Star-crossed

Liz Lavender
Chapter #2

CHAPTER II: Habibie & Ainun (2012)

15 Agu 2012 15:43

Ayudisha Faizah

Pokoknya jangan sekali-kali kamu masukin aku ke grup angkatan 2001 ya!

Eva Andriana

Emangnya gw juga masuk?

Ogah lagi!

Males banget liatin pada pamer their perfect life

Tahu sendiri facebook aja gw nggak temenan sama mereka kan

Cuman sama lo sama Berlian

Itu aja karena si Berlian maksa gw bikin Facebook

Males banget tahu main ginian

Ayudisha Faizah

Idem lah, aku juga nggak temenan sama anak-anak 2001

Ya gapapa, Va, kali aja kamu bakal nemu jodoh di facebook

Terus kamu tahu ada grup itu dari mana?

Udah pada punya anak berapa mereka?

Eva Andriana

Jodoh apaan?

Gw nggak mau kawin, Sha, lo tahu kan

Ayudisha Faizah

Ih jangan ngomong gitu

Nanti nggak kawin beneran lho

Eva Andriana

Dari si Berlian, lah!

Tuh anak kan paling demen kumpul2

Mana gw tahu mereka pada punya anak berapa?

Nggak tahu dan nggak mau tahu!

Emang gw nggak mau kawin kok

Ayudisha Faizah

Si Renata denger-denger udah punya anak 3 ya?

Gila nggak sih?

Eva Andriana

Renata? Orang kaya gitu lho!

Mau beranak pinak sampe 100 pun nggak masalah

1 anak 1 babysitter

Emaknya mah tinggal kipas-kipas sambil ongkang-ongkang kaki

Ayudisha Faizah

Eh tapi

Berhenti mengetik di kotak pesan Facebook dan membiarkan sahabatnya menunggu, Disha mendapati sebuah notifikasi pertemanan. Mengarahkan kursor untuk mengecek siapa yang mengajukan pertemanan, Disha mengangkat kedua alisnya.

G. Rama Daniswara Mahaprana.

Nama itu terlihat asing, Disha merasa tak pernah kenal orang dengan nama itu. Fotonya pun terlihat samar, seperti foto yang disunting dengan efek-efek blur? Rambutnya hitam pendek biasa, tidak gondrong, hanya ada aksen spikey di bagian depan. Wajahnya, kelihatan putih bersih, matanya terkesan sayu meski agak lebar.

Eva Andriana

Disha?

Masih di situ nggak sih?

Mengabaikan pesan yang masuk dari sahabatnya di layar pesan Facebook, Disha penasaran dengan pria yang baru saja mengirimi permintaan pertemanan padanya. Merasa gerah karena suhu kamar yang cukup panas, Disha meraih jepit rambut warna ungu favoritnya, menggulung rambut sebahunya ke atas dan menjepitnya, membiarkan seuntai rambut jatuh di tepi pipinya. Dia butuh konsentrasi untuk menjelajah profil si pria baru di Facebook ini. Matanya kini menelusuri halaman profil, menemukan bahwa ternyata Disha dan pria itu berteman dengan 1 orang yang sama, yaitu Syahrul, teman kerja Disha. Melihat lokasi, ternyata Rama tinggal di kota yang sama dengan Disha, di Semarang.

Terus menelusuri halaman profil, Disha mendapati Rama bekerja di sebuah perusahaan arsitektur. Cukup keren. Melewati detail lainnya, Disha memutuskan untuk melihat ke linimasa halaman profil Facebook itu. Mungkin aneh, tapi kalau menurut pepatah ‘Don’t judge the book by its cover’, buat Disha, dia akan menilai seseorang dari cara mereka mengetik di pesan singkat dan apa yang mereka unggah di media sosial.

Eva Andriana

Gw dicuekin ih

Mending beli makan deh

Disha masih tak menghiraukan pesan dari Eva di kotak masuk. Matanya masih asyik menjelajah profil lelaki bernama Rama, kini berbinar saat melihat mayoritas unggahan di linimasa Rama adalah ulasan dan rekomendasi film. Juga beberapa kutipan dialog dari film-film. Bibir Disha tersenyum tanpa ia sadar, dan tanpa berpikir panjang lagi, dia akhirnya menerima permintaan pertemanan dari Rama. Kini mereka berteman dan Disha melanjutkan untuk menelusuri unggahan-unggahan Rama. Belum terlalu jauh, matanya harus berhenti saat ada notifikasi masuk, berkedip cepat mendapati bahwa Rama telah mengomentari salah satu unggahan Disha, foto adegan lucu dari film The Avengers dimana saat situasi sedang tegang di atas sebuah kapal udara, seorang karakter figuran tokoh teknisi malah tengah bermain game dengan komputernya.

