Sepanjang perjalanan, sepertinya telinga Danisa pengang. Menyesal tadi mengikuti mereka ke sini. Harusnya tadi dia pulang, atau bisa turun di tengah jalan ini. “Apa bisa?” pikirnya, sepanjang perjalanan, hanya bentangan jalur bebas hambatan, kalau ngotot minta turun, menumpang kendaraan apa. Perjalanan dari Tangerang Selatan ke arah Jakarta Utara bukannya lumayan lagi, pegal. Pegal hati dan badan. Rutuk gadis—ceria itu.
Namun, suasana mencair ketika Sakti berkelakar soal Danisa yang hari ini sedang bahagia karena nilai yang berangsur membaik. Shelly akhirnya asyik berdiskusi soal mata kuliah, belajar juga bercerita soal Jogja, teman-teman, dan juga suasana berkuliah di sana.
Dua jam perjalanan—macet—lancar, akhirnya sampai ditempat tujuan, taman rekreasi paling besar dan lengkap di Jakarta, Ancol.
Shelly bersorak, saat memasuki gerbang. “Akhirnya, ya salam …. Jakarta ini biang macet!”
“Langsung ke dufannya aja?” tanya Sakti menoleh ke belakang, ke jok belakang yang dihuni oleh para—cewek.
“Terserah.” Danisa menjawab, menatap Shelly, sempat menyesal tadi berpikiran aneh-aneh. Ternyata gadis dari Yogya itu ramah dan juga penuh semangat seperti dirinya. “Pantas, Wisnu mau berdekatan dengan dia.” Pikirnya.
“Mungkin selama ini cowok penyu itu mau berteman sama gue, hanya karena kepribadian kita sama. Bukannya kepedean, tapi emang kayaknya sama.” Gadis—ceria itu melanjutkan lamunan, terus berkata-kata dalam hati, sambil membuang pandangan dari bingkai jendela mobil. Gemuruh hatinya sedikit tenang, tetapi rasa tidak suka ketika Wisnu berdekatan dengan Shelly tetap tidak mau hilang. Atau seperti sekarang di mobil, mereka sekilas bertatapan, cowok itu rela mengalihkan pandangan walau sedetik hanya curi pandang ke cewek berkuncir kuda yang ada di jok belakang.
“Langsung ke Dufan!” seru Shelly penuh semangat. Ditanggapi dengan kekehan Wisnu di belakang kemudi.
Memasuki kawasan Ancol, membuat mata lebar Shelly tak berhenti membelalak, jendela mobil dia buka untuk menikmati angin pinggir pantai, yang sebenarnya panas. “Gue cuma seneng akhirnya ada di Jakarta itu aja. Jadi, gue semangat.” Katanya seperti menanggapi pandangan penumpang yang berada di mobil itu. Senyumnya mengembang tidak ditarik menjadi kerucut.
Long weekend sepertinya banyak menarik hati para pengunjung Ibukota untuk datang ke pusat rekreasi, belum tengah hari tetapi mobil yang berlalu lalang sudah ramai, bahkan sempat macet menuju dufan. Dan juga sulit mencari tempat parkir. Mobil yang dikendarai Wisnu sempat berputar untuk mencari lahan untuk menitip kendaraan roda empat itu.
“Long weekend ini masih ada hari Jumat-Sabtu-Minggu. Tapi, rame banget.” Sakti seperti mulai pengar ketika Wisnu masih memutar setir mencari lahan untuk parkir,
“Iya lah, mumpung libur.” Sahut temannya itu.
“Tuh!” Sakti dengan cepat menunjuk titik di mana ada satu mobil keluar.
Beruntung, Wisnu tanggap, hingga dapat tempat. Akhirnya ….
Dunia fantasi tak kalah ramainya, mengantre berjam-jam hanya untuk bermain satu permainan. Cuaca hari ini panas, tetapi tidak menyurutkan semangat ke—tiga sahabat itu, ditambah Danisa.
Wisnu seperti bahan ledekan ketika mereka berpindah dari satu wahana ke wahana lain, entah karena rasa takut atau waspadanya cowok—penyu bukan khawatirkan diri sendiri, tetapi, gadis yang tadi pagi sudah dia jemput. Teringat dulu, karena cuaca terlalu panas dia hilang kesadaran.
