Starlight

Dawn Solace
Chapter #2

Passing Stranger

LEV pertama kali melihatnya di hari yang sama seperti ini. Beberapa waktu lalu ketika langit sedang murung dan angin berhembus dengan kencang. Mungkin karena Lev hanya suka berjalan-jalan di saat seperti ini, jadi ketika hal-hal terjadi, awan mendunglah yang mengembalikan ingatannya.

Saat itu seperti biasa Lev hanya berjalan mengikuti kakinya. Ia berbelok di pojokan tempat sepetak taman bermain kecil tengah mencoba mengusir anak-anak yang sedang asik bermain tanpa mengindahkan cuaca yang memburuk. Beberapa anak itu melihat Lev dan memanggil, tapi Lev hanya melambai singkat dan berlalu. Taman bermain itu masih ganjil di benaknya. Sepertinya tubuh dan pikirannya masih belum ingin mendekati tempat itu, jadi ia memutuskan untuk tidak memasukinya untuk sementara ini. Ia mengambil jalan lain yang menuju pusat pertokoan. Beberapa pemilik kedai mulai merapikan dagangannya yang tertiup angin, bersiap untuk menutup toko atau hanya sekadar memasukkan barang jualan yang berada di luar etalase. Di jalan yang mulai lapang, segelintir orang berlari kecil dalam usahanya mencapai rumah sebelum hujan mendahului mereka.

Lev sudah terbiasa melihat pemandangan ini. Tapi hari itu, di tengah semua kesibukan di jalanan yang berangin, satu orang terlihat janggal. Lev tak bisa melihat wajahnya karena gadis itu berdiri memunggunginya di belakang tiang listrik. Rambut pendeknya diombre dengan warna biru pastel dan ia mengenakan celana jins pendek dengan benang mencuat-cuat di sana sini serta sepatu bersol tiga senti. Ada seekor anjing Retriever besar berbulu putih terduduk di sampingnya, tapi sepertinya gadis itu sedang memerhatikan hal lain di depannya. Lev mengikuti arah pandangnya, tapi tak menemukan hal yang spesifik.

Lev memerhatikan gadis itu sedang berkutat dengan kotak susu yang sepertinya masih setengah terisi. Ia bisa melihat sedikit cipratan ketika gadis itu merobek sedikit ujungnya dan mengisinya dengan batu-batu kerikil sebesar kelereng. Sebelum Lev sempat melewati gadis itu, gadis itu memotong jalannya dan keluar dari persembunyiannya. Lalu, dengan wajah sengit merentangkan tangan jauh-jauh di belakang punggungnya. Lev bertanya-tanya dalam hati apa yang akan dilakukannya dengan itu, tapi langsung terkejut saat kotak yang meneteskan cairan putih kental itu melesat dengan cepat dan mantap ke salah satu toko serba ada di depan mereka dan menghantam kaca etalase dengan keras. Gadis itu menoleh pada anjingnya dan Lev bisa melihat ekspresi puas di wajahnya, hampir bersamaan dengan bunyi ‘prang!’ nyaring yang mengejutkan si pemilik toko.

Gadis itu seketika berjingkrak sambil bertepuk tangan, lalu mengusap-usap moncong anjingnya dengan riang. Hanya selang beberapa detik kemudian, pemilik toko keluar dan melihat apa yang terjadi pada kacanya. Ia marah besar. Bahkan dari jarak Lev berdiri saat ini, ia bisa melihat wajah pemilik toko itu berubah sangat merah dan tangannya mengepal geram. Pemilik toko itu menyambar barang yang paling dekat dengannya dan menoleh ke segala arah, bertekad menemukan berandalan yang berani melakukan itu pada tokonya. Tapi gadis itu sudah tak di sana. Ia sudah lebih dulu berbalik dan menarik anjingnya agar segera berlari. Secepat kilat meninggalkan tempat perkara. Melewati Lev yang melemparkan tatapan sinis pada kedua tersangka itu. Namun tentu saja keduanya terlalu sibuk melarikan diri untuk menaruh perhatian pada orang yang sekedar lewat seperti Lev.

