Star Therapy

Azizul Qodri
Chapter #4

Dalam Teratai yang Tungkai

Pesakitan. Itulah yang menimpa kuat-kuat dan menjadi beban dipunggung Jordy yang masih saja tergeletak, namun masih bernyawa. Entah ini beruntung atau sial baginya. Mungkin bisa jadi bernilai dua elemen itu. Setali cukup dua uang saja. Sudah cukuplah setidaknya dijadikan pangan untuk esok dan lusa. Yah, begitulah mungkin nyawa yang ditunda untuk diangkat masih bernilai ambigu di mata Tuhan. Masih jadi potensi yang diselimuti remah-remah tanah hasil dari hempasan berbagai objek di atasnya. Apakah Jordy menganggap ia masih ada kesempatan untuk balik kanan maju jalan ke tempat terbaik, atau hanya penantian tertunda untuk rasa sakit yang tiada henti?

Sebusuk-busuknya perangai seseorang, jika masih belum meregang nyawa tetap saja hasil akhir bisa jadi berubah. Layaknya perebutan gelar juara di liga-liga termasyhur Eropa yang sangat penting bagi pecintanya. Selama masih ada partai tanding, selama itu pula masih bisa dikebut dengan sistem kebut semalam. Jordy bisa jadi pula dapat tiket emas untuk dinaikkan derajatnya dari kubangan lumpur tak berdasar. Dan bisa jadi jua ia menghanguskan tiket yang kemudian membawanya menghabiskan waktu ke jurang kehinaan paling dalam.

Lembaga Permasyarakatan Nusa Kambangan menjadi magnet tolakan untuk orang-orang normal yang punya seribu akal sehat. Akhir karir dari perampok internasional itu digantungkan pada masa hukuman hasil vonis hakim. Tak ada yang mau mendukungnya. Meski pengacara bayaran pemerintah yang harusnya membelanya, menyatakan secara tak langsung kesan mahap saja membantunya. Perampok itu kejam, punya masa depan suram, tak pandang bulu buat menikam, juga tak lupa seluruh rencana memanfaatkan ia paham. Meski, belum tentu barang satu atau dua deskripsi tersebut dihantarkan, benar adanya.

Sebagai Kepala Satuan Reserse Kriminal, Arjandri Hamim dipercaya oleh Tartan untuk berbagi beban dalam menyelesaikan kasus ini. Ia tak puas hanya dengan mengandalkan vonis hakim untuk menyudahi kasus internasional yang harusnya tak sesimpel itu. Bukan sekedar ketok palu dan vonis dijatuhkan saja. Tapi, juga perlu selidik secara menyeluruh dalang yang mungkin berada dibalik topeng mereka. Pion tak hanya bergerak sendirinya, ia membutuhkan koordinasi khusus menteri dan raja. Perlahan, Tartan juga menyelaraskan langkah bidaknya untuk menerapkan serangan balasan.

Pertanyaannya adalah mengapa harus ada ledakan besar yang menyergap negara dengan banyak pulau itu?

Belum sampai ke akarnya, sudah ada lagi langkah pihak lawan yang menangkap ketakutan bukan hanya warga sekitar, tapi juga seluruh mata warga negara dihadapan suatu kabar teror penuh ancaman. Ia melengkapi kebingungan pihak berwajib yang tengah kesana-kemari menyusuri benang merah peneror dengan melemparkan teror baru di media televisi. Melalui acara berita santai di pagi hari ditambah secangkir kopi hangat disertai argumen pemirsa yang lalu-lalang ditanyai pendapat soal kabar terkini dari MDN News.

Salah satu penelpon bersembunyi dibalik efek suara dua gelombang yang memancarkan aura misterius. Ini pernah dulu terjadi di Korea Selatan yang disiarkan secara langsung dengan isian perkataan teror terhadap perusahaan radio ternama dan melambungkan reputasi radio tersebut. Tukang teror itu menyiasati permintaan maaf dari pemimpin negara paling tinggi dengan sandera korban diatas jembatan yang sudah diledakkan antara dua ujungnya.

Untuk sekarang, sang pembawa berita itu nampak tegang dan pucat pasi dihampiri suara yang tak jelas sumbernya. Ia bukan pencari tantangan. Laki-laki itu nampak tak mencerminkan kepribadian orang yang berkecimpung di dunia jurnalistik dilihat dari bungkus mukanya. Keringat tak karuan kesana-kemari mengiringi kata demi kata dilontarkan efek suara yang menyamarkan keasliannya. Serasa sudah tak kuat lagi, ia tak bisa menahan rasa gemetar guncangan gempa 70 scala richter dari dalam dirinya yang harusnya disembunyikan selama tombol on-air menyala.

Orang-orang dibalik layar paham hal itu dan menutup adegan pertama dengan deretan pariwara guna menenangkan apa yang terjadi. Siapa juga yang tahan dengan telepon teror dadakan tak ada angin ataupun hujan menyambangi pendengaran polos dengan kebiasaan tak dibumbui butiran tantangan.

“Ya, berikut ini dengan Pak Bento. Halo, pak? Bisa disebutkan beberapa patah kata untuk kejadian terkini kali ini?”

“Ya, haloo dengan Bento disini dan saya akan meledakkan bundaran hotel Indonesia siang ini jam 12.00!”

Seketika ruangan on-air MDN News mendapat terapi kejut yang luar biasa. Kumpulan staff belakang layar meruncingkan lagi titik fokus mereka yang terasa luntur akibat kebiasaan. Begitu juga pastinya dengan Lukman.

“Maaf, pak…. Bisa diperjelas lagi pernyataannya, pak?”

“Kurang jelas?! Saya akan meledakkan bundaran hotel Indonesia siang ini jam 12.00!!”

Lihat selengkapnya