"Sebenernya lo sayang sama siapa, Nuk?"
Mata Sakti lurus menatap jalan yang masih benderang, benda angkasa paling terang di semesta, masih pongah bersinar. Cahayanya siang ini bagai membakar mata, dan hati Sakti. Walau berada di dalam kendaraan bermesin yang harusnya cukup nyaman. Dimanjakan penyejuk ruangan.
Bertanya soal perasaan ke Wisnu tentu saja tidak mudah, pasti sahabatnya ini akan menyangkal.
"Enggak tahu! Penting?"
Sohibnya itu sedikit kesal, bersahabat sejak kecil bukannya tanpa konflik. Nyatanya, kadang mereka bagai anak yang berebut mainan, atau jelas saling melayangkan bogem. Walau akhirnya, tidak bisa saling berdiam lebih dari seharian.
Telapak tangan Sakti menggenggam setir dengan kuat, lalu menarik rem tangan mendadak begitu lampu tanda lalu lintas menyala merah. Hingga menyentak badan Wisnu, wajahnya hampir terbentur dasbor.
"Pelan-pelan, gila! Enggak lihat lampu merah?" Setengah kesal cowok—penyu itu terkejut, mengelus wajahnya.
"Enggak!" Ketusnya.
"Galak bener."
"Biarin!"
Wisnu menarik napas panjang. "Lo pikir buat apa gue ngotot pengen cepet lulus? Semester kemarin gue ambil semester pendek. Demi menyusul nilai gue. Terus, libur kemarin, gue habisin buat belajar dan belajar. Lo pikir buat apa?"
"Gue pikir di suruh bokap lo, Nyet!"
Sakti memindahkan gigi dengan kasar, banting setir ke jalan bebas hambatan, berharap cepat sampai rumah, mengantar sohib—bangke-nya ini. Jengkel.
Sebenarnya, bukan urusan dia memang, tetapi rasanya memang perlu diluruskan soal rasa dan rasa ini. "Apaan si?" Ketusnya sendirian. "Jadi ngurusin orang." Tentu saja, tidak terdengar, karena hanya terucap di hati. Bukannya enggak terganggu, kadang cowok—penyu itu uring-uringan, jika salah satu pesan singkatnya tidak di balas. Atau deringan teleponnya tidak di jawab dari sekian banyak. Bahkan surel yang membanjiri kotak masuk, namun gadis itu tidak menggubrisnya.
"Di suruh bokap juga. Di pikiran gue—paling enggak waktu S2 gue udah tentuin hati dan perasaan gue."
"Ke siapa?"
Wisnu mengedikkan bahu, "yang jelas, gue udah tahu, dan harusnya dari dulu gue bilang."
"Lo kan lemot. Dari dulu juga udah jelas, apa lagi waktu Hans deketin Shelly. Lo cemburu, enggak sadar, 'kan?"
"Bukan cemburu. Hans kan nerd, ngapain dia milih Hans. Padahal kan Shelly enggak jelek-jelek banget."
"Eh, biar kata enggak jelek yang penting jelas, Men! Lo ganteng tapi pilihan lo enggak jelas, ngapain! Ke laut aja!"
Wisnu mendengkus, melipat tangannya di dada. "Lagian, itu urusan gue."
"Ok, urusan lo. Jadi, jangan uring-uringan! Bapak—yang—sudah—dewasa."
Mesin mobil di matikan begitu sampai di rumah berpagar hitam tinggi. "Turun lo."
"Makasih!" Kata Wisnu ketus, membuka pintu, lalu bergegas turun sedikit dongkol, hanya saja apa yang Sakti ucapkan ada benarnya.
Sakti menurunkan kaca mobil, membuat Wisnu menengok ke belakang sebelun melewati gerbang hitam.
"Besok mending lo naik taksi kalo motor lo masih mogok."
"Koret!"
"Mending koret daripada gantungin anak orang! Mobil abu itu distater dengan cepat meninggalkan Wisnu yang masih berdiri dan debu yang mengepul.
***
SMA
Cowok—penyu itu hampir terlambat, menjejakkan kakinya ke sekolah, setelah satu minggu izin sakit.
Bel masuk menggema, kaki panjang itu pun berlari tergesa menuju ruang kelasnya. Badannya yang tinggi menerobos gerombolan cewek-cewek yang berjalan beriringan. Kontan para cewek itu berteriak dan bersiap marah. Namun urung, yang dilihat adalah Wisnu, mereka malah tersenyum.
"Lho, udah masuk?" Sakti bukannya menyapa, tetapi agak kaget melihat sohibnya itu datang pagi ini. Kata nyokap lo nanti, katanya pencernaan lo belum sembuh. Lanjutnya.
"Udah enggak apa-apa kok!" napasnya masih tersengal karena berlari. "Na, Shelly belum datang?" Cowok itu sekilas melihat bangku Shelly masih kosong, hanya ada Lana, temannya.
"Eng ...." Dilihat sahabatnya itu tergesa di ambang pintu. "Tuh dia!" tunjuk Lana.
"Hai!" Gadis itu terengah, namun semringah.
"Dari mana, Shell? Ampe ngos-ngos-an gitu."
"Paling abis sama Hans dari perpus." Celetuk Sakti.
"Um ..., Ya, gitu. Tadi itu, gue ...." Cewek itu baru menyadari, ada sosok Wisnu yang menatapnya dengan sinis. "Wisnuuu. Udah masuk sekolah." Cewek itu tersenyum, hanya saja aneh dengan tatapan Wisnu. Namun, cewek itu terlalu acuh, lanjut duduk dengan rapi menunggu ibu guru mengajar.
"Telat lo sadarnya." Sakti menggumam. "Amsiong!" Rutuknya pelan, bertukar pandang dengan Lana yang duduk tepat di depan Sakti, lalu keduanya hanya menarik napas panjang.
"Lo tahu Shelly deket ama Hans? tanya Wisnu, saat jam istirahat."
"Tahu."
"Kenapa lo enggak bilang sama gue?"