Pengirim : wisnu.wardana@yahoo.com
Penerima: shelly_04@yahoo.com
Dear Shelly,
Just wondered, are you okay?
Thank s udah nemenin my Jogjas escape beberapa hari kemarin.
Dan, sorry enggak bisa jawab semua perasaan dan pertanyaan elo kemarin.
At least, jawab sms dan angkat telepon gue!
Ya, di balas. Cuma, bisa kan lebih sering. Hehe .
Wisnu tersenyum semringah mengingat akhir pekan di Jogja kemarin. Bukan hari yang sering dilaluiinya, apa lagi sekarang. Harus berjauhan dari Shelly, menghabiskan waktu berdua dengan gadis itusuatu yang langka.
Hari terbaik. Lalu, timbul pertanyaan, mengapa hari terbaik dalam hidup kita hanya terjadi sebentar. Tidak sampai hitungan hari, mungkin hanya hitungan jam. Shelly bukan gadis—yang selalu ramah, apalagi bicara dengan Wisnu, selalu ketus. Namun, bagaimana pun ia merindukannya, sangat. Teringat hari istimewanya dulu waktu SMA. Walau keesokan harinya harus diopname, cowokpenyu itu rela.
Dua hari berturut-turut bersama dengan Shelly yang berubah menjadi ramah, seperti kemarin. Gadis itu seperti tempat teduh yang melindunginya dari kepanasan raja siang yang membakar tubuh. Lalu, menjadi penghangat di kala angin pantai ribut meniup.
"Kan ada Danisa." Sakti tiba-tiba menangkap wajah Wisnu yang murung. Lagian dari Jogja enggak bawa oleh-oleh. Sakti melahap sarapannya yang tadi dia bawa dari rumah, roti isi lengkap dengan sayuran. Cowok kekar itu memang sangat menjaga berat badan dan juga bentuk tubuhnya.
Wisnu menghela napas. "Oleh-oleh gue baju kotor, mau?" wajahnya berubah jengkel memandang Sakti, dia memohon pengertian, namun seringkali sohibnya ini acuh.
"Gue cuciin, bayar, sekilo noban!"
"Matre banget!"
"Biarin!" Sakti acuh melihat sekelilingnya, sepi di kantin fakultas. Eh, sebenernya lo ama Danisa gimana si? Kali ini meminum air mineralnya.
Wisnu tertegun, memikirkan perkataan ucapan sahabat sejak kecilnya itu. Tetapi kemudian, cowok—penyu itu berpikir lagi, bukankah Danisa hanya sekadar lewat. Gadis itu memang mirip Shelly. Suaranya, gejolak, energinya gelak tawa kecuali wajah dan rambutnya hitam legam, ikal dan selalu terurai.
"Wisnu! Sakti!" sapa gadis itu, melambai dari kejauhan. Namun suara dan sosoknya jelas di mata dan pendengaran.
"Baru di omongin." Gumam Sakti.
Gadis itu seperti berlari kecil menghampiri melambaikan tangan di atas kepala. "Hai!" Langkahnya terhenti di penjaja minuman buah, dari kejauhan dia menunjuk tempat berjualan jus, lalu tanpa melepas pandangan dari dua sahabat itu, gadis ceria itu memberi kode di mulutnya tanpa bersuara. "Mau?"
Sakti dan Wisnu menggeleng, walau begitu, Danisa jelas melihat. Dia membulatkan tangan dengan menyatukan telunjuk dan jempolnya. Lalu, gadis melanjutkan langkah besarnya, berjalan sambil mendekat ke arah Wisnu dan Sakti duduk. Ada beberapa orang gadis—glamor terkenal di kampus itu, memicingkan matanya begitu Danisa melintas. Namun, gadis berambut panjang itu acuh.
"Eh, yang dari Jogja, mana oleh-olehnya?" tanyanya, sambl mengambil tempat di samping Wisnu.
"Iya kan. Gue juga tadi nanya in oleh-oleh." Sakti berkata.
"Jangan bilang baju kotor!" sinis Danisa, disambut tawa Sakti.
"Adanya baju kotor, gimana?"
"Buat elo aja! Danisa mendelik, menyeruput jus alpukat kesukaannya."
"Lo enggak sarapan?" tanya Wisnu ke Danisa. Cowok itubaru selesai menandaskan sepiring nasi goreng kesukaannyabuatan Ibu pemilik kantin fakultas inimemang paling enak menurutnya.
"Ciyee perhatian!" goda Sakti.
"Kan gue nanya doang." Wisnu jahil menyeruput jus punya Danisa yang tergeletak di meja.
"Wisnu!!!" protes gadis itu—suaranya hampir samar karena kantin yang tiba-tiba riuh, waktu menunjukkan sudah waktunya mata kuliah dimulai. Tidak heran, semua mahasiswa yang sedang duduk bergegas menuju kelas masing-masing.
Di kelas, Wisnu melamun memikirkan pertanyaan Sakti tadi seperti tidak mendengar apa yang dibicarakan oleh dosen di depan kelas. Sambil mencorat-coret sesuatu di buku tentangmata kuliah hari itu. Namun, pikirannya tidak ada di tempat.
Mengingat kejadian demi kejadian beberapa hari lalu. Menelaah kata-katanya ketika gadis itu menyampaikan sesuatu yang tidak bisa ia jawab. Konyol! Atau pengecut?
Beraninya hanya bersembunyi dari yang namanya perasaan hanya bisa berharap—nanti akan ada waktu yang tepat untuk Shelly. Dan tentu saja dirinya. "Semoga, kuliah ini cepat selesai." Wisnu berkata dalam hatinya. Tangannya tidak berhenti menggores pena, bermaksud mengungkap isi hati, tetapi ....
"Kamu!" Wisnu tersentak suara lantang lelaki yang ada di depan kelas.
"Ya, Pak? Cowok itu menyahut serba salah."
"Ya kamu! Coba jelaskan bagaimana tadi saya terangkan tentang fenomena bola salju?"