Star-crossed

Liz Lavender
Chapter #3

CHAPTER III: The Amazing Spider-Man II (2014)

“Masih sedih?” Rama bertanya pada Disha yang berdiri di sampingnya sambil membuka pintu depan kantor yang lebih mirip seperti rumah daripada sebuah bangunan kantor.

“Iya. Sedih banget,” jawab Disha sedikit dramatis. Matanya masih merah setelah menangis di perjalanan.

“Udah dong, nanti aku pesan pizza buat obat sedih.” Rama tertawa kecil sementara Disha hanya terus cemberut.

Begitu pintu terbuka, terlihat ruangan penerimaan tamu didekorasi panel-panel hiasan dinding yang memamerkan hasil karya para arsitek di kantor itu dari tahun ke tahun. Bukan pertama kali Disha masuk ke kantor Rama, sering dia diajak oleh kekasihnya itu saat Rama harus menyelesaikan beberapa pekerjaan. Dan Disha tidak pernah keberatan. Baginya, menghabiskan waktu lebih lama dengan Rama dimanapun merupakan suatu kebahagiaan dan menit-menit yang berharga.

“Aku udah nangis dua kali nih, nggak yakin pizza bisa mengobati. Nonton dua kali, tetep aja masih nangis lagi. Sedih banget, slow motion waktu Gwen jatuh, sumpah udah bikin aku nangis. Padahal belum jatuh. Lihat kan cara si Peter mencoba menahan Gwen sama jaring laba-labanya tapi tetep aja nggak bisa nyelametin. Kesel banget, aku pikir versi film bakal dibuat beda sama versi komik. Biarlah hidup si Gwen.”

“Lagian kamu nggak nunggu aku buat nonton. Jadi nonton dua kali, sedih dua kali kan?” Rama menggelengkan kepala, masih sedikit tertawa.

Melewati ruang depan, mereka berjalan diantara meja-meja dengan maket-maket bangunan perumahan dan pertokoan. Disha masih ingat sekali dia menghabiskan waktu hampir setengah jam hanya untuk melihat maket-maket itu satu persatu karena terpesona dengan detail setiap komponen di dalamnya. Dan dia tak henti-henti bertanya pada Rama tentang maket-maket itu dan katalog sampel-sampel material yang tertata apik di rak almari yang bersandar di tembok.

“Ya habis aku kan mau nonton yang perdana. Kamu sih pakai acara ke luar kota segala, ya maaf deh aku nonton duluan.” Melirik ke arah taman kecil di bagian samping ruangan maket lewat jendela-jendela kaca yang tinggi di sisi tembok kanan, Disha mengikuti Rama menuju ke tangga untuk naik ke lantai dua. Taman kecil yang menurut Disha sangat keren saat dia mendengar dari Rama bahwa taman itu gunanya untuk para arsitek yang sedang membutuhkan udara segar dan inspirasi sambil mengobrol atau makan siang bersama. Suatu fasilitas yang tidak ada di tempat kerja Disha yang dari pagi hingga malam selalu padat jadwal, dipenuhi orang-orang sibuk yang selalu serius dan diiringi dengan suara bising mesin-mesin di lantai produksi.

“Atau kamunya yang nggak sabar.” Rama meledek, mengacak-acak rambut Disha lalu tertawa, senang sekali menggoda kekasihnya sendiri.

“Ramaaa!” Muka Disha tambah ditekuk lagi, tapi kakinya masih mengikuti langkah kaki Rama menaiki tangga yang di setiap undakannya juga berfungsi sebagai laci berisi buku-buku tentang arsitektur. Pernah ketika saat menemani Rama bekerja, Disha duduk-duduk di sana sambil melihat-lihat foto-foto menarik tentang bangunan rumah dari koleksi buku-buku itu.

Hingga sampai di lantai dua, Rama mengajak Disha untuk masuk ke ruangan studio dimana meja kerjanya berada, di antara empat meja kerja para arsitek junior lainnya. Ruangan yang terbilang sempit dibanding studio para arsitek senior.

“Tapi memang sih, aktingnya si Andrew Garfield bagus. Walaupun begitu, aku sih lebih prefer Peter Parker-nya Tobey Maguire.”

