“Ya ampun, Shell! Lo dari mana?”
Lidia, terkejut membuka pintu untuk sahabat—satu rumahnya, malam sudah cukup larut. Shelly tidak enak melihat raut wajah—khawatir gadis itu. “Kenapa dihubungi enggak bisa?” desaknya, namun kali ini sambil berbisik.
“Duh …. Sorry, ponsel gue habis batere.” Suara gadis yang baru saja ambang pintu—lalu dicegat oleh teman—satu rumahnya itu panik ketika mengeluarkan ponsel monofoniknya dari saku celana.
“Sstt ….” Lidia menempel telunjuk ke bibirnya. Lalu menarik tangan Shelly ke kamar, hingga dirinya tergesa melepas alas kaki yang digunakan.
Bergegas menyalakan lampu, lalu bersama duduk di pinggir kasur tanpa dipan di lantai. “Ada nyokap gue.” Katanya kali ini tidak berbisik tetapi suaranya pelan.
Biasanya jika berkunjung, mama Lidia akan tidur di kamar dekat dengan ruang makan. Kamar dua sahabat ini, dekat dengan ruang tamu. Lidia mendapat kamar utama, dekat dengan pintu masuk, kamar Shelly berada persis di sebelahnya.
“Ya ampun, sorry, Lid. Gue enggak tahu.”
“Enggak apa-apa. Gue aja tadi baru pulang abis magrib.”
Shelly beranjak, menaruh tas punggungnya di meja belajar—yang ada dekat jendela, menutup tirai—berwarna salmon polos. Namun telinga gadis itu memasang—mendengar perkataan Lidia.
“Abis dari mana?” tanyanya, sambil mengambil pencatu daya untuk ponselnya lalu menyambungkan ke listrik.
“Pergi. Sama Dito.”
“Hah? Lo jadian?” Shelly agak terkejut memborbardir Lidia dengan pertanyaan. Duduk kembali disebelah sahabatnya itu. Lidia mengangguk sambil tersenyum.
“Ceritain lo jadian kapan. Gue sambil ganti baju!”
Shelly beranjak menuju lemari kecil satu pintu miliknya. Dengan Lidia memutar badan mengikuti gerakan sahabatnya itu. Namun, Lidia malah balik bertanya sebelum bercerita.
“Lo sendiri? Tadi lo anterin Wisnu balik ke Jakarta kan?”
“Yup!” jawabnya singkat sambil memakai kaos pilihannya untuk tidur malam ini.
“Terus? Lo pergi sama siapa sampe malam begini? Enggak mungkin kan sama Wisnu?”
“Kok lo malah tanya balik belum cerita.”
“Haduh …. Kayaknya cerita lo yang paling penting. Udah, sore kemaren lo pergi, enggak balik, abis itu, tadi pergi lagi pagi-pagi. Untung ada si Mbak Nah yang temenin gue.”
“Ya ampun …. Sorry ….” Shelly memeluk sahabatnya itu dengan sayang.
“Kan gue kangen berattt ….” Rajuknya. “Ayo dong cerita!” pintanya sekali lagi.
“Lo duluan.” Sahut Shelly saat melerai dekapannya. Lalu menopang kepala setengah merebah di kasur.
Malam sepertinya belum menaklukan dua sahabat—yang saling melepas rindu—berbagi cerita—tawa serta simpati. Hingga dini hari, karena lambung yang menggelitik, mereka sepakat untuk menyeduh mi instant sekadar menghangatkan perut, juga membuat minuman hangat membasahi tenggorokan di sela tawa.
Ditto—anak kedokteran itu ternyata kenal baik dengan Bintang. Entah, cowok bule itu seperti dikenal luas dikampusnya. Lidia mengenal ketika dia mengantar Shelly setelah donor darah.
“Dia baik, lho!” seru Lidia, “kadang suka ajarin adik-adik kelasnya macam Dito gitu yang selevel sama kita.”
“Pacarnya? Banyak?” Shelly sedikit menyembunyikan kegugupan dengan menenggak minuman hangat di cangkir bergambar Mario Bross.
“Bintang? Enggak …. Dia paling enggak pernah pacaran. Kata Dito begitu. Denger dari temen-temen yang selevel sama Bintang. Si Bule sibuk nge-DJ.”
“Masa?” Tak percaya rasanya, dadanya bergemuruh juga, mengingat perlakuan Bintang tadi. Senyum pun terulas di wajah. Ada rasa lega juga, Bintang—bebas dari kerumunan cewek. Tidak perlu ragu.
Lidia menyeruput habis mi di cup plastik, mereguknya kuahnya hingga habis.
“Terus? Lo jadian sama siapa?”
Hampir tersedak, mendengar pertanyaan—yang kontan keluar dari mulut sahabatnya itu. “Kok gue, lo duluan.”
“Ya, udah ….” Lidia menyerah, memulai ceritanya dengan Dito, si mahasiswa kedokteran. Anak yang biasa, namun memang menarik. Belum pernah berkenalan dengan Shelly. Waktu mau donor darah, Lidia kabur duluan mencari cowok—yang masih berstatus incaran itu.
"Terus, lo jadian sama siapa?" tanya Lidya, mengulang. Setelah bercerita panjang—lebar—dengan semangat membara, tentang hubungannya dengan Dito. Dari awal perkenalan, gadis mungil itu memanggilnya "pujaan hati."
Lantas, waktu Shelly bertemu Bintang untuk pertama kalinya, dia hanya kagum dengan senyum cowok itu. Hampir setiap pagi setor muka di kedai kopi sederhana tempat kerja sampingannya. Lalu bertemu ketika donor darah—dari kagum menjadi simpatik. Cowok itu menunjukkan rasa sukanya juga. Bukannya senang, Shelly malah ingin mundur. Entah, karena mengharapkan Wisnu atau …. Memang hatinya tidak tersisa untuk siapa pun juga selain …. Wisnu Wardhana!
"Entahlah ...." Shelly nelangsa. Harusnya dia bahagia, jadian sama salah satu cowok keren dikampus. Harusnya tersenyum, menyampaikan kabar gembira. Atau harusnya tidak berhenti bercerita dengan semangat, menyampaikan kabar ini ke Lidya—teman—seperti saudara.