Gadis itu membelalak begitu memasuki gerbang tinggi terbuat dari besi berwarna hitam. Rumah itu bergaya modern, semua berwarna putih bersih. Dari garasi ada tangga hingga benar masuk ke rumah bernuansa santorini itu.
Tangan kecil itu mengeratkan pegangan ketika melalui jendela lebar yang bisa dilihat dari ruang tamu ada sekerumun orang sedang duduk.
"Enggak apa-apa, itu cuma kakak-kakakku sama suaminya dan anak-anak."
"Bukan itu, mama-papa kamu." Bisiknya, suaranya terdengar gemetar.
Cowok itu cuek, melintasi ruang tamu yang lebar, tanpa melepas genggaman. Dilewatinya jejeran sofa biru dan grand piano hitam.
"Assalamualaikum!"
Sontak, semua yang ada di ruangan itu menoleh ke Bintang. Ada dua orang perempuan, dua menggerai rambut, membuatnya bergelombang, wajahnya dirias seadanya. Namun, pakaian mereka sopan, kemeja dan celana jeans panjang.
Satu perempuan bangkit dari sofa hijau muda besar, menyambut, histeris.
"Bintang!" Memeluknya erat. Ini pasti, Shelly. "Ya ampun, cantik banget, mau ama adek gue!" Puji Anika ketika menelisik penampilan Shelly. Kontan mereka semua tertawa.
"Ck!" Bintang mengenalkan dua kakaknya. "Ini Mba Anika. Dan yang itu Mba Munika." Mba Anika langsung menyalami cewek yang dia pikir akan segera menjadi calon-adik ipar. Lalu, suaminya yang tingginya hampir sama dengan Bintang.
Munika-yang berada di sofa paling pojok, sedang menyusui si bungsu hanya melambaikan tangan-dengan senyum mengembang. Suaminya menyambut tangan gadis yang masih merasa asing itu. Lelaki itu tinggi sama dengan Bintang, berkulit bersih seperti artis yang ada di televisi, istrinya pun berwajah ayu.
"Nadya!" panggil Anika, melambaikan tangan, memberi tanda ke seorang anak berumur empat tahun, agar mendekat.
"Ini, Om Bintang!" Anak perempuan lucu itu menoleh, lalu naik dari kolam renang, menghambur ke pelukan Bintang yang duduk. Diciumi pipi halus nan putih itu. "Bajunya basah, Sayang. Astaga!" Perempuan tiga puluhan itu hanya memandang tidak aneh, anaknya satu itu lekat sama Om-nya.
"Gitu deh, Shell." Anika seperti memecah tawa Shelly yang duduk di samping Bintang. Ikut tersenyum ketika anak berambut panjang itu membalas ciuman Om favoritnya yang bertubi-tubi denan suara tawa yang renyah.
"Aku ke dalam dulu, ganti baju basah!"
Disambut todongan Nadya. "Aku ikut. Gendong! Gendong!" Bocah itu menaikkan tangan, sambil meloncat meraih badan menjulang Bintang.
Anika hanya menggeleng, "She really missed you, Bi!"
Bintang seperti memberi tanda ke gadisnya itu, yang lalu mengangguk. Namun ketika pandangannya beralih ke empat orang yang ada di depannya, pipinya pun merona.
"Sorry... Itu, tadi .... " Jawabnya kikuk.
"Biasa aja, enggak apa-apa." Anika mengibas tangan di depan wajah. Entah berapa usia wanita itu, wajahnya terlihat berseri dengan balutan kemeja putih panjang, dengan bahan seperti sutra, di pandang mata serasa menyejukkan.
"Eh, ketemu Bintang di mana?" sambar Munika, memajukan badan, bayi yang tadi dalam buaian lelap tertidur. Tidak lama seorang asisten menghampiri untuk menggendong. Suaminya di samping mencolek, seperti memberi tanda. "Enggak sopan!"
"Di kedai kopi tempat saya kerja part time, Kak."
"Panggil Mbak aja," tukas Anika. "Kamu kuliah atau kerja aja?"
"Tadinya kuliah sambil kerja. Sekarang kuliah aja. Belum ada kerjaan lagi."
Para ipar Bintang seperti tidak mempedulikan istri-istri mereka. Suami Mba Anika sibuk ngemil, aneka makanan yang ada di meja semua di coba. Ada kue kering, snack masing-masing di toples, dan dia membukanya satu persatu.
Suami Mba Munika sesekali memperhatikan Shelly serta pertanyaan yang dilontarkan kedua kakak-kakak itu. Tangannya kadang menyenggol siku istrinya jika dirasa pembicaraan terlalu pribadi.
"Lo denger kan, Mun. tadi Bintang bilang 'pacar gue'." Anika menutup mulutnya tertawa. "Jadi kapan kira-kira lo resmi jadi adik ipar kita? Bintang tu jarang bawa cewek ke rumah. Beberapa minggu lalu cerita, bela-belain internasional nelepon, cuma bilang 'gue punya pacar, Mba'. Gue seneng, mau melonjak. Dan, pilihannya ternyata, spesial banget."
"Bener!" sambar Munika. "Bintang bilang juga ke gue, waktu video call, mau lihat ponakan, lupa sebulan lalu kayaknya."
Suami di samping kirinya mengeluarkan suara. "Sstt ...."
"Terus?" tambah Anika. Lalu mereka berempat memandang Shelly menuntut jawaban. Gadis yang menopang dagu di telapak tangan terperanjat, menegakkan badan.
"Um .... Eng .... A-masih kuliah."
"Semester berapa?" Kali ini suami Munika melontar pertanyaan.
"Udah lima."
"Pas dong! Dulu kita merried juga belum lulus kuliah ya, Darl?" Anika seperti menghentak suaminya yang mulutnya penuh dengan makanan. Lelaki itu hanya mengangguk sambil terus mengunyah.
"Assalamualaikum!"
"Nah, ini Ibu kita. Ibunya Bintang juga." Munika menyambut wanita paruh baya itu, memeluk wanita behijab yang baru saja datang. Diikuti yang lain berdiri lalu mencium takzim punggung tangan nan tua itu, namun tetap halus.
"Bu, kenalin ini Shelly. Pacarnya Bintang."
"Wah, ayu ne." tutur Ibu Bintang. Lengkap dengan binar di wajahnya yang masih seperti wanita tigapuluhan. Hijabnya biru langit, serasi dengan kaftan putih sutra yang dia pakai.
"Pak, iki lho, Bintang bilang calon." Panggil Ibu setelah Shelly cium tangannya, digandeng tangan calon ibu mertua-nya itu.
Lelaki berusia lima puluhan itu pun gagal melintasi ruang tamu menuju kamar, perhatiannya langsung pecah oleh teriakan istri kesayangan. Serba salah gadis itu mencium takzim. Senyum orang tua itu merekah, wajah ayah dihiasi bulu di atas mulut. Dengan kemeja bermotif batik dan celana dari bahan sutra hitam.
Tidak lama, Bintang muncul sudah dengan baju rapi, kemeja ungu tua dan celana khaki. Rambutnya ditarik kebelakang, kelimis.
"Akhirnya, ayah ini bisa lega lho, Bint. Kamu pilih sendiri calon pendampingmu!"
"Ayah ...."
Dua kakaknya berkelakar, mengisi waktu sore di pinggir kolam renang. Dilengkapi Ibu dan Ayah, duduk di sofa, tiada canggung untuk mereka. Saling melepas rindu. Anika yang hari ini baru saja sampai dari Jerman dan Munika baru pulang ke Jakarta.