Seharusnya, cinta itu hanya tentang kau dan aku.
Seharusnya, cinta itu tidak melibatkan variabel lain apapun, selain kau dan aku.
Seharusnya, bintang-bintang tidak ikut campur tangan menentukan takdir kita.
Maafkan aku Tuhan, aku tidak ingin menentang-Mu,
aku masih hamba-Mu yang taat kepada-Mu.
Aku mengerti apa yang tidak boleh, apa yang boleh.
Aku hanya tidak bisa mencegah perasaan ini.
Aku tidak meminta keajaiban, Tuhan, aku tahu diri.
Aku hanya ingin Engkau mengijinkanku, untuk mencintainya, di dalam hatiku.
Itu saja.
Karena aku tahu, di mata Engkau, aku dan dia, tak boleh bersatu.
*-*-*-*
Ketika huruf-huruf V dari ukuran kecil ke ukuran besar sebanyak 6 buah bertumpuk muncul di layar lebar, Disha dan Rama hampir bersamaan menyuarakan, “Village Roadshow Pictures!” menyebabkan beberapa orang di sekitar tempat duduk mereka di dalam teater bioskop menujukan pandangan ke arah mereka, membuat sejoli itu tenggelam di kursi merah, merasa malu, tertawa kecil sepelan mungkin karena tidak ingin menjadi The Chatterbox, sebutan yang mereka ciptakan pada orang menjengkelkan di bioskop yang suka berkomentar terhadap apapun yang dilihat di layar.
“Aku duluan yang ngomong,” bisik Disha.
“No way, me first,” Rama tertawa kecil, yang hanya dibalas dengan gerak tangan Disha mengacak rambut jabrik hasil tatanan gel yang bertahta di kepala lelaki yang sangat dicintainya itu.
Rama menggelengkan kepala, terpaksa membiarkan kekasihnya menang kali ini. Mereka punya kebiasaan semacam kompetisi kecil menebak nama rumah produksi suatu film hanya dari lambang-lambangnya ketika mulai muncul di layar sebelum film itu dimulai. Dan siapapun yang menang, akan mendapat hadiah dari yang kalah setelah selesai menonton. Biasanya hadiah-hadiah kecil seperti es krim, sebungkus keripik kentang, kue dadar, coklat, gorengan, dan jajanan-jajanan lainnya yang mereka bisa temui di mal tempat bioskop berada.
Keduanya kemudian sama-sama terdiam saat film dimulai. Gangster Squad. Mereka sepakat memilih judul tersebut diantara deretan film-film lain yang sedang tayang di bioskop. Memiliki selera yang sama dalam menonton film membuat Disha dan Rama semakin lekat, tidak pernah berdebat di antrian loket seperti layaknya pasangan-pasangan lain, yang satunya memilih drama romantis, sementara pasangannya memilih film laga. Satunya ingin nonton film horor, pasangannya ingin nonton film komedi. Disha dan Rama sering kasihan pada para penjaga loket harus menunggu pasangan berdebat memilih film. Argumen antara Disha dan Rama biasa terjadi justru setelah selesai menonton, membicarakan tentang plot film, hingga detail-detail kecil yang mereka berdua jeli untuk perhatikan dari sebuah film.
Sama-sama maniak film, dan setiap kali film sudah dimulai, mereka berdua tidak lagi berkomunikasi, bahkan tidak berkomentar apapun. Mungkin hanya sesekali saling pandang, saat muncul adegan-adegan yang seru dan berpotensi menjadi bahan perdebatan mereka. Seperti pada menit ke-dua puluh, ketika serombongan penonton baru memasuki teater dan lewat di hadapan mereka untuk duduk di barisan yang sama dengan mereka.
Kaki Disha sengaja menyenggol kaki Rama sebagai isyarat betapa terganggunya atas kedatangan The Latecomers, sebutan mereka untuk penonton yang datang terlambat. Rama hanya tersenyum, mengerti apa yang dimaksud Disha. The Latecomers melewati tempat duduk membuat pandangan ke arah layar terganggu, belum lagi suara-suara mereka mencari nomor tempat duduk dan bahkan bertanya-tanya sudah berapa lama mereka terlewat, adegan apa yang tidak sempat mereka tonton. Disha hanya berharap tidak ada lagi para pengganggu yang mengurangi kenikmatan menonton kali itu, sementara Rama cukup santai dan memilih tidak ambil pusing dengan distraksi itu.
Setelah sekitar 1 jam 53 menit, film akhirnya selesai. Lampu teater telah dinyalakan dan orang-orang mulai beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan teater. Tapi Rama dan Disha masih tinggal di tempat duduknya bernomor A15 dan A16, melihat credit title yang nampak di layar. Bagi mereka, menonton nama orang-orang di balik layar adalah suatu penghargaan. Para produser, sutradara, hingga kru film paling kecil, mereka pantas dan berhak untuk diketahui.
“Delapan,” ucap Rama, memberikan skor untuk film yang baru saja mereka tonton.
“Apa? Delapan setengah lah!” Disha menawar.
“Oh ayolah, bagus sih tapi ritmenya naik turun. Dari humor ringan ke pertumpahan darah berat mencerminkan krisis identitas suasana film, terasa kan?”
Disha hanya memutar bola matanya sambil berdiri dari kursi, diikuti Rama, menjadikan mereka penonton terakhir yang keluar dari ruangan teater.