"Kamu gak apa-apa? Kudengar Gale memukulmu?" Aurora menggebrak meja Rain panik, wajahnya terlihat khawatir. Ia memang sangat perhatian kepada semua orang. Aurora menjadi satu-satunya teman yang Rain anggap tulus dan peduli padanya.
Saat perkelahian tadi, Aurora memang sedang tidak berada di kelas, ia terkejut mendengar cerita dari teman sekelasnya mengenai perkelahian antara Rain dan Gale atau lebih tepatnya perundungan Gale terhadap Rain. Rain hanya menunduk malu, ia tak tahu lagi dimana harus menyimpan mukanya di hadapan gadis yang ia sukai. Ya, Rain menyukai Aurora.
"Jawab aku, Rain."
"Kau tak perlu ikut campur, Ra. Ini urusanku." Rain memalingkan wajahnya dari Aurora, harga dirinya sebagai lelaki sudah hancur.
Tangan putih yang halus itu terjulur memegang dagu Rain, Aurora menelisik setiap inci wajah Rain yang sudah babak belur. "Bagaimana itu bukan urusanku! Aku ketua kelas di sini."
Pipi Rain merona merah, tetapi tertutup oleh luka lebam yang sudah terlebih dahulu menghiasi wajahnya. Aurora memang selalu saja membuat jantung Rain berdetak lebih cepat dari biasanya.
Suara tawa dan perbincangan terdengar bersahut-sahutan, Gale, Shine dan Rumor memasuki kelas yang telah dipenuhi siswa karena jam pelajaran beberapa saat lagi dimulai.
Dengan gerakan cepat, Aurora sudah berpindah dari bangku Rain sekarang berdiri di hadapan Gale dan menghalangi jalannya.
"Gale! Apa yang sudah kau lakukan?!" tanya Aurora merentangkan tangannya.
"Aku sudah buang air besar di toilet. Kenapa, kau mau ikut? Lain kali kau akan aku ajak."
"Bukan itu!" timpal Aurora geram. "Kau bertindak tidak baik terhadap Rain. Aku bisa melaporkanmu pada guru."
Tangan kanan Gale yang tadinya berada di dalam sakunya, terangkat mencekik Aurora, ia mendorongnya hingga terbentur pada tembok. Shine dan Rumor tersenyum meremehkan, mereka menatap tajam pada seisi kelas yang tampak tercengang.
Aurora terbatuk, napasnya tercekat. Gale mencekiknya tanpa ampun. "Kau tidak perlu repot-repot melapor pada guru. Kau akan kehabisan napas bahkan nyawa, sebelum melangkah keluar kelas," ucap Gale menatap Aurora tajam. Tatapannya menyeramkan, seperti Gale akan bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
Aurora menatap kepada teman sekelasnya, semua bersikap seolah-olah tidak melihat apa-apa. "T- teman-teman. K- kenapa kalian diam saja?"
"Kau berharap ada yang membantumu?" tanya Gale menaikan sebelah alisnya.
Gale menendang meja depan yang terdekat dengannya, hingga membuat seisi kelas terlonjak kaget. "Siapa yang hendak membantunya, cepat kemari!" Gale berteriak dengan lantang.
Aurora semakin kehabisan napas, paru-parunya sesak karena kekurangan pasokan oksigen. Tidak ada yang berniat membantunya, semua siswa menundukan kepalanya takut, termasuk Rain.
"R- rain ...," ucap Aurora lirih, Rain hanya menunduk mengalihkan pandangan.
"Maaf Aurora, aku memang payah. Aku tak seberani itu," batin Rain.
"Tak perlu sok menjadi pahlawan." Gale melepaskan cekikannya di leher Aurora. "Hari ini aku sedang tidak ingin menghilangkan nyawa seseorang."
Aurora terduduk jatuh, ia memegangi lehernya yang berbekas kemerahan. Tak henti-hentinya ia terbatuk, matanya berkaca-kaca merasakan perih.
"Gale! Seperti inikah yang dinamakan jab!" Tiba-tiba Rain mengarahkan tinju seenaknya ke arah wajah Gale.
"Hey! Santai, Lidi." Gale dengan mudahnya menangkap kepalan tinju Rain yang mengarah padanya. "Kau berani juga. Tinjumu terlalu lemah, tekhnikmu masih salah!"
Gale menghempaskan kasar tangan Rain. "Seperti ini jab ... straight dan uppercut." Secara berurutan Gale memukul Rain, ia memukul lurus mengarah ke pipi kanan Rain dengan tangan kiri, diikuti tangan kanannya yang memukul pipi kiri Rain, ditambah tinjunya yang berasal dari bawah dan mengenai dagu Rain hingga terpental ke belakang. "Bagaimana? Kau paham?" tanya Gale tersenyum puas.