Meski mungkin gadis itu memiliki alasan, tapi memecahkan kaca toko seperti itu jelas bukan sesuatu yang benar. Lev bisa saja melaporkannya pada pemilik toko, tapi Lev tak tahu siapa gadis itu atau apakah mereka akan bertemu lagi jadi Lev bisa mengarahkan telunjuknya tepat di ujung hidung gadis itu.

Selama menimbang tindakan yang harus ia ambil, pemilik toko akhirnya melihat Lev. Lalu kemungkinan lain muncul dalam pikirannya. Lev satu-satunya orang tak sibuk di sepanjang jalan itu yang sedang memandangi toko. Pintu kaca toko itu pecah. Tak mau dikira dirinyalah dalang serangan kotak susu itu, apalagi ia tak punya bukti bahwa gadis tadi yang melakukannya, Lev akhirnya memilih berbalik dan mengambil jalan lain. Berpikir mungkin ini saatnya ia kembali.

Apapun itu, Lev sepertinya tidak ingin berhubungan dengan gadis itu.

Itulah kesan pertama Lev tentang gadis itu. Hal itu terbukti ketika Lev melihatnya lagi beberapa hari kemudian pada suatu sore lain ketika matahari bersembunyi dan bumi terasa penuh keabuan. Lev melihatnya sedang mengendarai motor skuter dengan box bertuliskan restoran china di bagian belakangnya. Gadis itu melintas melewatinya dan Lev langsung mengerti apa yang membuat orang-orang menoleh padanya ketika ia lewat. Bahkan sebelum gadis itu mencapai tempatnya berdiri, Lev bisa mendengarnya. Gadis itu berteriak-teriak menyanyikan lagu entah apa dengan lirik yang sangat tidak jelas. Kabel earphone putih terselip di bawah helm tanpa kacanya. Tapi seolah tak peduli dengan tatapan orang-orang, ia terus saja melaju, tanpa menoleh—mungkin tanpa menarik napas karena lagu berbahasa alien terus mengalun dari bibirnya tanpa jeda. Bahkan setelah melewati Lev dan menemukan polisi tidur yang cukup tinggi, ia tidak mengerem, pun suaranya tidak goyah. Lev mendelik pada punggung gadis itu yang menjauh. Ia juga melihat orang-orang yang lebih tua menggeleng-geleng dan anak kecil menunjuk-nunjuk. Lev mengedikkan bahu dan kembali melanjutkan perkelanaannya yang tertunda.

Ia pergi ke pantai, menelusuri garis pantai sampai kakinya mati rasa karena berjalan di pasir yang menenggelamkan sepatunya seperti lumpur hisap. Hembusan angin dingin dan suara ombak yang bergemuruh menghibur rasa lelahnya. Ia duduk menikmati kebaikan alam sedikit lebih lama lagi sebelum kembali menelusuri area pedestrian di luar pagar pembatas pantai. Ia melewati jalan yang sama dengan saat dia pergi. Tak tertarik untuk terburu-buru karena sepertinya mendung kali ini akan awet. Hujan turun masih lama. Setidaknya, belum.

“Hei! Dasar anak-anak ini!”

