Merasa hebat akan dunia bisa jadi merupakan suatu tindakan intimidasi pada individu yang maunya menang sendiri. Mereka itu sama. Sama-sama bukan manusia yang patut dijadikan referensi terbaik dihadapan insan lain dengan atribut kepolosan tingkat tinggi. Jangankan menjadi baik, congkak membuat pikiran tertutupi oleh sebagian besar rasa takut akan menjadi tidak perfeksionis. Hingga tetap melihat ke bawah dan menutup celah-celah menjadi orang baik. Pemikiran menyempit, pandangan sinis untuk orang lain, sampai-sampai selektif untuk bercengkerama dan menarik-ulur komunikasi dengan suatu komunitas.
Dan sebenarnya manusia itu tidak pantas menerima sifat yang tabu itu. Apalah yang dimiliki seorang manusia. Memang mereka punya segumpalan harta berkilau sejauh mata memandang, tahta yang menjulang setinggi langit, sampai kata-kata dengan kemungkinan bisa menilai titik-titik keunikan suatu individu dibawahnya. Bukankah manusia tidak punya apa-apa? Mau setinggi apapun mereka, sebesar apapun bisep dan trisepnya, seahli-ahlinya menjangkau pengetahuan di atas langit, tetap saja masih dianggap debu oleh langit angkasa. Helai demi helai selimut angkasa yang menutupi sendu senyap jeda kosong diantara jajaran bintang gemintang.
Tersadar dari koma sesaat selama sepuluh menit, ia meraba sekitar dan menyapu pandangan kelabu ditutupi asap Trinitrotoluena yang beranak pinak menggelayuti setiap gantungan oksigen ghaib. Beresiko sekali bergantung dengan molekul yang tak kasat mata itu. Pria itu mengumpulkan segala tenaga tersisa di raga. Apapun yang terjadi, ia harus keluar dari sini. Lantai marmer yang mulai bercerai berai meninggalkan tatanan format seharusnya berkeliling disekitar raganya. Ingatan itu menyiksanya untuk kembali mengangkat jasadnya yang masih aktif dengan kedua tangan gagah hasil latihan porsi tentara. Pandangannya sedikit terpendar. Tangannya merasa hangat dengan segumpalan cairan.
Darah? Apa-apaan ini?
Kenapa bisa begini?
Ia kembali melihat penampakan dirinya sendiri dari perut ke kaki. Rompi anti peluru, celana jeans, sepatu skate hitam-putih dengan hiasan debu menunjukkan mereka sudah lusuh. Nampak benturan keras di kepala merusak memori temporer dari penglihatan batinnya. Berjuang untuk bangkit tidak mudah. Setidaknya dalam situasi yang tidak menguntungkan seperti ini. Terdapat teriakan bertalu-talu dari pendengarannya dari pandangan mata yang jauh. Kerumunan insan dengan jarak yang cukup berjauhan lalu lalang disana. Entah apa yang terjadi.
Seketika tersentak tenaga dadakan untuk berdiri melalui jangkauan tangan ke meja di samping badannya. Pastilah terseok-seok setelah shock-therapy yang mungkin saja dialami sebelumnya. Menyusuri ruangan yang tidak terlalu besar, namun dengan lubang yang besar pada sekat bata menuju ruangan besar di baliknya. Tak ada satu pun manusia yang bisa diajak bicara saat ini. Semua tergeletak di bawah tanpa nyawa berlumuran darah tercecer di dekat mereka. Sekitaran tiga puluhan orang yang berbaring melepas nyawa di depannya. Tak sempat lagi menerka-nerka apa yang terjadi. Ia tetap gigih terseok-seok langkah pendeknya mengeluarkan raganya keluar dari gedung ini.
Sekilas ia menyipitkan mata terkena pantulan plastik identitas diri dari satu orang yang tergeletak. Tertarik untuk menebak apa yang terjadi, mungkin bisa jadi itulah petunjuknya. Tulisan samar-samar: "Anita Dewi - Customer Service [Bank Central Indonesia]" menjawab semuanya. Kegiatan memegangi kepala masih terjadi dan juga memekikkan telinga sambilan ingatan itu terputar ulang di hadapannya.
***
"Jek, kapan mau meluncur?"