SRITI WANI

Alim Bakhtiar
Chapter #3

#3 Anak-Anak Angin

Musim berganti musim, waktu berlalu serupa gurauan jenaka. Menyeruak dari balik kabut, di antara mekarnya bunga rumput, seorang gadis kecil tertawa lepas di atas punggung kerbaunya. Begitulah, bayi mungil itu tumbuh menjadi gadis periang yang lincah. Sriti Wani namanya. Yah, Sriti. Nama yang sengaja dipinjam dari sang burung penyampai pesan. Nama yang membuat tubuh pemiliknya tak bisa diam dan angan-angannya selalu ingin bebas terbang. Matanya yang bundar dan besar memancarkan nyawa bintang timur yang terus berkedipan menyertai kelakar dan tawanya. Semua yang memandang pipinya akan menyepakati bahwa tangan-tangan dewa telah membentuknya dari dua kepalan tanah liat paling cantik guna membahagiakan manusia. Begitu pula sepasang bunga kamboja berkelopak tiga seperti trisula dewa Siwa yang berseri-seri menghiasi telinganya. Itulah bunga yang mengundang keberuntungan dan menjaga pemiliknya dari marabahaya. Semua yang nampak padanya seakan telah bersepakat untuk saling mengisi. Serupa meriahnya taman ia membawa rindu dan kegembiraan pada sekelilingnya.

Begitu pula sekumpulan bunga esuk sore yang terus membunyikan terompetnya dan bunga-bunga rumput yang akan berebut cepat menyambut kedatangannya. Bunga-bunga yang akan menempelkan putik-putik sarinya pada rambutnya yang dikelabang memanjang. Segera baju kebayanya yang dimainkan angin memamerkan juluran bunga gadung yang berdesisan dengan mantra penolak bala. Sedang tak kalah menariknya, jarik tapih yang diselempangkan di antara kedua kakinya ke belakang membuat langkah kakinya selincah kijang remaja. Seperti memancing segala mata untuk memandang, pada ikat pinggangnya terselip seruling kecil yang terus saja bersiulan menggoda ketapel yang hanya bisa berdiam diri di sebelahnya. Sedang pada sisi lainnya diikatkannya ketupat daun pandan yang dianyam begitu rapinya guna menyimpan bermacam biji-bijian dan jimat keberuntungannya.

Dengan menunggangi kerbau kesayanganya, Sriti Wani bermain menjelajahi sawah dan padang rumput di atas bukit. Dalam rahasia yang disamarkan dikatakan bahwa dahulu kala leluhur bangsa kerbau telah diturunkan langit buat menemani manusia di dunia. Mereka adalah mahluk perkasa yang ditakdirkan bersama manusia mengolah bumi. Tanduk panjangnya yang terbuat dari taring raksasa Kala sanggup membalikkan tanah, membendung sungai dan membentuk jalan pematang. Dengan kakinya yang dimantrai dewi bumi, mahluk itu menjaga tiap jengkal tanah dari wabah bencana.Wea Wea adalah keturunan terakhir dari kerbau gaib tanah Jawa. Kerbau liar yang dulunya digembalakan para raksasa bajang di padang belantara kelam yang dipenuhi segala hantu dan siluman. Konon, mantra-mantra keramat yang telah tertanam dalam tubuhnya akan mendekatkan hal-hal baik dan menolak segala keburukan di sekelilingnya. Sedangkan bulu-bulu kelabu pada punggungnya menandakan kekuatannya sebagai pelindung tanah dan gunung. Sepasang matanya yang berkilatan api menandakan ia mewarisi kekuatan matahari kerbau Andanu - kerbau perang tunggangan para dewa. 

Melengkapi kejenakaannya, keributan Gendu dan Cilele, dua ekor tupai kesayangannya selalu mewarnai hari-harinya. Cilele yang bertubuh mungil, begitu lincah berbuat usil dan menggoda Gendu yang berbadan gendut untuk menari bersamanya. Sebentar saja di biarkan, mereka telah berkejaran memanjati tubuh Sriti Wani dengan nakalnya. Ketika mereka bersama, semua waktu menjadi kisah petualangan yang menyenangkan. Petualangan yang tiada habisnya bila diceritakan.

Disebabkan keceriaan dan kasih sayangnya, gadis kecil itu pun dengan mudah menemukan kawannya di mana saja. Tak ada petualangan yang lebih mengasyikan buatnya selain bermain bersama Anak-anak Angin. Mereka adalah sekumpulan anak desa dengan nama-nama jenaka yang dipinjamnya dari roh binatang dan tumbuh-tumbuhan. Anak-anak yang selalu menyediakan kelakuan konyol dalam setiap petualangannya. Ada Si Jrabang yang berkulit sawo matang. Suaranya yang keras dengan sifat sok jagoannya membuatnya dijuluki sebagai si jangkrik tanah. Di balik kebandelan dan sifat tak mau mengalahnya, ia tetaplah bocah manis periang yang setia kawan. Ada Si Gembolo, badannya gemuk besar serupa biji cengkih tua namun setiap kata-katanya membawa keluguan. Tak ada seorang anak pun yang mampu menyaingi kesukaaanya dalam hal menyantap bermacam makanan. Wajahnya akan bersemu merah menyerupai buah cengkeh yang menua ketika tertawa atau menemukan makanan yang di sukainya. Lalu ada Ken Bluluk, selain dikenal sebagai penghibur lucu, ia mempunyai jiwa yang lembut, seputih serangkaian bunga melati yang menghiasi ikatan rambutnya. Pipinya yang sehat serupa tunas muda kelapa selalu berseri-seri membawakan pesan kegembiraan pada sekelilingnya.

