Dering telepon di ponsel monofonik sudah meraung di setengah enam pagi. Kepala Shelly masih berat, mata enggan terbuka, tetapi getar dari benda persegi yang tidak berhenti seperti memohon untuk dijawab. Gadis itu bersungut-sungut ketika nama cowok—penyu yang tampil dilayar.
Andai saja Wisnu tahu, gadis itu baru sampai di jam dua dini hari. Namun—dia bergegas juga ketika sebuah pesan singkat tampil.
[Udah di depan rumah.]
Walau setengah hati, masih lelah rasanya duduk hampir dua belas jam. Tidak bisa tidur sepanjang perjalanan.
Pesan tidak dibalas dan telepon yang tidak diangkat membuat Wisnu bergegas turun dari kendaraan roda empatnya. Ragu-ragu membuka pintu gerbang yang terbuat dari besi bertinggi tengah dadanya. Mau berbalik menunggu di mobil namun urung, mama Shelly yang sedang menyapu pekarangan keburu melihat cowok favoritnya datang.
“Wisnu ya?” Jangan lupakan mama Shelly yang selalu histeris melihat Wisnu terlebih pagi ini, “Calon mantu Tante ….” Seraya memeluknya dengan sayang di depan pagar seperti benar-benar seorang anak, cowok itu serba salah pastinya. “Masuk, yuk?” mama menggiring ke kursi yang ada di teras.
Cowok bercelana—jeans yang di padu padan dengan sweater ini, tetap serba salah. Dia terlalu terburu-buru mengambil keputusan.
“Shelly nya baru aja masuk kamar mandi.” Jelas mama Shelly, Tante Yuni.
“Pantes!” rutuk Wisnu dalam hati. “Bilang kek lagi mandi, kan gue enggak perlu di tomprok sama calon mertua. Haduh! Kadung kan ….”
“Oh, iya, Tante, saya tunggu di sini aja.”
Wisnu mengenyakkan badan di kursi yang ada di teras rumah. Pandangannya berkeliling, mengingat kapan terakhir kali mampir ke rumah nyaman ini.
Rumah ini tidak besar—sederhana, di kawasan Jakarta Timur. Pekarangan ada beberapa tanaman, “Mama yang rajin,” kata gadis itu. Ada pohon belimbing asam yang menaungi beberapa tanaman kecil seperti bunga matahari. Pijakan berupa konblok supaya tidak becek kalau hujan, Shelly yang bilang waktu Wisnu main ke rumahnya.
Wanita empat puluhan itu muncul dari dalam dengan nampan yang di bawa, senyumnya pagi ini seperti mentari, hangat dan juga manis sama seperti anaknya Shelly—yang muncul dari belakang. Tante Yuni, menyuguhkan camilan goreng pisang dan teh manis hangat.
“Diminum ya, Wis. Kamu udah sarapan?” dilihatnya Shelly—yang muncul setelah mamanya keluar, melotot memberi tanda agar menjawab, “sudah.” Gadis itu berjalan melewati Wisnu dan mamanya, mengenyakkan badan di kursi sebelah cowok sweater abu.
“Um, s—sudah, Tante.”
“Gitu?” tangannya menyusun makanan di piring pisin bulat dan juga teh yang masih mengepul di cangkir.
“Iya. Sebelum berangkat sudah sarapan.” Wisnu tersenyum dipaksa ketika wanita berdaster sopan itu menatap wajahnya.
“Ya sudah. Tante ke dalam ya ….”
“Iya, terima kasih.”
“Mau apa?” tanya Shelly pelan, lalu punggung tangan kirinya menutupi mulut yang menguap bebas.
“Kampus gue, yuk?”
“Males. Gue mau tidur. Masih capek tau!”
“Enggak lama, janji. Jam sembilan pagi selesai." Bujuk Wisnu. “Abis itu mau ke mana aja, terserah.”
Gadis bermata lebar itu menatap sejenak, cowok yang menaik—turunkan alis, menunggu jawaban. Senyum manisnya berkilas manja. Mengangguk, sepertinya pikirannya sedang merencanakan sesuatu.
“Gue ganti baju dulu!” Badan ramping itu melesat ke dalam rumah. Wisnu menyicip camilan dan minuman yang tersedia di meja. Secepat kilat juga gadis itu kembali, dengan celana panjang dan kaos yang agak longgar. Di ikat sweater gombrong di pinggangnya.
“Yuk!”
“Enggak pamit dulu ama nyokap lo?”
“Udah gue pamitin tadi,” Shelly terus berjalan hingga pagar rumah dan masuk ke dalam mobil hitam Wisnu, “nyokap lagi temenin bokap sarapan. Lagian gue males, pasti nyokap gue manggil lo, ‘calon mantu!’”
Sekilas cowok itu menatap gadis yang ada di sampingnya sekarang. Lalu dia tertawa lepas sebelum menyalakan mesin.
“Kok ketawa?” tukas Shelly.
“Enggak apa-apa, aneh aja, muka lo langsung cemberut.”
Memecah kesunyian di antara jejal kendaraan bermotor Jakarta, gadis itu menyalakan radio. Terputar lagu-lagu yang membuatnya teringat Bintang. Wonderwall, Oasis. Lalu terputar juga lagu yang kemarin sempat diperdengarkan cowok bule itu juga, yang sudag diramu untuk pertunjukkan DJ-nya. Westlife, I lay my love on you. Gadis itu membeku, langsung mengganti saluran, tetapi alam sepertinya berkonspirasi, atau “Bintang yang memiliki stasiun radio?” kepalanya menggeleng sendiri, ketika di gelombang berikutnya menggema lagu, Nirvana, The Man Who Sold The World. “Lagu kesukaan Bintang.” Dia melirih sendiri.
Lantas saja dia membanting badan di jok menggerutu sendiri. Merogoh saku celana mencari alat komunikasi, mungkin ada pesan atau telepon yang tidak terjawab. Badannya ditegakkan menilik setiap slot tas, dompet, tidak ada di mana pun!
“Astaga! Ketinggalan!” Lemas badannya disandarkan di jok.
“Lo kenapa?”
“Handphone gue ketinggalan!”