Gadis berambut hitam itu hanya memandang dari kejauhan yang masih bisa di tolerir oleh penglihatan. Dengan segenap rasa jengkel.
"Apa hebatnya dia?" Gerutunya sendirian.
Segala gerakan sang kapten basket pun sangat sempurna di siang hari yang terik ini. Melenggak melewati beberapa penjaga ring, lalu memasukkan bola tepat ke sasaran. Poin pun berulang kali bertambah karenanya.
Mata teduh itu selalu melirik kearah si gadis, menyerukan, “yes!” setiap kali mencetak poin. Namun, wajah manisnya—yang seolah tak luntur terbakar panas matahari hanya memajukan bibir sambil menyilangkan tangan di dada. Memalingkan pandangannya dari pemain bernomor punggung ’84.’ Walau begitu, si kapten, Wisnu sesekali meniupkan kecup dari jauh, tentu saja, ini untuk para cewek yang setia memberinya teriakan—semangat.
“Go Wisnu!”
“Go Wisnu!”
Teriakan itu seperti menjengkelkan ditelinga Shelly yang berdiri tidak jauh dari kumpulan para cewek itu. “Ditengah panas terik menjelang sore, mau-maunya teriak buat si penyu silly itu!” dengusan kesal berulang kali terdengar oleh Lana yang berada disebelahnya.
“Lo sendiri? Kenapa mau ada di tengah lapangan ini?”
“Kalo enggak dia yang paksa, males gue! Mendingan gue pulang, makan siang terus tidur. Tadi gue bangun sebelum subuh.” Jawabnya kesal kedua tangannya ditaruh dipinggang.
“Jadi ikut penyisihan lagi?”
“Jadi.”
Sekali lagi teriakan memekakkan telinga terdengar dari gerombolan para cewek diiringi tepuk tangan. Membuat Lana dan Shelly, kompak menutup telinga dengan kedua tangannya.
“Hebat, Kak Wisnu!”
Lana bergegas meninggalkan lapangan yang diikuti Shelly, dengan langkah cepatnya agar bisa mensejajari sahabatnya itu.
Sang kapten yang sedang berlaga, hanya bisa memandangi kepergian gadis—yang sebenarnya dia suka.
Wisnu, seperti mengguncang dunia Shelly. Siang ini cowok berkulit sawo matang itu meminta Shelly menemaninya tanding basket antar sekolah. Kebetulan diselenggarakan di sekolah sendiri. Tidak ada sebab yang lain, sejak satu kelas di kelas tiga, sepertinya hari-hari Wisnu tidak bisa terlepas dari Shelly.
Walau sering berteriak, “Bawel!” namun, cowok berkulit sawo matang itu hanya ada Shelly di hari-harinya dalam kegiatan apa pun. Seperti siang ini, mendampinginya tanding basket. Walau, ditolak dan enggan, seribu bujukan pun dilancarkan oleh Wisnu.
Bujuk rayu untuk cewek yang sedang menolak habis-habisan adalah; “pulangnya gue beliin milkshake coklat, dobel! Ok?"
Coklat bagi Shelly adalah hal yang sangat menyenangkan, selain es krim. Dan cowok yang sedang berdiri menaikkan kedua alisnya sangat mengerti semua kesukaan Shelly.
“Iya deh….” Jawab suara mirip penyanyi jazz itu dengan sangat terpaksa. Seringai kemenangan pun terlihat di wajah cowok bernama lengkap Wisnu Wardana itu.
Sekilas dalam pandangan Sakti, sahabatnya Wisnu sejak kecil, dia sedang jatuh cinta, walau berulang kali tidak mengakuinya. Sementara, Wisnu seperti menemukan 'mainan' baru yaitu Shelly, yang dengan rela diminta Wisnu menemani ke mana saja.
**
Hari melelahkan menuju ujian akhir seakan tidak pernah berhenti mendera Shelly, Wisnu, Sakti dan juga Lana.
“Shell, bukannya hasil ujian jalur khusus udah ada pengumuman siapa aja yang lolos?”
Tanya Lana di waktu istirahat, menghampiri Shelly ketika baru terbangun dari tidur singkatnya. Dua sahabat ini duduk di bangku paling depan, mepet tembok.
“Udah ….”
Jawab Shelly sambil menggeliat meluruskan badan yang sedikit pegal, tertidur sambil membungkuk. Lalu terdiam, sementara pandangan Lana tidak lepas, menunggu jawaban.
“Terus?”
Sahabatnya malah melamun, “Shell!” sentak Lana, berhasil membangunkan Shelly dari lamunannya. Mereka hanya bertatapan. Lalu, Shelly mengeluarkan amplop yang dia simpan di tasnya, masih dalam keadaan tertutup, mengacungkan ke depan Lana.
“Kita lihat apa hasilnya.”
“Jadi, lo belum tahu?”
“Belum,” jawab cewek berambut hitam itu sambil menunduk, raut mukanya berubah sedih. “Semua mimpi gue tergantung dari isi yang ada di amplop ini. Kandas atau lanjut.”
“Shell, lo bisa pilih fakultas di Jakarta, ‘kan?”
“Tapi, lewat jalur khusus ini, gue bisa dapet beasiswa, paling enggak bebas dari uang gedung sekian juta.”
“Iya juga si …, buka aja, gimana? Jadi kita tahu hasilnya.”