G. Rama Daniswara Mahaprana

Galaga Guy! Karakter favorit hahahaha

Disha tersenyum sambil membalas komentar tersebut.

Ayudisha Faizah

Baru tahu ada orang yang karakter favoritnya di The Avengers bukan salah satu Avengers melainkan tokoh figuran. Anti mainstream ya?

Disha tiba-tiba merasa bersemangat, tak sabar mendapat balasan dari Rama yang tanpa repot memperkenalkan diri terlebih dahulu namun memilih untuk berkomentar pada unggahan orang yang baru saja diajak berteman di Facebook.

Sepuluh detik.

Dua puluh detik.

Tiga puluh detik.

Satu menit.

60 detik terasa bagai satu jam menunggu balasan dan saat itu pula Disha merasa konyol. Kenapa dia berharap? Mungkin Rama hanya orang iseng dan tidak berniat untuk ngobrol bertukar komentar. Meninggalkan komputernya, Disha beranjak dari kursinya di dalam kamar, keluar untuk memasak mi instan. Minggu sore memang waktu yang tepat untuk menikmati semangkok mi rebus dengan telur.

“Yu, ntar malam bapak, ibu, Arik sama keluarganya mau datang.” Suara Farah, sepupu Disha terdengar dari ruang tengah ketika Disha baru mengambil panci dari gantungan. Dalam hati dia mengumpat, mulai merasa tidak nyaman. Disha paling benci dengan pertemuan keluarga besar, malam damai yang dia dambakan sepertinya akan terusik kali ini. Sudah lama dia ingin cari rumah kontrakan sendiri, tapi tabungan belum cukup, jadi mau tidak mau dia harus tinggal bersama Farah di rumah yang dibelikan orang tua Farah yang merupakan paman dan bibi Disha.

“Mereka semua? Naik apa dari Surabaya?” Dia menengok ke cewek berambut pendek yang tengah menonton berita di sebuah stasiun TV swasta.

“Pakai 2 mobil. Padahal Mbak Tari baru aja melahirkan. Gila anaknya baru umur tiga minggu udah diajak pergi-pergi. Aku udah bilang sama Mas Arik, nggak usah ikutan ke sini, biar bapak ibu aja, tapi tahu sendiri Mbak Tari, nggak bisa diam di rumah, pengennya keluar terus.”

“Nanti aku belikan nasi padang deh,” usul Disha sambil menyalakan kompor dan meletakkan panci berisi air di atasnya. Pikirnya yang penting ikut andil paling tidak menyediakan makanan, sebelum nanti dia bakal cari alasan untuk kabur dari pertemuan keluarga sepupunya itu. Bukannya sombong atau apa, Disha memang sangat tidak nyaman dengan basa-basi dengan keluarga besar, siapapun itu.

“Ide bagus!” Farah berdiri dari sofa di ruang tengah dan berjalan ke dapur. “Tapi jangan lupa, sambal-sambal dipisah, Mbak Tari kan masih menyusui, harus makan yang nggak pedas. Terus kalau Mas Arik sukanya kikil, jangan lupa minta dipotong-potong ya. Kalau bapak ibu sih rendang aja...” Sepupunya terus mengoceh sementara Disha hanya menghela napas sambil memasak mi instan favoritnya, mengangguk-angguk. Apapun asal terbebas dari kemungkinan ditanya ‘Kapan nikah?’ malam nanti.

“Kenapa kamu nggak keluar beli sekarang aja sih? Malah bikin mi instan. Nggak sehat, tahu. Rendah protein, serat, vitamin, mineral. Kamu mesti tahu ada risiko sindrom metabolik yang menyebabkan penyakit jantung, stroke. Satu kemasan mie instan tuh bisa mengandung sekitar 860 mg natrium. Padahal asupan natrium yang disarankan per hari tidak lebih dari 2.000 mg, lho!” 

Disha hanya memutar bola matanya mendengar sepupunya mengoceh tentang kesehatan. “Iya, iya, bu apoteker. Lain kali aku ngitung natriumnya, nggak sekarang, lagi pengen banget. Udah sana, nanti aku beliin nasi padangnya.”

Sekitar lima belas menit kemudian, aroma kuah mi instan menguar di udara saat Disha kembali masuk ke kamar, kabur dari ocehan Farah. Meletakkan mangkok di atas meja di depan komputer, mata Disha mengarah ke layar yang menunjukkan sebuah tanda notifikasi di Facebook-nya. Buru-buru duduk, diarahkan kursor untuk mengecek sebuah komentar yang datang dari si lelaki misterius yang baru saja berteman dengannya, dan apa yang tertulis berhasil membuat Disha tersenyum lagi.

G. Rama Daniswara Mahaprana

Aku nggak suka yang mainstream. Apalagi kalau film polanya itu-itu saja.

Lihat selengkapnya