan, sang penguasa penyakit dan juga mantra kutukan itu membangkitkan dongeng para dewa dari tidurnya. Tiba-tiba saja semua manusia kembali berlomba untuk memasuki gerbang kahyangan dan menguasai ilmu menjadi dewa. Namun sialnya buku sakti itu seakan terus membisu, bahkan menjaga rapat rahasianya dengan mantra kutukan. Hingga segala petunjuk mengenai keberadaannya di liputi selaput kebingungan. Dengan bahasanya yang tak pernah bisa diuraikan dalam bahasa manusia, rahasia itu seakan abadi dalam kegaiban. Seandainya pun ada yang bisa memahami mantranya, tetap saja dongeng itu memiliki jebakan-jebakan kebohongan dalam kisahnya. Siapa pun yang nekad memasukinya takkan menemukan awal dan akhirnya. Mereka seolah terus berputar dalam keindahan tanpa batas. Namun yang sebenarnya terjadi adalah kebalikan dari apa yang sedang mereka pikirkan: mereka semua tengah tersesat dalam lubang tanpa dasar yang baru mereka sadari setelah pikiran mereka telah dikuasai kegilaan. Sekali lagi perempuan sakti itu mengejek manusia, karena untuk memahami kitab keramat itu hanya dibutuhkan dua pilihan sederhana yaitu menjadi hantu dan siluman atau berjudi dengan kegilaan.
Untuk menghindari perebutan sia-sia dan terhindar dari hura-hura kegembiraan maupun kesedihan yang keterlaluan, perempuan sakti itu menyimpan dongeng paling berbahaya itu dalam perutnya. Hingga mantra-mantra rahasia yang ditanam dewa dalam setiap hurufnya menjadi racun kutukan yang meruntuhkan kecantikannya yang abadi menjadi raksasa tua bungkuk yang paling mengerikan. Secara aneh perutnya pun membesar seakan ada bayi semesta yang tumbuh dan terus meronta untuk dilahirkan. Kehalusan kulitnya yang semula mempesona para dewa dan asura telah mengeriput layaknya kekasaran sisik ular beludak paling buruk. Dengan kacaunya, kepalanya pun menggelembung menyerupai labu besar dengan sepasang matanya yang terus melotot serupa matahari kembar yang bersiap membakar siapa saja yang berani menatapnya. Seakan menyempurnakan kutukannya, suaranya yang semula mempesona dunia kini telah dirusakkan garis bibirnya yang melebar memagari sepasang taring panjang dengan deretan gigi-gigi runcing layaknya garangan liar. Dengan wujud seburuk itu, kemudian orang-orang menyebutnya dengan nama serampangan: Calon Arang - Sang Pendongeng Hitam. Begitulah nama itu diabadikan dalam kengerian. Nama yang bahkan pemiliknya sendiri tak pernah menamakan.
Begitulah Calon Arang menjadi bayang-bayang di antara nyata dan kegaiban. Sesuatu yang kemudian disalah artikan manusia. Dengan ketidaktahuannya mereka menganggap ia sebagai dukun penyebar tenung dan pengarang mimpi buruk pembawa kutukan. Namun, karena kesaktiannya yang demikian ganjil dan menakutkan, maka tak seorang pun manusia yang berani mengusik atau membuat perkara dengannya. Dengan lidahnya yang terlumuri racun calakutha ia membuat apa pun yang terucap dari mulutnya menjelma kenyataan. Dengan mudahnya ia bisa saja mengubah wujud manusia paling buas dan kasar menjadi seekor cacing paling jinak dan sopan, atau membuat manusia paling baik dan dipenuhi kesucian menjadi seekor marmut buduk dan kadal buntung paling menyedihkan. Hanya dengan membuka mulut dan mengeluarkan sepatah kata saja, sudah cukup untuk meruntuhkan langit maupun membalikkan dunia. Bahkan apabila ia berkehendak lebih jauh, kekuatannya yang terus membesar bisa digunakannya untuk mengguncangkan semesta bahkan menggetarkan singgasana para dewa.
Secara rahasia di bawah pohon saliman, sang pohon api raksasa, perempuan bernasib buruk itu mengasingkan diri. Di atas tumpukan batu besar makam-makam tua, perempuan yang menyediakan dirinya untuk menanggung duka dunia itu bertapa. Dalam kesunyiannya, ia terus menembangkan kidung pujian dewi bumi seorang diri. Suaranya yang telah rusak seakan menjadi pembimbing bagi jiwa yang tersesat dan menjadi penghibur buat yang mati. Dengan tanpa lelah, seakan sedang memutar roda dunia, ia mengelilingi pohon api itu sambil menembangkan syair sedih dan gembira. Seiring waktu, sanggul rambutnya terus meninggi menjangkau gunung sedang tubuhnya terus membungkuk ingin menyentuh tanah. Bermacam kalung yang berjuluran laksana usus bayi pada lehernya membuatnya serupa boneka kayu paling celaka yang tengah menceritakan kisah paling mengerikan pada dunia. Kisah yang selanjutnya menjadi cara penyucian dirinya. Namun di antara semua golongan manusia hanya sedikit saja yang berani mendengarkan kisahnya, dan lebih sedikit lagi dari mereka yang mampu bertahan hingga mencapai akhir ceritanya.
“Ceritaku sangatlah panjang dan mengerikan. Apakah kalian mempunyai keberanian untuk mendengarnya?” ucap Calon Arang menyeringai, memperlihatkan ancaman pada sepasang bocah sakti yang menantang mendengarkan kisahnya. Lidahnya yang sesekali berjuluran membuat suaranya terdengar aneh seperti berasal dari luar dunia. Dengan santainya ia duduk bersila di atas pelepah daun kelapa kering yang melayang beberapa jengkal di atas tanah. Konon itu hanyalah sebagian kecil kesaktiannya selain dapat membaca masa lalu dan melihat bayangan masa depan.
Dua bocah kembar yang dimaksud hanya tersenyum untuk kemudian kembali sibuk bermain dengan hewan peliharaannya. Mereka adalah dua bocah kembar yang terlihat biasa namun memiliki kesaktian di atas manusia. Dan begitulah mereka saling melengkapi, Seperti cahaya dan bayangan, seperti matahari yang mengisi bulan. Dua kekuatan yang apabila disatukan menjadi cahaya kedamaian, namun akan menjadi petaka ketika dipisahkan.
"Selama beratus tahun kami telah menaklukan segala kengerian dan hal-hal paling mengejutkan," dengan kebandelannya si bocah pertama menjawab tenang sambil merapikan paruh burung alap-alap kesayangannya. Dialah sang bocah ajaib yang tak pernah tumbuh dewasa karena telah menjadi titisan dewa burung. Titisan yang dia peroleh setelah menelan Mustika Garudeya, telur langit sang dewa angkasa.
"Kalawisa, apakah untuk mendengarkan kitab omong kosong ini kita membutuhkan keberanian?" ucap bocah kedua sambil mengusap-usap kepala ular beludak yang bergelantungan manja membelit lengannya. Seakan menjadi kembarannya, selamanya ia juga dikutuk dalam wujud kanaknya karena telah menelan Mustika Antaboga, telur sang naga bumi.