Ajakan Bintang untuk bertemu orang tuanya, sukses membuat Shelly belingsatan, mata enggan memejam. Hanya mampu membolak balikan badan di atas ranjang. Rasanya semua serba salah. Penasaran, bagaimana orang tua kekasihnya itu?
“Pasti galak.” Pikirnya. “Apa kayak papa-mama yang biasa aja. Enggak mungkin soalnya. Rumah yang di Jogja aja besar, pasti ayahnya itu orang yang selalu pakai batik dan ibunya selalu pakai konde. Pasti!”
Baju apa yang mesti dipakai? Baju-baju Shelly rerata hanya celana jeans biasa dan kaos juga sweater kebanyakan.
Kalau kemeja ada, hanya modelnya kebanyakan untuk ke kampus, enggak cocok sepertinya. Dia mengingat, punya babydoll selutut dipadu padan dengan cardigan biru muda dan sepatu flat. “Ya itu saja. Hanya baju itu yang paling sopan tetapi rapih.”
Lalu dia berandai-andai jika bertemu para sesepuh keluarganya bagaimana sikapnya nanti. Pasalnya kemarin ketika di rumahnya di Jogya, Bintang cerita ada nenek yang tinggal bersama di rumah orang tuanya di Jakarta. Diantara pemikirannya yang absurd, gadis itu memutuskan untuk menjadi dirinya sendiri. Pasti, itu harapan Bintang juga. “Ya, pasti seperti itu.” Gumamnya sendiri hingga kelelahannya membawa ke alam mimpi.
***
Wisnu dan Sakti malam itu pun tidak habis berdiskusi. Apa lagi kalau bukan masalah Shelly. Gadis—Jogja itu tadi mengomel waktu pesan makanan di restoran cepat saji.
“Maksudnya apa coba, Ti?” omel Shelly, “Dia nyosor-nyosor aja, gue tanya maksudnya apa, dia enggak jawab!”
Sakti meniru omelan gadis itu, dengan suara melengking khas punya Shelly, ketika menelepon sahabatnya sejak kecil.
“Maksud lo apa?”
“Suara lo mirip dia banget, ulang lagi!”
Wisnu berbaring dengan senyum di atas kasur lebarnya. Memandang langit-langit kamar, yang seolah layar untuk memantulkan kejadian seharian ini, cukup bahagia. Walau tadi gadis itu terlihat tidak senang dan jutek bagi cowok—penyu itu tidak masalah. Selama ini ternyata, itu yang membuat rindu.
“Buruan jawab!” tuntut Sakti.
“Menurut lo gimana?”
“Malah balik tanya. Lama-lama lo yang gamang, gue yang jantungan, Nyet!”
Wisnu malah terbahak-bahak. “Oke, oke. Kecupan tadi itu ungkapan gue yang bahagia ada dia di sini. Pagi-pagi udah jemput di rumah, apa lagi seharian begitu. Terus ….”
“Tapi lo masih anggap dia teman?” potong Sakti dengan cepat."
“Lebih dari itu, Ti. Gue sadar kok ketika kita berjauhan, ketika kita ketemuan kayak ada rasa lega pas lihat dia seharian.”
“Kalo gitu, bilang dong!”
“Gue akan bilang, nanti sebelum dia pulang ke Jogja.”
“Danisa?”
“Emang dia suka gue? Enggak lagi.”
“Lo enggak lihat, muka dia pas lo deket sama Shelly tadi.”
“Enggak! Mungkin dia kepanasan kali, salah lo!”
“Susah punya temen budek.”
“Enak aja, gue enggak budek.”
“Buktinya itu. Udah ah, tidur dulu!”
“Ya—su,” Wisnu menghentikan kalimatnya, nada telepon terputus keburu menginterupsi.
Malam ini cowok itu tidur dengan hati yang mengembang. Lucu seperti ada yang terus menggelitik perutnya hingga senyum terus menghiasi wajah perseginya. Tidak lupa mengirim pesan singkat ke gadis itu.
[So sorry about the kiss. Good night, sleep tight.]
Ponsel hijau berkamera itu seperti menjadi saksi kebahagiaannya, sempat mengambil beberapa gambar gadis itu tanpa sepengetahuan Shelly.
Atau juga ada yang sengaja berfoto dengan Danisa. Membuat cowok itu menganga agak heran keduanya terlihat hampir sama, rambut—yang panjang hampir sama, lalu tinggi badan dan warna kulit.
Satu pesan singkat diterima, bunyi notifikasinya menyentak lamunannya. Cowok itu dengan sigap membukanya.
Bukan nama yang ia harapkan, Danisa.
[Wis, udah tidur?”]
Gadis itu memang terbiasa mengirim pesan sekadar berdiskusi soal mata kuliah yang sulit atau menanyakan tugas.
[Belum. Kenapa, Dan?]
[Enggak apa-apa. Terima kasih buat hari ini. Anyway, Shelly kalo jutek bikin takut.]
Cowok itu tersenyum, dia terlalu berharap, dirinya sangat mengenal Shelly.
[Besok juga dia baik lagi kok. Nanti kalo nongkrong bareng ikut lagi ya!]
[Oh, gue enggak ganggu kalian?]
[Enggak kok, santai aja.]