Mereka adalah kembaran anak-anak dewa yang dibesarkan di antara pepohonan gelap dan sungai. Seolah semuanya tumbuh bersama angin dan direstui segala bukit dan gunung-gunung untuk menjadi sahabatnya. Menjelang malam, angan mereka terus bermain dengan bulan dan menyerahkan kulit tubuh mereka untuk diwarnai matahari ketika hari berganti terang. Mereka sangat suka berburu belalang, mengumpulkan kepik emas-emasan, beraneka kumbang dan segala biji-bijian. Kantong ketupat mereka akan selalu bergoyang dipenuhi aneka benda aneh yang mereka temukan dalam petualangannya. Dan begitulah mereka menjadi raja-raja kecil yang bahagia dengan sawah, ladang, sungai, padang rumput, bukit-bukit kecil dan hutan sebagai wilayah kekuasaannya. Itulah tempat yang secara turun temurun menjadi guru terbaik yang mengajari semua anak-anak hidup dalam kegembiraan. 

Selain menghabiskan waktu bersama orangtuanya di sawah dan ladangnya, dengan tanpa lelah mereka menjadi mahluk ajaib yang mengisi waktunya dengan beragam petualangan. Dengan keluasan angan yang tiada habisnya mereka menyulap segala benda yang ditemuinya menjadi permainan yang menyenangkan. Kegembiraan sederhana yang mereka dapatkan dengan tanpa perlu menebusnya dengan harta benda dan uang. Dengan riangnya seakan menjadi dewa yang menciptakan dunia, mereka membentuk mahkota ajaib dari daun nangka, membuat kuda-kudaan dari pelepah pisang, atau mencipta aneka ketupat cantik dari dedaunan lontar dan kelapa. Dengan mengabaikan segala anggapan bodoh dan kenakalan, mereka bermain pelorotan daun pinang, atau berlagak sebagai dalang yang menghidupkan boneka wayang yang mereka bentuk dari batang tanaman dan rerumputan. Dan layaknya harimau kecil yang perkasa, mereka terus saja bermain tanpa merasakan bosan maupun kelelahan. Dengan kepolosannya mereka menjadikan batu-batu, rumput dan pepohonan sebagai kawannya. Bahkan seakan tak puas untuk selalu meluaskan dunianya, mereka menjadikan bukit-bukit dan gunung sebagai dunia ajaib yang selalu menjanjikan petualangan. Itulah dunia yang seakan dirahasiakan kehidupan dan selamanya menjadi milik mereka. Keajaiban yang tak bisa dirampas dan hanya bisa di ketahui ketika bersama-sama mengikuti petualangannya.

Di antara para jagoan kecil lainnya, Sriti Wani merupakan jagonya adu main ketapel. Cukup dengan memejamkan mata, atau bahkan sambil mengendarai lari kerbaunya, ia dengan mudah membidik sasarannya. Seperti ada mata ketiga yang senantiasa membantunya. Tak peduli apa pun sasarannya selalu saja tepat dikenainya. Maka, ketika musim buah-buahan tiba, anak-anak itu selalu berpesta rasa antara manis dan asamnya kesegaran buah-buahan yang didapatkannya. Mata ketiganya selalu bisa membantu terciptanya keriangan anak-anak desa.

Seperti sesuatu yang telah diketahui semua orang tua dari masa kanaknya, bahwa semua anak-anak itu takkan berhenti untuk mengejar keajaiban. Dari tubuh-tubuh kecil itu menguap bebauan matahari yang sekaligus telah melegamkan kulit mereka hingga menyerupai warna tanah. Dengan rambut kusut menjurai menyaingi kekacauan rambut seekor landak, mereka pulang dengan menyungging senyum kemenangan. Mereka tak merisaukan pakaiannya yang telah berlepotan lumpur kering dan dipenuhi lelehan buah matang atau pun getah tanaman. Tentu saja semua orangtua akan melotot dan meruncingkan kedua alis matanya ketika menyaksikannya: “Hantu-hantu kecil itu telah kembali dengan semua keliarannya,” pikir mereka. Dengan nada-nada tinggi, sebagaimana kakek buyut mereka dulunya memberikan tipuan ketakutan, mereka memberikan nasehat kebijakan. Para orang tua akan menyebutnya sebagai kenakalan yang sulit dimaafkan. “Semoga hantu-hantu, roh pepohonan tua dan batu keramat raksasa akan menelan anak-anak nakal yang gemar berkeluyuran tanpa aturan!” ucap mereka penuh kemenangan. Mungkin mereka berpikir hanya para hantu dan tipuan ketakutanlah yang bisa membuat anak-anak itu jera untuk kembali mengulang segala kenakalannya. Akan tetapi, pemahaman anak-anak tetaplah sulit mereka duga. Setiap anak-anak akan berpikir sebaliknya, bahwa segala kenakalan maupun kekotoran yang dibuatnya merupakan tindakan yang menyenangkan. Ibarat perwujudan anak-anak dewa yang terlepas dari salah maupun benar, dalam tiap waktunya mereka menikmati kegembiraannya. Mungkin begitulah cara anak-anak itu belajar menjadi dewasa. Anak-anak yang membuat dunianya dipenuhi keajaiban tak terduga yang seringkali tak dimengerti satu pun mahluk di dunia. Karena bagi mereka, sebentuk sorga tidaklah pernah jauh dari berbagai permainan dan segala petualangan angannya.

Ketika waktu membawa mereka kembali pada petualangannya, mereka pun segera berlari mengumpulkan teman-temannya. Mereka menyeru semua benda, memanggil sebentuk nama yang telah diberikannya. Nama yang seolah membuat sebuah benda lebih berarti dan mulia dari lainnya. Nama-nama yang kadangkala hanya dimengerti oleh kalangan mereka sendiri.

Lihat selengkapnya