Disha melebarkan matanya sedikit begitu ia mendengar komentar Rama. “Nggak bisa! Peter-nya Andrew yang lebih bagus!” Menarik sebuah kursi, Disha duduk dan menyilangkan lengan di depan dadanya.

“"Karakter Peter Parker itu dibuat untuk mewakili pola dasar anak kutu buku SMA. Pemalu dan umumnya pecundang, tidak punya banyak teman dan bukan atlet. Di tahun 2002, Peter-nya Tobey Maguire punya semua kualitas ini. Dia diabaikan oleh cewek-cewek, merawat bibinya yang sudah tua dan dia tuh seorang keponakan yang baik sampai saat itu dia secara tidak sengaja membunuh pamannya.” Meletakkan tas selempang di atas mejanya, Rama menambahkan komentar lagi atas film yang baru saja mereka tonton di bioskop beberapa saat lalu, “Sementara Peter-nya Andrew Garfield pakai kacamata yang trendi, meluncur melalui aula sekolah dengan keren pakai skateboard. Dia membela anak-anak yang lebih lemah dan bahkan menarik perhatian Gwen Stacy. Meskipun dia agak diintimidasi, Garfield tampak lebih seperti kakak laki-laki keren, jadi nggak mengacu 100% pada esensi sejati Peter Parker.”

Tidak mau kalah, Disha menimpali, “Tapi Peter-nya Tobey setelah pakai kostum Spider-Man, di balik kostum dia masih si kutu buku, tapi kalau Peter-nya Andrew setelah pakai kostum dia berubah jadi versi yang lebih Spidey. Dan chemistry-nya! Waktu Peter Parker-nya Andrew Garfield dan Gwen Stacy-nya Emma Stone mulai mengenal lebih jauh, chemistry langsung terasa. Mereka kan kelihatan natural banget saling menggoda dan bercanda! Smooth banget. Hubungan mereka berhasil membumbui segalanya dan ceritanya jadi lebih menarik.”

Rama tersenyum, tentu saja Disha akan terus memprotes pendapatnya. Menyalakan komputer, dia kembali merespon kekasihnya, “Peter-nya Tobey cuma ingin membantu membuat perbedaan, dia mau memastikan bahwa jalanan adalah tempat yang lebih aman dan menggunakan kekuatannya untuk hal yang baik dan mulia. Nah, itu tujuan yang sehat. Tapi, Peter-nya Andrew, lebih ke balas dendam atas kematian pamannya. Dengan cara menjatuhkan setiap penjahat yang memiliki kemiripan sekecil apa pun dengan pembunuh Ben. Untungnya si reptil raksasa mulai mencuri perhatian dan membatalkan alur cerita balas dendam.”

“Ah udahlah, pokoknya menurutku Peter-nya Andrew lebih keren! Mendingan sekarang kamu pesen pizza-nya aja deh.” Disha menyerah, tidak ingin berdebat lebih panjang.

“Iya, iya.” Rama hanya tersenyum lagi, dalam hati dia senang telah memenangkan perdebatan kali ini, tapi di sisi lain dia juga tidak suka melihat Disha cemberut. “Kamu mau pesan topping apa?”

“Kita pesen pizza ukuran kecil aja 2 kotak ya, yang 1 full pepperoni, yang satu full jamur.”

Dengan acungan jempol, Rama mengkonfirmasi pesanan Disha. Gagang telepon di telinga, dia lalu menghubungi salah satu restoran pizza terkenal di Semarang.

“Bikin apa sih?” Disha beranjak dari kursinya begitu Rama meletakkan kembali gagang telepon dan menujukan konsentrasinya ke layar komputer. Di sana terlihat sebuah desain bangunan dengan detail gambar yang tidak ia mengerti sama sekali, menggunakan sebuah software program desain yang juga tak dia pahami.

“Alternatif denah rumah pesenan salah satu pejabat di pemerintah kota.”

Memiringkan kepala, Disha mencoba memahami garis-garis di gambar. “Kelihatannya mewah. Mau bangun rumah di mana?”

“Daerah atas. Rencananya dia mau buat seperti kastil-kastil era Victoria.”

Lihat selengkapnya