Ketika mencari asal bentakan, Lev mengenali sosok gadis itu. Di depan restoran china berlabel sama dengan yang ada di kotak motornya. Gadis itu sepertinya baru kembali dari mengantar makanan dan sepertinya masih akan mengantar beberapa lagi, melihat bungkusan plastik dengan wadah stirofoam masih menggantung di kedua tangannya. Tapi ia hanya berdiri di sana, bukannya sedang sibuk memindahkan pesanan ke dalam kotaknya. Menantang seorang pria tua di depan seorang gadis lain yang bersembunyi di belakangnya. Pria itu jauh lebih tinggi darinya, jangkung seperti belalang dengan wajah berdagu runcing dan mata sipit menyerupai bulan sabit terbalik. Tapi gadis itu tak goyah. Lev melihat mereka mendebatkan sesuatu yang tak bisa didengarnya, tapi sepertinya cukup serius. Gadis lain di belakang gadis berambut ombre itu berdiri dengan khawatir, beberapa kali ia menarik lengan gadis itu, tapi sepertinya gadis itu tak mau menyerah. Malah, gadis itu terus menyahuti perkataan lelaki itu. Semua pelanggan yang duduk di meja luar memandangi mereka, tapi keduanya lupa untuk memikirkan keberadaan pelanggan. Pria itu menatap murka pada gadis muda yang selalu mengembalikan perkataannya, lalu ia lepas kendali dan hampir memukul gadis itu. Tangannya yang sudah terangkat tinggi, berhenti di udara. Saat sepertinya ia berhasil menahan amarahnya, barulah pria itu teringat ada banyak pelanggan yang memerhatikan. Ia menarik tangannya dan berbalik meminta maaf pada pelanggannya atas kejadian itu.

Tapi sepertinya gadis itu belum merelakan kejadian itu. Ia memandang tak percaya pada pria tua itu dengan sengit, lalu berbalik menuju meja pelanggan terdekat setelah meletakkan plastik makanan yang masih dibawanya. Lev hanya bisa melongo ketika melihat gadis itu mengambil kecap dan saus dalam botol plastik. Lalu cukup bernyali untuk kembali pada pria, yang Lev duga adalah pemilik restoran, yang masih sibuk membungkuk meminta maaf. Gadis itu tak menunggu pria itu berbalik dan langsung menyemprotnya dengan brutal. Celemek dan pakaian pria itu dalam sekejap dipenuhi noda kecap dan saus. Tapi sepertinya gadis itu belum puas. Lev bisa mendengarnya berteriak, lalu dengan kasar merobek plastik pembungkus makanan yang ditinggalkannya tadi dan menumpahkan mie dengan saus kehitaman ke sepatu pria itu. Ia membuka satu. Lalu dua. Temannya mencoba menghentikan, tapi ia sedang tak tertahankan. Sementara pria itu hanya melotot dengan marah. Ia seperti telah kehilangan kata-kata, saking terkejut dan marahnya. Begitu juga semua pelanggan yang melihatnya dengan kaget, beberapa dari mereka mengambil foto. Tapi gadis itu tak peduli. Setelah membuang semua mie yang seharusnya ia antar, ia menarik temannya pergi. “Terimakasih, kami sudah menerima sisanya!”

Baru menyadari ia masih mengenakan helm milik restoran, gadis berambut ombre itu dengan enggan kembali dan menggantungnya di spion motor, lalu berjalan dengan cepat karena kesal. Tapi bahkan setelah itu, si pemilik restoran tak mengejar. Ia hanya berteriak dan mengumpat keras karena telah dipermalukan di depan banyak orang di tokonya sendiri. Pegawai lain yang menggunakan celemek hitam terpaksa menghampirinya dan membujuknya untuk masuk karena keadaan sudah terlalu kacau dan canggung bagi pelanggan mereka. Walaupun geram, pria itu tetap mengikuti dengan enggan. Begitu pemiliknya tak terlihat, restoran itu langsung gaduh dengan bisik-bisik.

Kejadian itu kembali membuat Lev berpikir bahwa gadis itu bukan seseorang yang nyaman untuk dikenal. Berkeliaran dan membuat onar. Lev berharap ia tak perlu berurusan dengan makhluk semacam itu.

Namun ternyata ia salah.

Selama beberapa hari kemudian, matahari bersinar dengan sangat terik sehingga Lev memutuskan untuk menghadiahi dirinya segelas minuman dingin setelah hari yang panjang di kampus. Tentu saja di kontainernya cuaca tak begitu menjadi masalah karena seluruh ruangan telah dimodifikasi agar tak terpengaruh cuaca di luar. Tapi Lev ingin mengganti suasana jadi ia pergi ke kedai kopi yang biasa ia kunjungi saat dirinya hampir kehujanan saat berjalan-jalan. Lev tak repot-repot memilih jalan memutar kali ini. Ia mengambil rute tercepat melewati pertokoan. Blok ini sangat antik. Banyak toko yang menjual barang-barang bergaya kuno, barang loak dan kerajinan. Lev menyukai nuansa tua yang melekat di blok ini.

