SRITI WANI

Alim Bakhtiar
Chapter #2

#2 Bayi yang Dilahirkan Buah Kelapa

Sebagaimana matahari menjadi pusatnya semesta, Desa Sinom Segaran adalah pusatnya dunia. Begitulah para leluhur menempatkan tempat itu sebagai inti dari persilangan dunia bawah, tengah, dan dunia para dewa. Mungkin itu terdengar seperti kelakar paling sombong yang pernah di ucapkan. Tapi yang jelas, untuk saat ini hingga berakhirnya dunia, para penduduk desa mempercayai bahwa para dewa akan selalu hadir menjaga kedamaian tempat tinggalnya. Sebagaimana perjanjian keramat para leluhur, dikisahkan bahwa para dewa telah menghadiahkan permata di langit guna mengusir kegelapan dunia. Melengkapi di bawahnya, telah dihadiahkan tempayan api yang menyimpan kekuatan dewa dalam perut bumi. Itulah tempayan sakti yang menumbuhkan bermacam gunung yang berguna menyangga kahyangan. Kekuatan yang kemudian menjadi harta kesuburan, yang membuat manusia yang hidup di atasnya terhindar dari rasa takut akan bencana dan kelaparan. Begitulah para leluhur manusia mengatur jalannya air, membentuk bukit-bukit hijau menjadi alur undakan pematang sawah yang konon merupakan tangga bagi para dewa untuk turun ke dunia. Di antara segala pepohonan aneh dan tanah yang menjadi keramat itulah terbentuk nyanyian gembira paling jenaka akan pagi dan sore. Lagu yang kemudian disamarkan burung prenjak dan sikatan guna memberikan hiburan pada manusia dari sedih dan kesialannya. Dengan kegembiraan yang tak bisa ditahan, penduduk desa berbagi tembang dengan lenguhan kerbau-sapi dan berisik barisan bebek di pematang. Mereka pun menciptakan bermacam tembang dan cerita yang terus mereka mainkan secara bergantian sepanjang jalan.

Layaknya sepasang boneka wayang yang saling melengkapi, Ki Manggar dan istrinya, Nyi Combrang berjalan beriringan. Bayangan mereka yang terus memanjang menyentuh pepohonan bambu dan menggetarkan embun di dedahanan pohon pisang. Jauh di belakangnya, menjadi raksasa biru yang menjangkau langit, Sanggeni - Sang gunung keselamatan berdiri penuh kewibawaan. Sejak berabad-abad silam, dari sejarah yang menjadi rahasia, ia menjadi saksi dari jatuh bangunnya kehidupan di sekelilingnya. Ketika ia marah, maka mahkota pada kepalanya mendidih melontarkan batu api dan memuntahkan kemarahan bumi yang membakar apa saja di sekelilingnya. Namun, hujan abu yang dikeluarkannya menjadi berkah kesuburan yang dinanti sekelilingnya. Begitulah, keseimbangan itu tercipta. Sebagaimana masa lalu dan waktu mendatang ia ditugaskan menemani manusia melewati sedih gembiranya. Maka, sebelum manusia jatuh dalam lamunan panjangnya, ia mengajak seluruh penghuni dunia bergembira. Karena jauh sebelum dini hari tiba, semesta kegaiban telah menunjukkan pertanda baiknya di langit. Garis bintang keberuntungan menampakkan diri dalam samaran pancuran cahaya. Itulah tanda, bahwa musim telah memasuki hujan emasnya.

Sang dewi kesuburan pun telah turun memberikan berkahnya. Rohnya telah menyatu dengan bumi dan napasnya mengalir dalam setiap tanaman. Setiap bunga akan membagikan keindahan senyumnya. Begitu pula dalam kemanisan buah-buahan ia membagikan kegembiraannya. Dengan tanpa mengenal jemu ia terus menghembuskan kesuburan pada tanaman padi yang membentang serupa permadani kehijauan yang berundak menyentuh bukit. Di atasnya secara rahasia telah tergambar lukisan alam paling menakjubkan yang belum pernah siapa pun saksikan. Tidak hari kemarin atau sebelumnya, dan tak seorang pun mengetahui awal mula keberadaan garis-garis aneh yang membentang di atas hamparan sawah mereka. Dengan penuh kepatuhan, batang padi muda merunduk rebah membentuk alur gambar melingkar-lingkar. Garis yang melengkung sempurna, menyatu dan menyilang membentuk tanda kegaiban. Tanda gambar yang seakan mustahil dibuat manusia maupun mahluk mana pun di dunia. Tanda gaib yang kemudian dihubungkan dengan mandala langit dan kesaktian tangan-tangan dewa.

Terbawa keterkejutannya, Ki Manggar dan istrinya menghentikan langkahnya. Seakan memberikan tanda, jejak telapak kaki bebek di pematang telah menuntun mereka pada serombongan burung layang-layang yang terbang bergelombang hingga menutupi langit. Itulah burung yang mempunyai nama tua cantaka, sang burung pembawa pesan para resi dan suara dewa. Dengan bergelung-gelung serombongan burung itu seperti membuat pertanda dengan sebuah tarian. Melalui suara cicitannya, tercipta nyanyian sihir yang sepertinya bukan berasal dari dunia. Atas pengaruhnya, pepohonan padi melemaskan diri dan membuat jalan yang menuntun sepasang suami istri itu pada pusat lingkaran yang membentuk gambar besar yang hanya bisa terlihat dari langit. Itulah Mandala padmasara, lingkaran- lingkaran cincin bunga Padma.

Sebelum keduanya menyadari peristiwa aneh di sekelilingnya, para burung pembawa pesan itu telah lenyap dengan meninggalkan suara tangisan bayi yang semakin keras di dalam lingkaran padi yang rebah. Jantung keduanya pun berdebaran kencang. Sambil berjalan mendekat, mereka seperti mendapatkan jawaban dari bermacam pertanda aneh serta mimpi yang terus menghantui tidurnya. Kejadian ganjil yang tidak hanya hadir ketika malam tetapi juga datang di kala siang. Mimpi yang terus mengalami pengulangan dan baru berhenti setelah mereka menanam sebuah kelapa berajah Dewi bumi yang mereka tanam sebagai pemujaan di sawah mereka. Itulah mimpi yang kini hadir melintasi batas kegaiban: mimpi mengenai seorang bayi yang terlahir dari buah kelapa yang telah diberkahi bumi.

“Duh Gusti pemilik hidup dan mati, inilah jawaban dari doa-doa kami selama ini?” suara Ki Manggar bergetar, seakan ia menangkap suara semesta yang mengelilinginya.

Lihat selengkapnya