Di wahana ayunan raksasa, cowok itu pun mendapat ledekan dari Sakti. “Pasti lo takut!”
“Enak aja!” protes Wisnu.
Wisnu menunjukkan keberaniannya di depan Sakti dengan berdiri di atas wahana ayunan raksasa dan membentangkan tangan sambil berteriak absurd.
“Lo gila! Duduk!” Sakti menutup mata, “bukan temen gue.” Gumamnya berulang-ulang. Sementara Danisa dan Shelly terbahak melihat Sakti.
Wahana dunia boneka seperti hal yang sangat menyenangkan. Namun siapa sangka diantara boneka nan usang, tetiba muncul seseorang yang membuat Shelly kaget setengah mampus! Tetapi cewek itu malah tidak berhenti tertawa, teringat wajah orang itu—yang menurutnya konyol. Berpakaian seperti boneka asal Meksiko, orang itu pun memakai topi sombrero warna warni, menampakkan wajah konyol yang tidak terlalu terlihat.
Hingga keluar dari wahana, kekehan tawanya masih terdengar. “Ya ampun ….” Mencoba menenangkan diri dengan menekan dada—atau minum air putih. Tetap saja, masih membayang dan masih lekat, membuat tawa renyahnya terdengar.
Awalnya, Wisnu masih ikut tertawa, namun lama kelamaan terganggu. “Lo kesurupan?”
“Ya ampun, Wisnu, enggak.” Gadis itu terkekeh lagi. Kali ini sambil menggenggam tangan cowok itu, tangan besar itu bergerak meraih pinggang kecil gadis itu agar tidak limbung terjatuh.
Sekilas, Danisa melihatnya lalu mengalihkan pandangan, entah ke mana, matanya terlalu panas.
“Istirahat aja dulu kali, Wis.” Usul Sakti.
“Ya udah.” Dilirik arlojinya. “Udah jam tiga sore juga. Abis itu baru lanjut.”
“Yah, jangan! Inget kan waktu SMA kita ajak Lana, abis makan dia naik wahana, malah muntah-muntah.”
“Jadi gimana?” Danisa bersuara akhirnya. Dia bertekad hari ini hanya bersenang-senang—lupakan kebencian! Mengatur napas dan perasaannya.
“Lanjut!” Shelly menggandeng tangan Danisa mengajaknya ke wahana kincir udara.
“Waduh, siap-siap pegangin kepala!” seru Danisa sambil menaruh kedua tangannya di kepala, ditanggapi tawa Shelly dan Sakti.
Shelly jalan terhuyung sambil memegangi kepala dengan kedua tangan. Namun dirinya masih tertawa ketika Sakti mensejajari langkah begitu turun dari wahana kincir raksasa.
“Lo enggak apa-apa?” tanya Sakti khawatir.
“Enggak, cuma limbung aja, dari muter di atas ke jalan di darat.”
“Ya udah, ntar pingsan lagi.”
“Enggak. Duduk di sana, yuk!” Shelly berjalan cepat disusul Danisa, di meja bulat berpayung, juga beberapa kursi pagoda mengelilingi meja.
Para cowok dari jauh memberi tanda, pergi ke toilet.
“Ternyata, kalian dekat banget ya.” Danisa nelangsa, tidak menyadari di sampingnya Shelly duduk.
"Lo suka Wisnu?"
"Eng ...." Danisa menggeleng.
"Wisnu itu, enggak bisa tentuin hatinya antara lo atau yang lain. Ibaratnya, lo itu tembok, halangin dia dari gue. Buat dia hanya melihat lo.”
Danisa menatap Shelly tanpa kata.
“Atau siapa pun yang pernah dia suka." Lanjut Shelly.
“Setahu gue, Wisnu selalu menjauh kalo ada yang suka sama dia." Danisa tersenyum kecut, menatap Shelly lekat. "Gue pikir dia enggak suka. Tapi, ternyata, dia punya cewek impian yang dia simpan di dalam hatinya mati-matian."