Ia berjalan melihat-lihat di luar salah satu toko. Banyak barang-barang kuno dari keramik dan timah dengan warna yang menggelap. Unik dan menarik. Lalu, suara sesuatu yang jatuh berdebam keras mengagetkannya. Lev berbalik. Suara itu berasal dari dalam toko di seberangnya. Ketika ia berjalan mendekat, sesuatu di dalam bergerak dan tiba-tiba dari balik tirai kain yang digantung, seseorang muncul dan menabraknya. Lev mundur selangkah, gadis itu juga. Sebelum ia bisa bertanya apakah si penabrak baik-baik saja, ia mendapati kausnya kotor. Bercak lumpur yang masih liat menempel di kedua sisi kemeja luarannya yang tak dikancing. Lev mengerang.

“Ah! Maafkan aku. Apa kau baik-baik saja?”

Lev tak mau repot-repot mengangkat kepala saat menyahut dengan kesal, tangannya sibuk memeriksa apakah noda itu bisa hilang. “Baik-baik saja bagaimana? Kau tak lihat bajuku kotor—”

Tapi gerutuannya terpotong dengan ketidakpercayaan. Gadis itu lagi. Ia hampir bosan melihat gadis itu sekarang. Padahal mereka belum pernah berpapasan dengan benar.

Gadis itu meminta maaf lagi. Kakinya bergerak-gerak dengan bimbang. Kelihatan sekali ia ingin segera pergi dari sana. Tas selempang kain bertengger berantakan di tubuhnya yang terbalut baju santai dan jaket rajut kebesaran yang hampir menyembunyikan celana pendeknya. Gadis itu tampak seperti hendak melarikan diri jadi Lev buru-buru mencengkeram pergelangan tangan gadis itu yang ternyata luar biasa kurus. Berpikir bahwa gadis itu tidak serius akan pergi setelah membuat pakaiannya kotor kan?

Suara geraman lain terdengar dari dalam toko yang ternyata merupakan toko souvenir. Lev menebak gadis itu sedang kursus membuat kerajinan, dengan semua tanah liat yang masih menempel di tangannya. Gadis itu berontak dalam genggamannya, tapi Lev bersikeras.

“Lepaskan aku!” seru gadis itu terburu-buru sembari masih mencoba membebaskan tangannya yang mulai sakit.

Saat Lev tak juga melepaskannya, gadis itu menendang kaki kiri Lev. Lev meringis dan saat itu pegangannya merenggang. Sebelah tangannya yang bebas berusaha menyentuh bagian kakinya yang sakit. Tak mau kehilangan kesempatannya, gadis itu melepaskan diri dan menarik kemeja Lev dengan gusar tapi cekatan. Lev yang sedang membungkuk, bingung karena tiba-tiba saja gadis itu telah mendapatkan kemejanya dan berlari menjauh. Lev meneriakinya.

“Hei! Apa-apaan kau?”

“Maaf, akan kukembalikan besok setelah kucuci!”

Tapi sebelum Lev bisa mengejar, pemilik toko sudah berada di belakangnya dan menatapnya marah. Lev tak mau jika dipaksa bertanggung jawab atas apapun yang mungkin gadis itu lakukan di dalam, jadi ia terpaksa membuang muka dan segera menyeret langkah dengan enggan ke arah yang berlawanan dengan gadis itu. Sinar matahari terasa lebih panas sekarang karena ia hanya menggunakan sehelai kaus oblong tipis. Ia menendang debu di jalanan yang tak bersalah sembari membersihkan tangannya dari sisa-sisa tanah liat yang tadinya berada di kemejanya.

“Mau dicuci apanya, dan memangnya dia tahu kapan kami akan bertemu lagi untuk mengembalikannya? Dasar gadis aneh.”

*

Lihat selengkapnya