Starlight

Dawn Solace
Chapter #1

Tumpangan Hujan

LEV berjalan dengan tangan tenggelam dalam sakunya, masih santai seperti biasa walau awan mendung hampir memuntahkan uap air yang tak lagi sanggup mereka tahan. Lev selalu mengambil jalan memutar yang memakan waktu hampir dua jam sepulang dari kampus di hari mendung seperti ini. Hanya untuk memandangi kakinya dan orang-orang yang terburu-buru ke tempat tujuan demi menghindari hujan. Ia menyukai suasana sebelum hujan. Ketika matahari tidak bersinar dengan terik dan angin melingkupi bumi dengan kelembaban yang lembut. Ketika daun-daun yang dipermainkan oleh angin berhembus dengan gamang tanpa tujuan. Seperti dirinya.

Tapi sepertinya, kali ini ia harus pulang. Rinai hujan yang setajam jarum mulai turun. Jadi ia berbelok di gang depan yang membawanya keluar dari deretan bangunan tinggi menuju daerah luas yang lebih santai yang dikelilingi ilalang tinggi di satu sisi dan sungai dangkal di sisi lainnya. Tak ada bangunan lain di sana setelah ujung terowongan yang dindingnya telah habis dihiasi mural yang saling bertumpuk, beradu dalam warna dan tipografi. Selain satu gerbong kontainer berwarna gelap jenis 40’ High Cube Reefer yang telah dimodifikasi. Teronggok sederhana seirama dengan alam yang mengelilinginya. Tampak sedikit membosankan, namun nyaman berdiri sendiri.

Lev tinggal di sana.

Ia tinggal sendiri. Di kontainer yang menjadi tempat pengungsiannya selama hampir setahun ini. Menikmati waktu-waktu luangnya dengan mengamati bagaimana waktu berjalan tanpa menunggu siapa pun. Daerah itu bukan daerah pinggiran, hanya sedikit tenang. Selama berjam-jam hanya ada suara air yang mengalir dan terkadang suara percakapan remaja yang terlalu keras di kejauhan, atau deru kereta setiap satu setengah jam yang terbawa angin. Lev menyukai lingkungannya ini.

Deru itu terdengar jauh kali ini karena hujan akhirnya benar-benar turun. Lev cepat-cepat berlari menuju kontainernya dengan tas diangkat di atas kepala dan mendapati sesuatu yang lain telah menunggu tepat di dudukan tangga pertama pintunya. Lebih tepatnya seseorang. Lev tak bisa berakting terkejut karena sebenarnya ia setengah berharap gadis itu benar-benar datang. Ya, gadis mungil berambut pendek yang diombre kebiruan pada bagian ujungnya. Gadis itu tengah berjongkok sambil mencoret-coret tanah dengan batu ketika menyadari tetesan air mengusik gambar abstraknya. Ia kemudian bangkit dengan muka memberengut dan menatap langit. Sepertinya akan menyumpahi langit kalau saja ia tak menoleh dan mendapati Lev yang sudah dekat. Gadis itu tersenyum lebar sementara tangannya yang penuh debu bertengger melindungi kepalanya yang mengenakan topi baret hitam.

“Ugh, kukira aku akan basah kuyup karena kau tak pulang-pulang!” katanya setengah berteriak kendatipun saat ini jarak mereka hanya sejauh satu lompatan. Hujan mulai memekakkan telinga mereka.

Lev tak menyahut. Hanya melewatinya sementara gadis itu turun dari undakan tangga yang sempit, memberi Lev ruang untuk membuka pintu. Dengan sigap Lev membuka kunci pintu dan masuk. Gadis itu mengikuti tanpa menunggu dipersilakan lalu menutup pintu di belakang mereka. Kunci diletakkan dan sepatu-sepatu dilepaskan. Tiba-tiba mereka sibuk menepis semua jejak air hujan yang menempel pada tubuh mereka tanpa menghiraukan keberadaan satu sama lain dan meletakkan barang bawaan dengan sembarangan. Lev lalu melangkah ke dapur, mengambil gelas kosong dari kabinet gantung di atasnya dan mengisinya dengan air dari kulkas. Sementara ia minum, sebelah tangannya melepas klip jaket parkanya dengan satu tarikan tak sabar.

Sementara gadis itu, merasa sudah mengenal kontainer milik Lev, langsung menuju sofa dan duduk bersandar sambil mengibaskan air dari ujung rambutnya yang mentereng. Ekor mata Lev menangkap pergerakan itu dan langsung merasa terganggu.

“Kau masih di sini?”

Gadis itu mendelik tak suka pada Lev yang berjalan mengitari dapur setelah membuka satu laci. “Menurutmu aku akan menunggumu di luar dan terguy—“

Gerutuan gadis itu terpotong handuk yang tiba-tiba mendarat tepat di mukanya. Lev jarang punya kesempatan untuk bersikap kasar jadi ia tak tahu melakukannya pada gadis itu ternyata memberi kepuasan tersendiri baginya. Tapi ia menjaga raut mukanya tetap tenang lalu duduk bersilang kaki di kursi tinggi di depan meja bar.

Lihat selengkapnya