"Shell! Ayo dong!"
Rengekan Lidia, sahabatnya seperti lebih memekakkan telinga siang ini. Mengajak Shelly untuk mengikuti acara bakti sosial donor darah yang diadakan oleh fakultas kedokteran demi mendekati cowok yang Lidia suka.
Gadis berambut hitam itu jengkel sebenarnya, permintaan Lidia tidak bisa di tolak lantaran sahabatnya itu berjasa, salah satunya, menawarkan tempat tinggal lebih layak tanpa perlu membayar uang sewa.
Lidia, anak satu-satunya, ayahnya adalah direktur utama dari beberapa perusahaan di Jakarta, juga alumni universitas gajah merah. Gadis ini pun seperti diminta mewarisi tradisi keluarga untuk masuk universitas yang sama seperti ayah, dan ibunya.
Shelly terperanjat Lidia menarik tangannya tiba-tiba ketika dia sedang memandangi telepon genggamnya yang sedang bergetar, dilihat dilayarnya satu panggilan tidak terjawab, Wisnu. Dan satu pesan masuk, Wisnu. Dia memasukkan telepon genggamnya di saku celana.
"Iya, iya, Lid. Ngga usah tarik-tarik, gue bisa sendiri ..." ujar Shelly, memutar bola matanya.
"Ya udah, ayo Shell ...."
Shelly mendaftar sendiri donor darahnya, melalui beberapa pemeriksaan yang harus dijalani. Lidia pun sibuk mencari cowok kesukaannya itu. Entah kemana.
Kegiatan di laksanakan di aula olahraga, ada beberapa ranjang lipat berjejer, yang sudah di tempati oleh para pendonor, ada beberapa yang masih kosong.
Shelly menelan salivanya sambil berjalan melalui beberapa ranjang lipat, melihat beberapa pendonor yang sudah berhasil mengalirkan darah di kantung penampungan darah. Napasnya lebih berat dari sebelumnya.
Seorang petugas memberinya keterangan nomor donor, dia masih merasakan getaran telepon genggam disakunya dan masih dari nama yang sama, Wisnu. Namun tidak kuasa menjawabnya. Berdiri saja sudah serasa melayang.
"Shelly Indra!" Panggil seorang petugas, membuatnya mengalihkan pandangan.
Tanpa berbicara Shelly bergegas ke sumber suara yang memanggilnya. Petugas itu mempersilakannya duduk di tempat yang sudah disediakan. "Shelly Indra, kan? Perempuan. Usia dua puluh tahun. Benar, ya?" Petugas itu bertanya menegaskan.
"Iya." Shelly masih terduduk mematung ditempat yang disediakan, mulai tegang dan takut dengan alat-alat yang disediakan, Shelly seperti tidak mendengar penjelasan dari petugas perempuan yang ada didepannya.
"Tiduran aja, Mba!" Shelly mengangguk dan mencoba untuk tenang, mulai gusar melihat jarum. Jantungnya mulai berdebar tidak karuan. Tangannya gemetar, salah satu petugas jangkung yang bertugas memantau melihat gelagat Shelly.
"Stop!" Petugas lelaki itu bergegas mendekat ke arah Shelly, "ngga lihat dia gemeteran? Ngga apa-apa, gue aja tangani," tukasnya.
Petugas perempuan itu mengangsurkan dokumen ke petugas jangkung, secepat kilat, tanpa terasa sakit, dicabutnya jarum yang sudah tertancap di tangan Shelly, dia masih gemetar, matanya tertutup.
Si petugas menegaskan pandangannya, melihat sekali lagi catatan pasien yang ada di tangannya.
"Shell..." Matanya masih terpejam, mulutnya sesekali berdesis kesakitan.
"Shelly Indra? Hei!" Petugas itu menggenggam tangan Shelly. "Udah gue cabut jarumnya, buka matanya, ok?" kata petugas itu. Shelly mengingat genggamannya seperti tangan, Wisnu.
Shelly mengerjapkan matanya, melihat petugas jangkung itu tersenyum, sejurus Shelly terduduk melihatnya. Dia mencoba berdiri cepat tapi pandangannya kabur membuatnya terhuyung, petugas itu memegang Shelly.
"Ngga apa-apa, duduk aja dulu. Gue ambilin minum sebentar." Gadis bercelana panjang itu mengangguk, tidak lama petugas itu kembali ke ranjang tempat Shelly berada, menyodorkan minuman susu dikotak karton rasa coklat.
"Terima kasih. Maaf yang tadi."
"Ngga apa-apa, udah biasa," petugas itu tersenyum, "lo ngga inget gue?"
"Ingat," dia menjawab asal, "tadi mau tanya takut salah. Lo yang suka datang ke kedai di kopi deket UGM itu, kan?"
"Iya. Bintang." Petugas jangkung itu menyodorkan tangannya, Shelly menyambutnya dan tersenyum datar, dia masih mengedarkan pandangannya, menutupi gugup dengan sekitarnya yang penuh dengan darah disana-sini. "Masih takut, Shell?"
"Masih." masih menjawab datar sambil menghirup susu kotak yang diberi Bintang tadi.
"Keluar dari sini?" Shelly hanya mengangguk sambil berdiri mengikuti Bintang.
Bintang berjalan di depan, Shelly melihat punggung pria jangkung itu, sambil terus menghirup susu coklat kotaknya, sesekali ia hanya menggigit sedotannya, seperti membahas pria itu dalam benaknya.
Bintang sedikit seperti Wisnu, lebih tinggi sedikit, yang membedakan kulitnya yang bersih, topi yang selalu di pakai terbalik, dan kemampuan dia berbaur, selama berjalan menyusuri aula, beberapa mahasiswa menyapanya ramah. Bintang menyilakan Shelly duduk di tangga teras aula, yang kini masih di penuhi oleh calon pendonor.
"Lo alumni di sini?" Tanya Shelly.
"Iya. Ternyata bener lo kuliah di sini?"
"Iya, semester empat, psikologi."
"Alumni, kerja sekarang?"
"Sambil, kerja, sama ambil spesialisasi."
"Sambil?" Shelly menautkan alisnya.
Bintang tersenyum gigi ginsulnya terlihat jelas, "Gue lagi ambil spesialisasi bedah."
"Bedah? Lo dokter?"
"Yes i am the doctor!"